Thursday, January 31, 2008

Tuhan....

Tuhan…
Malam membuatku diam
Dia membuatku rindu
Getarnya membuatku terpaku

Ada apa dengan hatiku ?
Semuanya terasa begitu sendu
Aku terus membeku
Dalam lorong-lorong yang tak kukenal

Tuhan…
Jamah jiwaku dengan ujung jemariMu
Biar aku tak sendiri
Aku tak mau sunyi

Hancurkan seluruh ragaku
Luluh lantakkan kalbuku
Tapi sisakan aku setetes cintaMu
Dan biarkan aku tergila-gila dalam pelukMu

Tuhan…
Biarkan saja cahaya itu padam
Aku tak ingin terang
Karena Kau membuatku buta pada dunia

Aku hanya dapat memelukMu
mengenalMu dalam kebodohanku
Maka biar saja aku tercampak
Karena aku akan kembali dalam kasihMu
Aku hanya ingin menyentuhMu, Tuhan.


Saat seluruh jiwaku dipenuhi seluruh kerinduan padaMu, Robb

Warnet Ter Cinta (WTC) akan pindah......

Beberapa hari lagi WTC akan pindah, sedih juga rasanya meninggalkan tempat ini. Memang rumah yang kami tempat saat ini gak ada bagus-bagusnya. Atap bocor, lantai lepas-lepas, dinding terkupas. Belom lagi bagian-bagian lain dan ditambah dengan kebiasaan malasnya saudara-saudaraku yang semuanya laki-laki, makin tambah ancur.

Tapi yah, beberapa tahun terakhir, inilah rumahku, tempat melepas lelah setelah bergelut dengan aktivitas kampus. Di sini juga tempatku menyelesaikan semua tugas, juga dari tempat ini banyak kisah hidupku dimulai. Tempat ini memberiku banyak teman, sahabat, bahkan saudara. Kenangan bahagia, tawa, sedih bahkan kesal terpahat menjadi satu dalam tiap lekuknya. Yah, inilah rumahku, setidaknya beberapa tahun terakhir ini.

Sedih rasanya, ketika kulihat calon pembeli tempat ini berkemas-kemas membersihkan karya-karya 'kejorokan' kami, agar kelak mereka nyaman menempatinya. Saat salah satu pohon kebanggaan (baca : Pohon cermai yang merana) kami ditebang. Ah....semuanya akan menjadi kenangan, sebentar lagi.........

Yah, sebentar lagi rumah ini akan tenggelam dalam kenangan. Menjadi sebuah harta karun abstrak yang bertahta dalam ingatan. Keindahan perjalanan waktu di tempat ini yang membuatnya begitu berharga. Bagaimanapun, kelak aku akan tetap menoleh ketempat ini jika melewatinya, mesti yang terpampang bukan lagi papan nama WTC.

Ada hal yang tercipta tidak untuk dilupakan, dan mungkin termasuk tempat ini. Tanah ini mungkin suatu hari akan bercerita bahwa pernah ada sekumpulan manusia yang pernah hidup disini. Sebuah kehidupan yang penuh dengan dinamikanya sendiri.

Semuanya pasti akan sangat berharga dan lag-lagi waktulah yang akan bicara....................................

Saturday, January 26, 2008

Tentang Rindu

tentang rindu
Biar malam ini aku terluka
biar tersayat atau tercincang sekalipun
Jika itu dapat membuatku terus melihat senyummu

Aku masih tak berhasil menghapus wajahmu di mataku
Biarkan saja bulan marah atau bintang meradang
Juga jangan halangi matahari untuk murka
Aku sudah terlalu beku dalam waktu yang diam

Pucuk-pucuk mahoni yang melayang pasrah
menyusuri lorong musim yang bisu
Biar saja semua dipangkas alunan irama untuk nada kesunyian

Tapi, Nada-nada itu brengsek
Dia tak mampu mengusik suaramu yang berdentang di kepalaku
Bagai lonceng yang memanggil hatiku untuk ada di dekatmu

Juga poster-poster bodoh yang membahana di seantero kota
Dan, apa itu senyum agung Monalisa ?
Nyatanya temaram lampu dan taman-taman yang redup
tak juga menghapus wajahmu

Aroma wangi sedap malam atau keangkuhan sekuntum mawar merah
Semuanya tak dapat menguraikan kenanganku akanmu.
Kenapa ?

Aku tak menemukan jawabannya
Pada akhirnya aku berdiri, sendiri dan terpaku
Aku benci dan sangat benci ketika harus menyerah
Bersimpu didepan angin malam yang menyesakkan
Seraya mengakui bahwa aku begitu merindukanmu

Friday, January 25, 2008

Buku Mahal......Gilaaa...............

Malam ini aku pergi ke toko buku, dua buah toko buku yang cukup besar di kotaku. Aku tidak berniat untuk membeli buku, uang sakuku menipis, bahkan sudah sangat tipis. Aku hanya menemani seorang teman, dan tentu sambil mencari kesempatan untuk melahap buku, tanpa harus membelinya. Di toko buku pertama, aku sempat membaca buku berjudul “Off the Record”, sebuah buku yang menceritakan kejadian-kejadian seputar liputan dan meja redaksi wartawan media cetak. Kejadian yang tak pernah diberitakan, karena memang bukan untuk diberitakan.

Selesai dengan toko buku pertama, aku dan temanku beralih ke toko buku kedua. Jaraknya lumayan, 10 menit dengan mengendarai motor berkecepatan lambat. Kami memasuki toko buku di lantai yang terletak dilantai 1 itu, menggunakan eskalator dari lantai dasar.

Mataku lantas berhenti di barisan depan bertuliskan “ Buku Terlaris”. Ku ambil sebuah novel karya Habiburrahman El-Syirazy berjudul ‘Ketika Cinta Bertasbih 2’. “Rp. 61.000” tertulis dibelakang buku itu. Tuhan, aku terkesiap, betapa mahalnya buku di negeri ini, dengan tingkat ekonomi masyarakat yang seperti ini. Aku teringat bahwa di dalam tasku yang kutitipkan di depan toko ini juga ada buku yang sama. Aku telah habis membacanya tadi siang. Sayangnya, buku itu bukan milikku, aku meminjamnya kemarin.

Aku lalu berpikir tentang mahasiswa-mahasiswa sepertiku, dan mereka yang tingkat ekonominya mungkin lebih tinggi sedikit atau malah yang lebih mengenaskan. Bagaimana kami harus membeli buku, sedangkan untuk biaya kuliah saja, harus banting-bantingan. Bagaimana mungkin kami dapat membeli novel dan buku-buku lainnya, semntara untuk membeli buku utama penunjang mata kuliah saja udah bikun sesak nafas. Ah ... aku jadi merindukan para pelaku pembajakan, mereka yang membajak buku dengan kualitas kertas yang lebih rendah dan tentunya harga yang sangat miring.

Bukannya aku tidak tidak mengharagai hak cipta, ide itu memang mahal. Tapi negeri ini butuh pembaharuan, semua itu hanya akan tercipta jika para pemudanya memiliki kualitas akhlaq, ilmu dan pengetahuan yang memadai. Lantas, ketika buku-buku begitu mahal, bagaimana kami dapat menjadi pemuda yang berkualitas ? Jujur, jika ada pembajak buku, aku akan memilih terbitan mereka daripada penerbit buku resminya. Bahkan sebagian besar orangpun mungkin akan melakukan hal yang sama. Buku resmi terlalu mahal untukku.

Meskipun tentunya aku masih punya banyak cara, diantaranya pinjam, misalnya. Harus aku akui bahwa para peberbit alternatif (aku suka menyebutnya begitu, daripada pembajak) merupakan salah satu unsur yang mencerdaskan bangsa ini. Berapa banyak para sarjana dan ilmuwan yang terlahir dari buku bajakan. Itu memang pencurian terhadap hak cipta, tapi kami-kami yang miskin juga ingin pintar. Kalau aku jadi penulis suatu saat kelak (Amin Ya Allah....), aku takkan marah jika banyak penerbit alternatif membajak bukuku, kalau memang terbukti sangat mahal untuk masyarakat.

Silahkan saja, yang penting kalian pintar dan cerdas, aku halalkan ideku untuk kemajuan bangsa ini. Asal jujur saja mengakui ideku, kalau tidak, namanya plagiat murni. Aku mengutuk plagiat seperti itu. Ideku adalah milikku, tapi silahkan jika ingin memperbanyak bukuku.

Toh, aku juga sering melakukan hal yang sama. Aku tahu rasanya, memasuki toko buku, melihat buku-buku di rak, lantas hanya tersenyum kecut melihat harganya. Sumpah, rasanya aku ingin mengutuk angka-angka itu. Aku benar-benar dendam pada hal ini. Tunggulah suatu haru, semoga Tuhan mendengar do’aku. Aku akan punya perpustakaan yang super besar untuk orang-orang sepertiku, haus ilmu tapi kantong kerucut. Tunggulah akan kubalas toko-toko itu.
Aku mengatakan hal ini pada temanku.

Mereka berkata “ pendidikan tuh mahal Yan, ilmu juga mahal, wajar jak kalau buku juga mahal”

Aku langsung nyeletuk “ Kalo gitu memang wajar kalau negeri ini takkan maju-maju sampai hari kiamat” ujarku kesal

“Jangan salahkan kalau negeri ini selalu tertinggal, yang punye ilmu pelittt....” lanjutku

Teman-temanku hanya tertawa.

“Ya udah, kalau maok murah, bikin sendiri”

“Amin....suatu hari” jawabku.

Thursday, January 17, 2008

Laskar Bintang...

Beberapa hari ini aku bahagia sekali. Ada beberapa informasi yang kudapatkan, lalu kuteruskan pada teman-temanku di kampus. Mereka sangat antusias, mulai penulisan cerpen dari litekha hingga pertukaran pemuda yang diadakan oleh british council. Mereka semangat, dan aku sangat menyukainya. Aku menyukai semangat muda yang menggelora, semangat yang membuat negeri ini sedikit tersenyum. Aku tak peduli, apakah itu Indonesia, atau Indopahit. Dan inilah negeriku...

Suasana kampus kembali dinamis, tak terlepas dari teman-temanku yang kian hari kian bersemangat. Mereka membangun mimpi mereka, seperti aku membangun mimpiku. Tak ada lagi penghalang untuk terus bercita-cita. Aku ingin memiliki laskar, seperti yang dimiliki Andrea Hirata, teman-teman yang selalu menjadi inspirasi. Tapi aku tak mau laskar pelangi, aku ingin laskar bintang. Aku ingin agar kami semua dapat bersinar seperti bintang di langit, tak ada yang redup, semuanya mampu memberi cahaya. Tak ada Lintang, yang harus mengorbankan mimpi dan kecerdasannya demi sebuah kenyataan hidup. Yang ada hanyalah kami yang terus berjuang menggapai mimpi kami.

Ada Linda Puji Rahayu, Dian Kartika Sari, Hanisa Agustin, Erny Purwanti, Badliana, Ira Humaira, Widia, Ambaryani dan Aku. Kami memulai tiap waktu kami dengan segala dinamika kehidupan. Ada kesedihan, ada kebahagiaan, ada canda, ada tangisan, ada cita-cita dan semuanya menjadi satu kesatuan dalam suasana kampus kecil yang selalu kami cintai, STAIN Pontianak, jurusan Dakwah, prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).

Sebuah kehidupan yang akan sulit sekali dilupakan, mungkin hingga kami tua nanti. Dan suatu saat, kami akan menceritakan semua itu kepada anak-anak dan cucu kami kelak. Setiap pagi, kami rebutan meminjam koran di kantor Prodi, juga meminta air putih untuk diisi ke botol-botol minum kami. Atau datang kesana untuk sekedar ngobrol dengan dosen. Yah, dosen dan tenaga administrasi KPI, juga menjadi suatu elemen yang membuat kami bersemangat. Ada DR. Yusriadi, Ria Hayatunnur Taqwa, M.Si, Bambang Slamet Riyadi, M.Ag, Ahmad Jais, M.Ag, Syarifah Aminah, M.Si, Ibrahim. MS, M. Si, Amalia Irfani, S. Sos.I dan Baharuddin Idsa, S.Sos.I. Mereka adalah orang-orang turut mewarnai hari-hari kami dan menjadikannya sangat indah. Kami belajar untuk terus berjalan dan menjadi wanita-wanita yang kuat, lebih dari itu, kami ingin membuat negeri kami bersinar terang.

Laskar bintang teruslah bersemangat….

Saat posting di lab computer STAIN Pontianak, mumpung gratis.

Tuesday, January 15, 2008

Beberapa Jam di Tahun Baru Hijriah....(2)



Setelah pembicaraan usai, Ambar mengajak pulang, bersamaan dengan suara adzan yang berkumandang. Papah menawarkan kami untuk sholat dulu, kami menerima tawarannya, mengingat jarak yang akan kami tempuh tidak dekat. Aku dan Ambar berwudhu di samping rumah, dan menaiki tong-tong semen untuk menyipan air, kami menyebutnya tempayan.

“Ati-ati jatok, Kak” kata Ambar.

“Ini keren” jawabku.

Berjalan diatas tempayan punya memori tersendiri dalam hidupku. Sejak kecil aku menyukai air. Karena rumahku tidak di dekat laut, maupun sungai, maka tempayan menjadi alternatif terakhir untukku bermain air. Aku seringkali merendam kepalaku di dalam tempayan sambil berlatih pernafasan. Dan setiap kali Ibuku tahu, dia akan mengomeliku berjam-jam karena ulah gilaku tadi.
Setelah berwudhu, aku dan Ambar sholat Maghrib di lantai atas, di depan kamar anak keluarga ini. Wow...aku mengagumi kamarnya yang luas, ada beberapa tempat tidur yang tertata didalamnya. Dua TV dan playstation didepan TV, serta setrika dan alasnya berada diantara kedua TV tersebut. Beberapa sepatu tertata rapi diatas rak yang ditempatkan di depan kamar itu.

Aku dan Ambar sholat bergantian, Ambar duluan. Aku turun ke bawah, karena Hpku berbunyi, ada yang menelpon. Aku membawa tasku dan ambar ke atas. 18.35 WIB, Kusairi, temanku di Jogja miskol.

“ Knp, Ri” SMS ku

Indak ado. Cuma mau menyatukan dua hati yang terpisahkan oleh samudra indonesia. Makmane kabr Pntianak?Ucpnmu t’nyta bnr, Yan. Ak kmbli mrindkn bauya bumi Borneo” (18.38.13)

“Ptk baek2 jak, Ri. Cm ade riak2 kecik jak. Rindu same bumi borneo or orgnye.Siape tau sempt jatok ati same ank ptk,nanti Ti sampaikan. Hehehehe” balasku.

Dia tak menjawab lagi.

Setelah selesai sholat, aku dan Ambar turun ke bawah. Kami bersiap akan pulang, ketika Mbok dan Bik Te, adik Mbok mengajak kami makan bersama. Kami sempat menolak, tapi tak berhasil. Aku dan Ambar segera bergabung dengan Bik Te dan Mbok di dapur. Kerjaan pertamaku adalah memotong kol. Sementara Ambar memotong bawang.

Aku lebih banyak mengajak Bik Te ngobrol dari pada membantunya. Tak berapa saat aku mendengar komentar Papah dari ruang tengah yang berhadapan dengan dapur.

“Ah...Yanti jadi masak di dapok. Pandai masakkah Ti ?
” tanya Papah meledekku

“Tak pandai Pak, ganggu jak” jawabku pasrah, menghadapi ledekannya.

“Yanti tak pandai masak ?? Waduh susahlah nih.....” Mbok menambahi gurauan Papah.

“Pandai, masak Indomie, itu pun angus”
ujarku sekenanya.

Dan dalam sekejap jadilah aku pusat ejekan. Gara-gara papah neh....hehehehehehe.

Ti, waktu di Gombang sekelompok same siape ?” tanya Papah mengingatkanku pada peristiwa setahun yang lalu ketika STAIN mengadakan Kuliah Kerja Sosial (KKS) di Gombang, kabupaten Landak.

“ Same Pak Wajidi”
jawabku merujuk pada nama dosen tafsir di STAIN.

Lalu kudengar Papah menjelaskan tentang kegiatan KKS kami pada Bapak dan Mbok.

Setelah semua masakan selesai, kami mengelilingi meja makan di ruang tengah. Ada Papah, Bapak, lalu Ambar dan aku. Mbok lewat di depan meja makan sambil membawa piring berisi nasi dan lauk. Ambar mengajaknya makan, tapi dia menolak. Dia sedang membawakan Ai (sebutan kakek, ayahnya yang sedang sakit) makanan. Kami makan dengan tangan, tanpa sendok.

“Kite makan, Ai makan gak...” katanya tersenyum seraya masuk ke kamar Ai.

Tak lama Ambar memilih untuk makan di depan TV, aku mengikutinya. Kami nonton acara Super Mama di Indosiar. Ambar selesai duluan, dia lalu mencuci piring dan gelasnya. Aku juga melakukan hal yang sama. Ketika sedang mencuci piring, lagi-lagi aku harus menghadapi ledekan Papah. Waduh, Pah yang benar saja masa’ gak bisa cuci piring.

Selesai mencuci piring, aku kembali ke ruang tengah dan duduk di samping Ambar seraya mencomot buah jeruknya yang tinggal setengah. Papah menawariku jeruk, aku menjawabnya dengan menunjukkan jeruk di tanganku. Tak lama kemudian, aku dan Ambar pamit pulang. Kami juga pamit pada Ai. Aku melihat Ai terbaring lemah. Ambar menyalaminya, aku mengikutinya. Ai menanyakan siapa aku pada Mbok yang berdiri di pintu kamar.

“Ini cucu Ai gak“ katanya

Siapa” (dalam bahasa Hulu) Ai bertanya.

“ Yanti “ jawab Mbok

“ Yanti siapa ?"  (dalam bahasa Hulu)

“ Adek Ambar “ jawab Mbok

Oh adek Ambar “ katanya.

Aku tersenyum padanya. Ai melakukan percakapan itu, tanpa melepaskan tanganku. Dia terus menjabat tangan, dan menatapku. Ya, Ai menatapku, bahkan ketika dia bicara pada Mbok. Aku merasa tangan dan tatapannya begitu lembut dan hangat. Aku tak punya kakek sejak kecil, hanya ada seorang nenek yang tidak tinggal bersamaku. Mungkin karena itu, sosok Ai begitu membekas dalam ingatanku. Bahkan, hingga aku menyelesaikan tulisan ini beberapa hari setelahnya. Wajahnya masih dapat kuhapal dengan baik.

Dia mengantarkan aku dan Ambar dengan tatapannya hingga hilang di depan pintu kamarnya. Aku dan Ambar menuju teras, kami diantar oleh Mbok, Papah, dan Bapak. Ternyata Papah juga berniat pulang, dia diantar oleh keponakannya, anak Mbok dengan mengendarai motor. Pantas saja aku dan Ambar tak menemukan motornya, ternyata dia pakai Oplet. Kami berpisah di depan Jl. Karet, aku dan Ambar melanjutkan perjalanan menuju Kota Baru, rumahku.

Hari ini aku mempelajari banyak hal, banyak sekali. Terima kasih Tuhan, telah membawa takdirku ke rumah itu, bertemu dengan keluarga yang hangat. Terima kasih untuk beberapa menit yang sangat luar biasa, dapat berjabat tangan dan berkenalan dengan seorang kakek yang telah membesarkan sekaligus mendidik dosen dan teman yang begitu baik, seperti Papah. Seseorang yang peduli dan mengerti cita-citaku.

Dan aku bersyukur, memiliki teman-teman yang luar biasa, Ambar salah satunya. Dia membuatku tidak merasa sendirian ketika menggantungkan cita-cita yang amat tinggi. Harvard dan Sorbonne adalah jembatan impian kami. Sesuatu yang sangat tinggi, untuk mahasiswa-mahasiswa seperti kami. Tapi kami tak pernah peduli, kami terus bermimpi.

Kami tak boleh mendahului takdir dengan menyatakan bahwa semua itu tak mungkin. Apa yang tak mungkin bagi Tuhan ? Untuk kami, mimpi adalah bagian dari nyawa yang menopang kehidupan kami. Saat ini, kami sama-sama berjuang mewujudkan mimpi kami, membentuk atmosfer persaingan dalam prestasi, tapi saling berbagi dalam keseharian untuk saling menguatkan. Jika Aceh terkenal dengan perempuan-perempuannya yang kuat, maka kami adalah perempuan Kalbar yang liat dalam menghadapi tantangan untuk mencapi impian kami. Tuhan, inilah kami.....


Tamat



Beberapa Jam di Tahun Baru Hijriah... (1)

Kamis, 10 Januari 2008 M bertepatan dengan 1 Muharram 1429 H. Pukul 08.30 WIB, aku mendapatkan telepon undangan untuk menghadairi rapat mengenai bulletin dewan dakwah. Undangan itu sebenarnya telah sampai beberapa hari yang lalu lewat SMS teman-teman yang juga bergabung disana. Acaranya di Jl. Silat Baru pukul 12-an atau ba’da sholat Dzuhur.

“Iya Pak, saya usahakan, nanti saya juga akan hubungi teman-teman yang lain” ujarku menutup pembicaraan.

Aku segera menghubungi ketiga temanku via SMS. Dapat jawaban, satu orang diantara kami, Erni, tak bisa menghadiri undangan tersebut karena harus menjadi panitia dalam kegiatan menyambut tahun baru Islam. Akhirnya, hanya aku, Hanisa Agustin dan Fikri Akbar yang akan pergi menghadirinya.

Pukul 11.45 WIB, Hanisa datang menjemputku. Aku belum siap dan dia menungguku. Kami berangkat sekitar pukul 12.20 WIB. Dalam perjalanan, beberapa kali SMS masuk ke Hpku dari teman-teman. Hanisa sempat bilang bahwa kami harus singgah dulu di kampus untuk menjemput Fikri, dia janjian di kampus. Kami berhenti di jalan Letjend. Suprapto, belum sampai di kampus. Hanisa memutuskan untuk menelpon Fikri, menanyakan posisinya saat ini. Dia masih di rumah menunggu motornya yang sedang digunakan kakaknya. Akhirnya aku dan Hanisa memutuskan untuk pergi lebih dulu, dan nanti akan disusul oleh Fikri.

Memasuki jalan Silat, aku dan Hanisa sempat salah memilih jalur. Kami menyusuri jalur kiri, sementara tempat yang kami tuju ada di jalur kanan. Kami segera menyadarinya ketika melihat urutan nomor rumah yang tersusun lebih kecil dan sempat bingung karena urutannya yang agak kacau. Sesuatu yang biasa terjadi dalam perumahan masyarakat, urutan nomor rumah yang kacau.

Ketika sampai kami disambut oleh Pak Fakhrudin, dan di ruang tamu sudah ada Bang Deman, Bang Sujadi, Bang Jumadi, Pak Bastaman, dan seorang lagi yang belakangan ku tahu bernama Heri. Kami duduk di kursi sebelah kiri ruangan (jika posisi menghadap jalan). Sementara yang lain duduk di sofa. Tak lama kemudian, kami dipersilahkan untuk makan siang sambil menunggu yang lain. Satu per satu tamu-tamu lain berdatangan. Pak Nas, dia datang usai memberi kuliah untuk mahasiswanya. Dia menolak dengan halus tawaran Pak Fakh untuk makan siang.

“Saya sudah terlanjur makan, gak baik kalau terlalu kenyang” katanya.

Lalu Rizky yang kemudian datang, disusul dengan Rudy. embicaraan mengenai masalah buletin pun dimulai. Pak Fakh yang membuka pembicaraan disusul dengan Pak Bastaman sebagai pimpinan perusahaan, dan Bang Sujadi sebagai pimpinan Redaksi. Lalu Pak Nas sebagai penanggung jawab keseluruhan. Semuanya bergantian mengeluarkan pendapatnya. Bang Deman memilih banyak diam, dan menuliskan sesuatu di buku catatan kecilnya. Heri benar-benar diam. Bang Jumadi sesekali menimpali dengan komentar atau menambahkan pembicaraan. Nisa dan Fikri lebih suka mendengar. Rizky dan Rudy nimbrung dalam pembicaraan. Aku lebih suka memperhatikan mimik wajah setiap orang yang bicara. Mungkin aku terpengaruh dengan artikel psikologi yang biasa ku baca sambil memperhatikan bahasa yang mereka gunakan (kalau yang ini ketularan kebiasaan Papah).

Pukul 14.45 HP ku berbunyi dari seseorang dari Jakarta. Beberapa hari yang lalu aku dan temanku, Ambar sempat menjawab tantangannya untuk membuat laporan panjang. Dia lantas menanyakan tema laporan yang ingin kami tulis. Mungkin tentang anak-anak putus sekolah, jawabku.

“Tidak menarik, sudah banyak yang bikin” katanya singkat.

Dia lalu menyarankan untuk membuat sebuah laporan kejadian yang baru-baru ini terjadi di Kalbar. Agak berbau etnisitas memang. Menarik, dan aku bilang kami akan berusaha. Usai menerima telponnya, aku kembali masuk ke ruang tamu rumah Pak Fakh untuk melanjutkan rapat DD yang sempat kutingglkan. Aku kembali pada perbincangan yang terjadi di depanku sambil menikmati pisang goreng dan kue nangka dengan adonan tepung beras yang enak sekali, asli buatan Bu Fakh dari hasil kebun sendiri di belakang rumahnya.

Dalam rapat itu, aku sempat menghubungi Ambar, pukul 15.05 WIB, aku SMS Ambar tentang kabar terbaru rencana laporan kami. Akhirnya kami janjian di P3M Cyber, pukul 16.45 WIB.
Rapat masih berlangsung, berbagai pendapat telah dilontarkan, semua sepakat untuk mempertahankan tabloid DD dengan cara kerja yang lebih profesional. Ada catatan lain, kami harus kembali bertemu untuk mempersatukan visi dan misi tabloid ini ke depannya. Minggu, 27 Januari ditetapkan sebagai hari pertemuan berikutnya. Aku agak kecewa dengan rapat kali ini. Beberapa produk tabloid gagal, dan karena itu, ada seseorang yang sangat disudutkan dan dianggap sebagai sumber masalah. Dan orang itu tak hadir hari ini. Kupingku agak panas mendengarnya, tapi aku sama sekali tak bicara soal itu. Biar saja dulu, dengan ini aku bisa menilai bagaimana dan seperti apa orang-orang yang akan menjadi teman kerjaku. Perkenalan itu penting.....Pertemuan ini diakhiri sekitar pukul 16.15 WIB. Ada 30 menit waktu yang tersisa untuk meluncur ke P3M guna menepati janji pada Ambar.

***

Sampai di P3M, aku melihat Apri di meja billing yang tersenyum usil, khas gaya anak bungsu P3M ini. Aku sholat Ashar di lantai 2. Ketika selesai Ambar telah menungguku di ruang depan. Aku membawanya masuk ke ruang tengah dan membicarakan tentang laporan kami. Lalu kami berdua memutuskan untuk berkonsultasi dengan Papah kami, (Ambar menulis Ayah~Y di Hp untuk nomor Hp papah dan aku menulis dengan nama pendeknya). Ambar menelponnya. Awalnya, kami berencana menemuinya di kantor, tapi ternyata dia ada di rumah Mbok (panggilan untuk kakak perempuan).

Kami kesana, TPI (bukan Televisi Pendidikan Indonesia, ini nama sebuah tempat di Pontianak) lumayan jauh dari P3M. Kami tiba sekitar pukul 17 lewat, aku lupa melihat jam saat itu, mungkin sekitar 17.30 WIB. Ambar sempat lupa rumahnya, motor kami berjalan lambat, untuk melihat motor Papah yang kemungkinan parkir di halaman rumah Mbok. Tapi tak kami temukan. Untung saat itu, seorang lelaki yang dikenali Ambar sebagai suami Mbok, yang kemudian kusapa dengan Bapak, berdiri di teras rumahnya. Kami berhenti dan mengucapkan salam. Dia mempersilahkan kami masuk.

Ambar segera masuk, dan langsung ke ruang dalam. Dia memang dekat dengan keluarga ini. Dia dan Papah masih memiliki hubungan keluarga dan sempat tinggal di rumah Papah, sehingga dia mengenal dengan baik keluarga Papah, maupun kakak dan adik-adik serta orang tuanya. Tinggallah aku yang terbengong sendirian, tidak tahu harus kemana. Tak sopan rasanya jika harus masuk ke dalam, sedangkan aku orang asing di sini. Untung Papah segera keluar, dia yang menemaniku di ruang tamu sambil bercakap-cakap tentang laporan itu. Sore itu, dia mengenakan kaos putih dengan berbagai tulisan berwarna merah, dan salah satu tulisan yang kuingat berbunyi “EQUATOR”. Sebuah kenangan lama.

Kaos itu dipadankannya dengan celana panjang berwarna abu-abu. Tak lama, Mbok keluar dengan membawa dua gelas syrup rasa Lychee. Kami berkenalan, dia wanita yang sangat ramah. Papah memperkenalkannya sebagai aktivis WARTA zaman dia kuliah dulu. Wow, senang bertemu dengan pendahuluku. Dia dan Papah kuliah di kampus yang sama denganku sekarang. Sikap dan sinar matanya yang bersahabat membuatku nyaman. Dia sempat berbicara denganku sebentar, lalu masuk kedalam, karena ayahnya sedang sakit. Papah mendengarkan ceritaku, lalu memberikan komentar.

“Laporan itu beresiko” katanya.

Tak lama Ambar bergabung denganku dan Papah di ruang tamu. Papah mengingatkanku dan Ambar tentang apa yang kemungkinan akan kami hadapi sebagai ganti laporan ini. Resiko yang memang tak kecil untuk ukuran kami yang masih kuliah dan dalam tahap belajar. Dia mengenal orang-orang yang akan menjadi nara sumber kami, juga orang yang menyarankan tema itu pada kami. Dia tidak melarangku dan Ambar untuk menulis laporan itu, khas sikapnya, dia bilang silahkan kalau ingin mencoba. Tapi kami bisa merasakan bahwa dia lebih senang jika kami mencari tema lain. Banyak hal yang dibicarakannya, dan kami menangkap bahwa dia mengajari kami untuk lebih selektif dalam memilih tema laporan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga termasuk faktor keselamatan yang dari tadi membuatnya kelihatan agak keberatan dengan tema laporan kami. Kami mengerti.

Bersambung.....

Wednesday, January 9, 2008

Tahun Baru, Siapkan Rencana...


Selamat Tahun baru 1429 hijriah semuanya.......................

Rasanya senang sekali menyambut tahun baru ini, tahun baru Masehi, juga Hijriah. Kedatangan mereka menjadi sebuah momentum untuk kembali menyusun tekad dan jalan baru yang harus mulai kutempuh. Aku tak boleh sama seperti yang kemarin, aku harus lebih baik hari ini dan lebih baik lagi esok hari. Tuhan telah begitu baik dengan memberiku banyak kesempatan yang tak dimiliki oleh semua orang. Tentu saja aku tak boleh menyia-nyiakannya. Tak ada lagi waktu untuk aku bermain dan bermalas-malasan. Waktu tak dapat menunggu, apalagi kembali. Itu artinya aku juga tak boleh diam.

Ada agenda-agenda yang harus segera kulaksanakan. Di tahun ini, aku harus bisa menggapai semua yang telah aku rencanakan, tentunya dengan ridho Allah, Sang Pemberi inspirasi. Aku benar-benar ingin menempa kemampuanku, telah habis rasanya waktu untuk mempermainkan masa depan. Sekarang waktunya berpikir dan berbuat.

Tahun ini, di semester 6, aku harus berhasil mempertahankan proposal skripsiku, dan untuk seterusnya menyusun skripsi. Aku harus benar-benar melakukan penelitian dan membuatnya menjadi karya tulis terbaikku. Skripsi bukan hanya sebuah tulisan panjang sebagai syarat memperoleh gelar sarjana, tapi lebih dari itu. Untukku skripsi adalah tulisan dimana aku harus bisa berpikir, melihat, merasakan, mendengar fenomena sosial masyarakatku, untuk kemudian menemukan, menganalisa dan menuliskannya, lalu mempertahankannya sebagai suatu gejala yang memang patut untuk mendapatkan perhatian. Itu semua adalah langkahku untuk memahami realitas masyarakat di sekitarku.

Tahun ini, aku harus menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi. Aku harus mampu menulis tiap sudut yang terlupakan, kisah orang-orang kecil yang tak dianggap dan membuat orang sadar bahwa semua itu adalah pelajaran berharga. Aku harus berkarya, berkarya dan berkarya. Aku yakin aku bisa menemukan apa yang disebut dengan jalan takdir, dan aku akan menemukan takdirku.

Robb, beri aku kekuatan untuk menjadi apa yang aku inginkan, dan berikan aku kelembutan untuk selalu menyadari kekuranganku dan bersandar pada Mu. Tolong berikan aku semangat untuk mengejar mimpi-mimpiku, tapi beri juga aku kesadaran untuk memahami kehidupan. Biarkan aku terbang dan menjemput bintangku diangkasa, tapi tolong jangan membuatku lupa untuk kembali membumi. Terimakasih, Pelindungku.