Thursday, February 28, 2008

Dewasa...

“ Kenapa manusia harus dewasa dan berlari menuju kehancurannya sendiri “.

Begitu sebuah pertanyaan yang kubaca dari serial komik histori karya Ryoko Ikeda. Judulnya Rose of Versailles. Waktu itu, umurku 12 tahun, tepat ketika aku duduk di kelas 1 SMP. Rose of Versailles adalah salah satu judul komik favoritku. Bahkan hingga saat ini, dia punya tempat khusus dalam ingatanku.

Komik itu bercerita tentang seorang putri bangsawan tinggi dari kerajaan Perancis, namanya Oscar De Jarjayes. Sesuai dengan namanya, meskipun putri bangsawan, Oscar tidak dididik layaknya seorang lady. Oscar dibesarkan sebagai laki-laki tepatnya prajurit. Semua itu terjadi karena ayah Oscar, Jenderal De Jarjayes tidak memiliki putra, sementara dia membutuhkan penerus. Hanya ada satu jalan yakni mendidik salah satu putrinya sebagai prajurit yang akan menggantikannya kelak. Dan Oscar, si bungsu dari 7 bersaudara inilah yang harus mengorbankan statusnya sebagai perempuan demi meneruskan posisi yang Ayah.

Oscar adalah prajurit yang luar biasa cerdas, diusia yang belia dia telah mampu menjadi komandan pasukan kavaleri, sebuah satuan pasukan elit di kerajaan. Bukan lantaran Oscar adalah anak dari panglima tertinggi, namun dia mendapatkan semua itu karena kemampuannya yang memang diatas rata-rata. Oscar memiliki seorang sahabat sekaligus pengawal bernama Andre Grandier. Sejak kecil Andre telah menemani Oscar, bahkan dia bersumpah untuk menjaga Oscar selamanya. Andre merasa berhutang budi pada keluarga Oscar yang telah membesarkan dan menolong dia dan neneknya. Bukan hanya karena itu, sejak kecil Andre jatuh cinta pada Oscar.

Oleh sebab itu pula, ketika revolusi Perancis pecah pada 1789, Andre tetap berada di samping Oscar yang kemudian memutuskan untuk menentang kerajaan dan memilih untuk membela rakyat Perancis. Oscar tak rela membunuh rakyat Perancis, dia memilih untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya dan dibuang dari lingkungan kerajaan. Hanya Andre yang tetap disampingnya. Saat akan berperang, di atas kuda putih yang ditungganginya, Oscar berkata :

“ Dre, setelah perang ini selesai, kita menikah...” Oscar membayangkan, bahwa dia dan Andre akan hidup tenang di desa yang jauh dari permasalahan politik dan kekuasaan.

Andre kaget, tapi bahagia. Dia menatap Oscar yang kemudian melesat ke depan memimpin perang revolusi besar itu. Di hari yang sama, mata-mata kerajaan mengetahui bahwa Oscar adalah kekuatan utama prajurit rakyat. Mereka mengincar nyawa Oscar. Tembakan diarahkan padanya, tapi prajurit cantik berambut perak itu mampu menghindari setiap tembakan yang datang. Namun, dia tidak menyadari bahwa sebuah peluru sedang berlari menuju jantungnya. Andre yang melihat tembakan itu, tak ada jalan lain, diapun menyerahkan dadanya sebagai tameng nyawa Oscar. Ketika itulah Andre tumbang bersamaan dengan robohnya semua bangunan harapan yang mereka sematkan. Saat-saat seperti inilah yang membuat Oscar berpikir :

“ Kenapa manusia harus dewasa dan berlari menuju kehancurannya sendiri ?”.

Dewasa berarti kehancuran. Mungkin.
Waktu kecil, Oscar tak pernah protes sedikitpun ketika dia lahir sebagai perempuan, namun dibesarkan sebagai laki-laki. Tapi, dia mulai merasa bahwa semua itu tak adil ketika dia mulai dewasa dan mengenal cinta. Oscar harus kehilangan cinta pertamanya, Van Versent, hanya karena pemuda itu menganggap bahwa Oscar terlalu kuat dan tegar untuk dicintai sebagai wanita.

Ketika kecil, Oscar bisa tak peduli pada penderitaan rakyat, karena dia dibesarkan dan dilatih sebagai pasukan elit kerajaan. Tapi kesengsaraan rakyat Perancis mulai membuatnya galau ketika dia beranjak dewasa dan berpikir tentang kehidupan.

Saat kecil, Oscar tak perlu merasa sangat tersiksa karena kehilangan Andre. Sebab, Andre selalu berada di sisinya, tak sekalipun pernah meninggalkan Oscar. Namun, semua itu menjadi luka yang sangat menyiksa ketika dia dewasa dan memahami bahwa Andre bukan sekedar sahabat, tapi juga sandaran hati dan orang yang sangat dicintainya, di saat yang sama Andre harus pergi selama-lamanya. Semuanya menjadi begitu tidak adil ketika dia dewasa.

***

Pertama kali aku membaca pertanyaan itu, aku berpikir bahwa Oscar salah, karena dewasa berarti pintu untuk bebas. Bebas menentukan menentukan hidup, mengambil keputusan dan bebas dalam segala hal. Kamu bebas menentukan untuk sekolah dimanapun. Meski NEM-mu tinggi, kamu tidak dipaksa untuk masuk ke sekolah favorit, bebas untuk menentukan apa yang ingin kau lakukan, dan bebas untuk memilih jalan yang sesuai dengan hatimu. Pendeknya, waktu itu aku mengambil sebuah kesimpulan bahwa dewasa adalah kebebasan.

Sekarang aku telah dewasa. Aku berada di depan pintu itu. Hingga sekarangpun aku masih berpikir bahwa Oscar salah. Dewasa tidak berarti kehancuran. Tapi, aku mulai tak setuju dengan kesimpulanku dulu. Dewasa tak semudah yang dulu kupikirkan. Tak selamanya dewasa berarti kebebasan. Banyak sekali yang kemudian mau tidak mau harus mempengaruhi keputusan yang diambil.

Dewasa tak sekedar kebebasan untuk memilih sekolah yang kau suka, meski sekolah itu biasa-biasa saja. Dewasa tak hanya soal kebebasan untuk menyatakan bahwa kau lebih suka menjadi penulis daripada pegawai kantoran atau pernyataan bahwa kau ingin jadi dirimu sendiri.

Lebih dari itu. Dewasa menuntutmu melihat dan memahami semuanya lebih jauh ke dalam. Bukan sekedar keinginanmu, tapi juga harapan orang-orang yang ada didekatmu. Bukan sekedar bahagiamu, tapi juga senyum bangga orang lain. Bukan sekedar lukamu tapi juga kecewa banyak orang. Semuanya, hingga dadamu kadangkala begitu menyesakkan, hatimu terasa begitu terhimpit. Lebih dari apa yang dulu kau rasakan saat dengan terpaksa kau langkahkan kaki menuju gerbang sekolah yang sama sekali tak pernah nangkring dalam otakmu. Lebih dari itu.

Tapi, dewasa adalah saat dimana kau mampu memberikan sesuatu untuk orang lain. Dewasa adalah waktu ketika kau mampu memahami bahwa hidup tidak terpusat pada hatimu, tapi kau adalah bagian kecil dari kehidupan itu sendiri. Saat itu pula dimana kau akan menilai pantas atau tidaknya Tuhan memberikanmu kehidupan. Aku punya kesimpulan baru tentang dewasa. Dewasa adalah tanggung jawab.


23 Februari 2008

Aku, Minggu dan Kajian itu.....

Minggu, 17 Februari 2008 kemarin, aku mengikuti sebuah kajian keislaman. Lumayan buat nambah ilmu yang memang tak seberapa ini. Aku diajak oleh Ambar, temanku. Awalnya jadwal kajian pukul 10.00 WIB, tetapi kemudian Ambar mengirimiku sebuah SMS.

“ Ass ukh dh bngon blm ? O ya!hr ni kajiany g jd jm 10,tp jm 13.ntr ambr jemput jm12.15.lg ngapa?joging yo!biar sehat.” 07: 05: 24 WIB

Aku tersenyum agak lega. Lumayan masih ada waktu beberapa jam untuk membereskan semua pekerjaan rumah. Ada cucian yang masih menumpuk, kamar yang seperti kapal Titanic di saat-saat terakhirnya dan buku-bukuku yang tak pernah diam manis di tempatnya.

Aku berjalan ke ruang tengah, melongok di depan TV sebentar melihat acara yang menjadi favorit seumur hidupku, aneka kartun. Detective Conan belum dimulai, tapi sepertinya hari ini aku harus melupakan kencanku dengan detektive imut itu, yah untuk hari ini aku ikhlas dia ditemani Ran Maori saja.

“ Ti, kalo kerje tuh cepat sikit, katenye mok pegi. Nyuci belom, makan belom. Cepat sikit kerje tuh, depan tepi pulak die” Suara ibuku terdengar merdu ditelinga, namun cukup membuatku terkesiap dan pasrah melangkah ke dapur membereskan meja makan, lalu mencuci pakaian.

Kira-kira pukul 11.00 pekerjaanku selesai. Waktunya untuk makan, mandi, sholat dan lain sebagainya sebelum dijemput Ambar. Sip, jam 12.10 selesai semuanya. 5.....10.....15 menit.... Ya ampun kemana si Ambar ? Aku manyun di ruang tengah menunggu kedatangannya.

Sekitar pukul 13.10 baru kudengar suara motornya di depan rumahku. Yup, tanpa banyak bicara kami pergi membelah kota panas dan juga diwaktu yang panas ini. Sekolah IBM tujuan kami, karena di mushola sekolah itulah tempat kajian yang akan kami hadiri.

Tiba didepan mushola itu, kami bersamaan dengan seorang wanita yang kemudian kutahu bahwa dialah yang memberikan materi dalam kajian tersebut. Kami masuk bersama. Didalam, 3 orang gadis telah menunggu sambil membaca Al Qur’an. Kami memberikan salam, lalu ritual kajian dimulai. Hafalan Qur’an 5 ayat setiap minggunya, aku bengong. ‘kan tidak menghafal, gimana harus nyetor ? ternyata aku juga harus menyetorkan hafalan pada pasanganku, yaitu Ambar. Untung saja dimulai dari surah paling akhir, An Naas. Aku menyelesaikan hafalanku, begitu juga yang lain. Lantas ada beberapa menit jedah untuk melanjutkan kegiatan berikutnya. Aku memanfaatkannya untuk memperhatikan tempat disekelilingku.
Aku belum menanyakan nama mushollah itu, yang jelas dia terletak di sebelah kiri komplek sekolah IBM, didepan asrama siswa. Bangunannya tidak besar, bahkan terlihat sederhana. Dinding dalamnya dari kayu yang dipelitur, ada beberapa tempelan didinding itu, jadwal sholat, kaligrafi dan jam dinding. Karpetnya yang berwarna hijau sudah agak terkelupas dari lantai. Di sudut belakang ada sebuah lemari kecil tempat menyimpan Al Qur’an dan mukena.

Aku jadi teringat pada masjid Al Badar, masjid sekolahku dulu. Betapa rindu memasuki dan sholat di dalamnya. Entah seperti apa keadaan dalamnya sekarang ? Beberapa tahun sudah aku tak pernah ke sana, hanya sering lewat didepannya.

Lamunanku kemudian buyar, karena aku harus memperkenalkan diri, dari perkenalan itu pula akhirnya aku tahu ketiga gadis tadi bernama Tina, War dan Indah. Wanita yang memberi materi belum memperkenalkan diri, karena dia sedang menelpon temannya. Setelah menutup telponnya, dia mempernalkan diri. Namanya Zaleha, guru di sekolah ini, dan keempat temanku ini adalah lulusan IBM, artinya pernah diajar olehnya. Berarti aku sendiri yang kesasar......

Wanita itu tampak lembut, dia kemudian menanyakan motivasiku ikut dalam kajian ini. Aku sudah menduga akan bertemu pertanyaan ini, sebuah pertanyaan yang paling aku tidak suka. Tapi pertanyaan yang seakan-akan wajib ditanyakan pada seorang anggota baru. Aku menjawabnya.

Lalu kami masuk pada sesi tafsir ayat dan materi. Materinya tentang mengenal Allah. Kami harus mencatat pendahuluan materi itu dengan huruf Arab. Waduh, tulisanku hancur sekali dan tak bisa cepat. Alhasil aku kerepotan, tapi untung saja masih bisa kuatasi.

Setelah semua selesai mencatat diapun memulai materi tadi, aku dan teman-teman lain mendengarkannya. Aktivitas itu selesai tepat saat adzan Ashar berkumandang. Kami sholat bersama-sama, Bu Zaleha yang menjadi imam. Usai sholat, kami bersalam-salaman. Meskipun kajian telah selesai, namun tak ada seorangpun dari kami yang meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian War bersuara. Dia mengeluarkan 3 pertanyaan yang dia dapatkan dari seorang temannya. Pertanyaan yang katanya harus dijawab dengan logika, tak boleh menggunakan Al Qur’an sebagai referensi. Aku bingung dengan pertanyaannya, apalagi dengan jawabannya.

“ Saya dapat pertanyaan dari seorang teman, mengapa gereja lebih menonjol dari masjid, padahal’kan Allah Maha Kuasa. Kalau dia mau membuat semua orang menjadi muslim, pasti akan sebentar saja. Jawabannya ndak boleh pakai ayat dalam Al Qur’an “ kata War

Gereja lebih menonjol dari masjid ??? O ya ??? Aku pikir penilaian ini subjektif sekali. Gereja lebih menonjol dari masjid atau sebaliknya, semuanya tergantung pada siapa yang melihatnya, dimana dia melihatnya dan kapan dia melihatnya juga dari sudut pandang apa dia melihatnya. Lalu kenapa dikaitkan dengan kekuasaan Allah untuk mengubah semua umat menjadi Muslim ? Kenapa pula tidak boleh menggunakan Al Qur’an sebagai referensi ?

“ Terus jawabannya apa ?” tanya Bu Zaleha kemudian.

“ Nah itulah letak kekuasaan Allah, dia memberikan manusia akal untuk berpikir untuk memilih jalannya sendiri ...” jawab War lagi

“ Nah, hubungannye ape ?” tanya Bu Zaleha

“ Itu, kekuasaan Allah dengan akal itu supaya kite bisa memikirkannya” katanya lagi.

Aku bengong, tak mengerti sama sekali, hubungannya dengan gereja yang katanya lebih menonjol gimana ? Sedangkan kata ‘menonjol’ sendiri belum dapat dibuktikan keabsahan penilaiannya. Otakku tak dapat menjangkau pikiran mereka, mungkin cara mereka berpikir dan menganalisa suatu pertanyaan terlalu tinggi, tidak hanya dari segi bahasa tapi juga sesuatu dibalik makna. Mungkin.....

Handphone-ku berbunyi memecah kesunyian pikiranku.

“ Ti,u ad d rmh k?kwn kn aq undngn ti “ sender Dewi 16.43.41

“ Maaf Wi, kykx tak bs, yanti agk di sui jawi. Sory honey ” balasku

Aku sedikit merasa bersalah menolak ajakannya. Sudah beberapa kali aku menolak permintaan gadis itu untuk pergi bersamanya, padahal dia baik sekali. Dewi adalah sepupuku, umurnya satu tahun diatasku. Dia gadis yang cantik, tinggi dan langsing, sangat ramah tapi juga peka terhadap perilaku dan sikap orang-orang kepadanya. Tapi setahuku, dia tidak terlalu sensitif dengan sikapku, karena dia tahu benar bahwa aku, sepupunya ini sulit dimengerti dan tidak peka dengan perasaan orang lain.

Sekitar pukul 17.00 kami bubaran dan berniat pulang kerumah masing-masing. Satu per satu anggota kajian ini meninggalkan musholla. Tinggal aku dan Ambar yang terakhir berada di sini. Ambar memboncengku dengan motornya, hanya dua meter dari teras musholla dia berhenti.

“ Kak, bannye bocor ke ?” tanyanya. Aku turun dan melihat ban motor. Benar, tak ada angin sama sekali di ban belakang motor itu.

“ Kayaknye pecah lah Mbar “ jawabku lemah

“ Ha...........dorong lah kite nih” katanya lagi

“ Dimane ade bengkel ?”

“ Depan ade “ katanya merujuk pada gang tempat kami berdiri. Dia lalu memegang stang motor, sementara itu aku mendorong dari belakang. Kami melewati gang kecil yang jalannya di semen, tapi sudah pecah-pecah disana sini. Ambar lalu bercerita tentang masa-masa dia bersekolah di IBM.

“ Dulu Ambar pakai sepeda, kalau sepeda Ambar bocor atau kempes, Ambar doronglah, kadang gak Ambar tinggalkan kalo susah” katanya mengawali cerita.

“ Pake sepeda, jaohlah ye ? Berape lamaklah Mbar ?” tanyaku

“ Dari jeruju ye.... tapi tadak gak jaoh, Ambar’kan suke nembos-nembos jalannye. 15 menet lah “

“ Wah, berarti dari SMA memang pembalaplah ye...” kataku

“ Iyelah, kite...... tapi paleng susah tuh kalau agik banjer, jeruju tuh suke banjer Kak. Ambar bincinglah sepatu Ambar. “

“ Betol, Yanti waktu sekolah kalau ujan, yanti bincing sepatu Yanti. Sayang, sepatu mahal. Waktu kuliah jak, pernah Yanti bincing sepatu Yanti. Jadi baleknye tuh, kan nebeng Nisa, Yanti tak pake sepatu, pake kaos kaki jak. Nisa jadi ngikot hehehehe. orang liat, mane duli..... kalo kaos kaki kan tak mahal” kataku lagi. Kami tertawa.

“ Kite same-same pelit ye.......” ujar Ambar sambil tertawa

“ Ye......Ambar tuh yang pelit, Yanti tadak, Yanti tuh hemat.....hehehehe” jawabku menggodanya

“ Hm....dasar, tinju nanti.....” katanya kesal

Tak terasa kami sudah sampai di ujung gang, tepat di Jl. Rais A Rahman. Bengkel langganan Ambar ternyata tutup. Dia memintaku menunggui motornya sebentar, sementara dia melihat-lihat lokasi bengkel yang lain.

“ Situ’ ade bengkel Kak” katanya menunjuk deretan ruko di sebelah kiri kami. Tak jauh, mungkin sekitar 150 meter.

“ Sip...” kataku seraya mendorong motornya. Kali ini kami berganti posisi, aku yang pegang stang, dan dia mendorong dari belakang. Kami sampai ditempat tambal ban, kami meperhatikan bagaimana ban motor itu dipompa lalu direndam di dalam air. Akhirnya kami bosan, dan memilih meninggalkan tempat itu, kami mencari minuman. Tenggorokan rasanya kering sekali, hari ini aku tak membawa botol minum.

“ Sekalian cari ceres, kawan Ambar titip “ ujar Ambar sambil berjalan

“ Susah nih bejalan same emak-emak “ kataku lagi-lagi menggodanya.

“ Tinju nanti nih....” katanya bernada manja

Kami masuk ke sebuah warung, dan menemukan ceres di sana. Sayang tak sesuai dengan pesanan temannya. Kami lalu keluar dan berjalan lagi, ada sebuah warung es kecil di tepi jalan, kami memutuskan untuk membelinya. Sesuai perjanjian, tidak beli minuman yang mahal, sedang kanker stadium IV (kantong kering sekali). Setelah 5 menit memilih minuman, kami akhirnya sepakat membeli es teh sisri gula batu. Harganya Rp 600 perkantong, jadilah Rp 1200 untuk semuanya. Kemudian Ambar menelpon untuk meminta persetujuan membeli ceres yang tadi kami lihat di warung pertama, temannya setuju. Aku dan Ambar kembali lagi ke warung tersebut untuk sekantong ceres. Setelah itu lalu ke tempat tambal ban, mengambil motor dan bergegas pulang.

Dalam perjalanan kami bercerita tentang banyak hal. Ambar bercerita tentang Ayah~Y nya yang selalu mendukung dan memberinya semangat. Termasuk memberikannya banyak sekali kesempatan untuk lebih maju.

“ Die perhatian tuh same Ambar, die selalu nanyakan tugas-tugas Ambar. Pokoknye perhatianlah same Ambar. Makenye ade ape-ape Ambar pasti cerite same die. Kakak ngiri tuh..... “ gantian dia yang menggodaku

“ Siape yang ngiri ....... ? Iyelah, die ayah Ambar, ambeklah sana. Yanti cari Papah baru jak lah. Nanti Yanti bikin pengumuman ‘Siape yang mok jadi Papah Yanti yang baru?’ Yanti tempel di mading. Siape gak tau, Pak Hermansyah maok jadi Papah Yanti” jawabku asal. Ambar tertawa.

“ mane ade yang maok.....” ujarnya penuh kemenangan.

“ Kalo tak ade yang maok, udahlah, tak jadi pensiunlah Papah Yanti tuh, kite bagi dua’ jak lah ye hehehehehe “. Lagi-lagi Ambar tertawa.

Persahabatan kami memang aneh, kami sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Seringkali kalau berebut sesuatu, tak ada seorangpun diantara kami yang mengalah, hingga akhirnya kami letih sendiri. Tapi aneh, semua itu membuat kami nyaman berada di dekat satu sama lain, mungkin karena beberapa persamaan yang mendasari hidup kami.

Aku bercerita tentang beberapa mahasiswa yang nilainya banyak tak keluar, ternyata Ambar juga punya stok nama yang tak sedikit untuk masalah yang sama.

“ Heran ye, kuliah bah susah. Duet tinggal mintak, komputer ade, motor ade ape agiklah?” katanya

“ He’eh. Kite jak yang banting-bantingan carek duet maseh nak kuliah. Yanti malah pengen sekolah terus, tak taulah sampai S berape, pokoknye sampai capeklah” sambungku.

“ Samelah Kak, Ambar pon gituk gak. Tak kepikeran yang laen. Ambar nak sekolah nak kerje, banyaklah pokoknye. Banyak sekali cite-cite Ambar nih”

“ Sama dong, Yanti tuh banyangkan, nantik sarjana, trus dapat tugas belajar, bea siswa ke Perancis, waduh....... Sorbonne........”

“ Kalau Ambar Harvard, ah.......ketemu same Bill Kovach......”

Kami kemudian larut dengan impian masing-masing. Dengan impian yang tinggi sekali seperti matahari yang sedang memerah di ufuk barat itu.

“ Eh, nanti kite ketemuan ye, sekali-sekali Ambar yang ke Perancis, nantik Yanti yang ke Amerika “ ujarku agak gila

“ Oh... tenang Kak, kite ketemualah pokoknye.....”

“ Amin.....” ujar kami bersama.

Tak terasa aku dan Ambar telah sampai di depan rumahku, setelah mengucapkan salam perpisahan dan sedikit cekikikan, kami berpisah. Dia harus melanjutkan perjalanannya di sore yang hangat ini. Aku masuk ke dalam, inilah hariku, hari ini. Thanks for Today, Ya Allah.


17 Februari 2008

Saturday's Night

Aku baru saja selesai mandi, dan akan menggoreng singkong ketika Hpku berbunyi. Jreng....pesan dari INDOSAT layanan Telpon Aku (TA) dari seorang teman. Dia meminta aku menghubunginya. Wah tumben sekali, biasanya aku yang selalu kirim TA, dan dia selalu balik menelponku. Ada apa gerangan ? Pasti ada sesuatu yang penting dan pulsanya benar-benar kosong, pikirku dalam hati.
Dan benar, dia sedang kesulitan. Dia memintaku menghubungi teman yang lain untuk segera menjemputnya di asrama haji. Aku memenuhi permintaannya.

“ Bg kiki, bg mul mintak jemput d asrama haji skrg. Cptn katenye. Ok.”

SMS yang sama kukirimkan ke dua nomor, Simpati dan IM3, sebab Kiki, temanku yang lain ini memiliki dua kartu. Sempat pending hingga 1 jam kemudian. Lalu SMS ke Simpati terkirim pukul 21.02.00 sedangkan IM3 gagal.

Setelah itu, aku lalu melanjutkan pekerjaanku, menggoreng singkong, kami menyebutnya ubi. Sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, tentu saja ubi menjadi salah satu makanan favoritku, melebihi keju atau burger yang aku tak tahu mengapa banyak orang bilang enak, padahal di lidahku terasa aneh. Hm... mungkin saja memang lidahku yang salah, tapi mungkin juga lidah mereka yang tak jujur karena keju atau burger memiliki prestise yang lebih tinggi, terkontaminasi-lah selera makannya.

Aku lalu menghidangkan ubi gorengku ke dalam piring putih dengan motif buah-buahan berwarna hijau dan membuat teh di gelas yang besar. Lumayan cantik juga penyajian si ubi goreng, pikirku, kemudian aku membawanya ke ruang tengah untuk dicicipi anggota keluargaku yang lain. Ada nenek dan mak yang sedang menonton sinetron di RCTI, sedangkan adikku sedang having fun bersama temannya di teras rumah. Bapak sedang pergi, biasanya ngobrol bersama teman-temannya di depan rumah atau di masjid ujung komplek. Satu fungsi baru masjid, tempat kongkow bapak-bapak komplek.......

Aku duduk sambil menyandarkan tubuhku di dinding. Map berisi kliping tulisanku yang pernah dimuat di media massa aku singkirkan. Tak asik kalau di klipingku kemudian membekas minyak ubi. Aku tengah menikmati makanan favoritku itu ketika Hpku lagi-lagi berbunyi. Aku segera beranjak dan menghampiri Hp biru yang tergeletak cantik diatas kursi. Aku pikir SMS dari Bang Kiki, Nisa, Ambar, atau Bang Mul, tapi ternyata salah.

“ Ti, kamu gilee abis.” Sender Papah. 21:27:11

Ha......??? aku terbengong sambil melongo. Kalau soal gila, ya aku tahu sekali aku memang tak waras, bahkan teman-temanku setuju bahwa aku emang gila. But, Papah bilang aku gila ? Hehehe...., ada apa nian ? Aku tertawa sendiri sambil memencet keypad HPku

“ Kok gile, pak ?” delivered to Papah 21.29.28

“ Sy br baca blogmu. Wow, terpukau. Hebat. Caramu menulis, mendeskripsi, luar biasa. Papah kagum abis.” Sender Papah 21:31:41

Aih, aku kaget, bukan karena dipuji. Waduh gawat neh, berarti Papah baca semua dunk. Mana banyak yang nyeleneh, ada pula tentang dia, teman-teman dan semuanya. Bahkan ada tulisan yang kubuat saat kesal sekali padanya. Aku menaikkan kakiku ke kursi hijau di ruang tamu, Hpku masih diisi. Ubi gorengku ketinggalan di ruang tengah.

“ Itu Cuma ctatan hrian,agar tak lupa. Jgn diolok pa,byk yg nyeleneh jg tuh,ape agk watu nulisx agk sangsot. Hehe. Makasi ya,blog pa jg tmpiln bru kan?keren abis.” Delivered to Papah 21.59.11

Aku merujuk pada tampilan blognya yang baru diedit, dan tampak banyak sekali penambahan-penambahan. Aku membacanya kemarin.

Tak beberapa lama ku dengar tetangga-tetanggaku agak ribut dan keluar rumah. Aku memperhatikan lewat jendela. Mak lewat sambil memberikan sepiring ubi gorengku tadi, tepat pada saat itu Hpku berbunyi kembali.

“Kalau sangsot nulisnya segitu, ape gek kalo normal ya. Ya mau buat jg cttn ttg yanti malam ini. Mg2 bsok jadi.” Sender Papah 22.01.59

Aku keluar rumah setelah membaca pesan singkat itu. Di belakang rumah tetanggaku tampak cahaya merah, sementara itu aku mendengar raungan suara sirine mobil.

“ Ade kebakaran.... “ ujar salah seorang tetanggaku keliatan agak panik.

“ Tapi jaoh, mungkin di Ampera” kata yang lain menyambar

“ Tadak, bukan di Ampera, kayaknya lebeh dekatlah...” sambung yang lain lagi

“ Tengok jak yok...”

“ Saye ambek motor lok, pegi kite ramai-ramai...” kata mereka kemudian

Aku melihat beberapa orang tetanggaku pergi mengendarai motor untuk melihat lokasi kejadian. Aku tersenyum senang, artinya aku juga akan mendapatkan informasi tentang kebakaran itu, apalagi bapakku juga ikut. Sekitar beberapa menit kemudian listrik padam, mungkin ada hubungannya dengan peristiwa kebakaran itu. Tak lama kudengar suara tangis bocah laki-laki yang histeris memanggil orang tuanya. Ternyata suara itu berasal dari rumah tetangga depan rumahku. Vino, anak laki-laki yang baru berumur 5 tahun itu, terbangun dari tidurnya dan ketakutan karena keadaan rumah yang gelap gulita sementara dia tidak mendapati ibu dan ayah di dekatnya.

Ya, tentu saja demikian, ayahnya sedang pergi melihat lokasi kebakaran sedang ibunya keluar rumah melihat cahaya merah itu bersama tetangga-tetangga lainnya. Setelah mendengar suara Vino, barulah ibu Vino teringat bahwa dia mengingggalkan anak semata wayangnya di rumah. Tuhan....ibu-ibu zaman sekarang.........

Tak lama terdengar lagi suara teriakan, kali ini suara ibunya Vino. Dia tidak berani masuk ke dalam, karena takut gelap. Aku tertawa meskipun tidak meledak. Ibu sama anak kok teriak-teriakan...hehehehe... Akhirnya tetangga-tetangga menemaninya masuk, sementara Vino telah sampai di ruang tamu, berjalan sambil menangis. Aku teringat pada Hpku, ups...SMSnya belum dibalas.

“Amin smg cpt slsai, jd penasaran pengn tau kyk apa yanti dlm pikirn bpk. Tp yg jujur lo. O ya d dkt rmh Ti kyknya ada kebakaran neh,jl danau sentarum.” Delivered to Papah 22.13.23

Setelah mengirimkan pesan itu, aku baru sadar, ha...???? membuat catatan tentang aku ?? hihihi.........kayak apa ya aku dalam pikirannya ? dalam pikiran orang yang pernah sangat ditakuti teman-temanku ini, tapi orang yang juga mereka sayangi saat ini. Aku jadi ingat pertama kali mendengar namanya sebagai dosen PA-ku. Amalia Irfani, salah satu staf jurusan prodi KPI bilang, dia adalah doktor pertama di STAIN Pontianak, pinter dan disiplin. Setelah itu kucari informasi tentang dia lewat kakak-kakak tingkatku. Sebuah pernyataan yang cukup membuatku terperangah.

“Sangat ketat sekali, sangar, dan tidak mengenal kompromi dengan kata lain dosen killer, jangan buat masalah same pak Yus” kata mereka. Kemudian mereka bertanya kenapa aku menanyakan tentang dosen satu ini.

“ Bapak yang kate kakak sangar tuh, dosen PA Yanti ” jawabku datar, tapi terus terang aku penasaran sekali. Seperti apa orang ini. Iseng-iseng aku bertanya.

“ Cakep ndak ? ”

Kakak tingkat yang kutanyai malah menimpukku dengan buku

“ Woi...udah punye istri “

“ Ye....kalo cakep, biar punye istri ataupun sangar ‘kan tetap bikin betah “ jawabku sekenanya seraya pergi sambil tertawa. Mereka yang kutinggal hanya menyumpahiku sambil ikutan tertawa.

“ Gilenye anak baru sekok nih “ mungkin begitu pikir mereka.

Tapi terus terang dalam pikiranku, aku punya gambar tersendiri untuk orang satu ini, meskipun aku belum pernah melihatnya. Pasti badannya besar, hitam, agak ubanan dan mimik wajahnya keras. Lalu dia berjenggot, tidak berkumis, selalu pakai peci kemana-mana dengan baju koko dan celana panjang yang digulung sampai mata kaki, dan tak pernah tersenyum.

Aku punya alasan kenapa menggambarkannya seperti itu. Dia adalah doktor pertama di STAIN artinya dia pasti sudah tua. Disiplin dan tidak mengenal kompromi, artinya dia konvensional dan agak kolot, tentu berdampak pada caranya berpakaian. Dan Killer....??? Wah pasti ini didukung oleh penampilan fisiknya. Ya Tuhan selamatkan aku..........

Hari pertemuan pertama akan segera tiba, dia mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk semester 1. Waktu kuliahnya hari Kamis pukul 13.00, seharusnya kami bertemu dua minggu yang lalu, tapi dia tidak masuk. Kami, anak-anak baru yang telah mendengar riwayatnya, menunggu di depan kelas dengan pikiran dan gambaran masing-masing. Ada yang menyandarkan tubuhnya di dinding, duduk di kursi, sementara aku sendiri cekikikan dengan teman-teman yang ada didekatku.

Seorang lelaki lewat, dia menggunakan kemeja berwarna biru, tampaknya dari bahan jeans atau bermotif jeans aku juga tak tahu, tapi seperti itulah. Celana panjang biru tua, dan menyandang ransel merah besar. Aku tak terlalu respek ketika dia masuk ke kelas. Tak lama di keluar lagi, menoleh ke arah kami yang bergerombol tak beraturan seraya bertanya :

“ Yang kuliah Bahasa Indonesia, mana ?”

Kami bengong. Mungkin dia mengerti, lalu berkata :

“ Yang ikut kuliah saya, bahasa Indonesia masuk ke kelas “ katanya seraya masuk lagi ke dalam kelas.

Oh Tuhan, dia dosen PA ku, masa’sih....

Kami semua masuk, duduk dan diam menatapnya. Dia memperkenalkan diri. Benar. Dia dosen PA-ku. Ha.......????? Kok tidak seperti yang kupikirkan ? Dia putih, bahkan untuk ukuran perempuan pun dia termasuk kategori memiliki kulit yang putih. Badannya sedang, dan rambutnya tidak ubanan. Tadi aku malah sempat berpikir kalau dia bukan dosen. Ya ampun.......orang ini yang katanya killer ??????

Hehehe.....aku tersenyum lagi mengingat pertemuan pertamaku dengan orang yang kelak ku panggil Papah. Di lain waktu, dia pernah membuat aku bolak balik beberapa kali ke prodi dan jurusan lalu ke ruangannya hanya untuk meminta tanda tangannya di buku putihku juga untuk pertama kalinya.

“ Kenapa saya harus tanda tangan ? Memangnya saya siapa ?” katanya cuek menanggapi permintaanku

“ Bapak dosen PA-saye Pak, kate prodi harus ade tanda tangan dosen PA di buku ini, baru dikumpulkan” jawabku menunjukkan buku putih itu.

“ Siapa yang bilang saya dosen PA-mu ?” tanyanya lagi. Duh nih orang....

“ Bu Amalia Irfani yang bilang, Bapak,pak Yusriadi kan ?”

“ Saya tidak dikasi tau kalau saya jadi dosen penasehat akademik kamu. Kalau saya memang PA kamu, seharusnya ada surat pemberitahuan dari prodi. Sampai sekarang saya belum menerimanya. Jadi saya tak bisa tanda tangan” jawabnya lagi. Ya Tuhan, nih orang, bahkan dia tidak menanyakan namaku...

“ Saya akan tanda tangan, kalau ada surat keputusannya, jadi kamu tanya dulu ke prodi dan minta suratnya “ jawabnya

“ Iya Pak, permisi “ kataku pasrah sambil berlalu. Kesalnya......

Sampai di prodi aku menanyakan surat itu. Kata ketua prodi, Pak Bambang, salinannya ada di jurusan. Dia turun tangan langsung mencarinya, tapi tak ditemukan. Waktu telah menunjukkan pukul satu siang saat itu. Aku tak tega melihat Pak Bambang mencarinya.

“ Udahlah Pak, besok jak “ kataku

“ Tapi surat itu ada, Har, surat penunjukkan dosen PA”

“ Ya, udah Pak, nanti saye bilang jak suratnye ade, agik dicarikan “ jawabku

“ Iya boleh “ kata pak Bambang

Aku kembali ke ruangan dosen PA-ku. Tapi hanya berdiri di depan pintu. Ah...sudahlah besok saja, kataku dalam hati. Aku berjalan melewati ruang Prodi, dan tiba-tiba kudengar suara Pak Bambang memanggil.

“ Har, udah ketemu suratnya “ katanya

“ Iye ke Pak ? Mane ?” kataku sambil menghampirinya.

Dia lalu memberikan dua helai kertas bertuliskan banyak sekali huruf yang distaples menjadi satu.

“ Tapi tak bisa dikasi untuk Pak Yus, itu arsip jurusan. Jadi kamu fotokopi, aslinya kembalikan ke saya” katanya mengingatkan

“ Iya Pak” kataku. Aku segera bergegas ke Kopma, memfotokopinya menjadi dua rangkap dan menyimpannya. Besok akan ku serahkan pada dosen PA-ku itu.

Esoknya, aku kembali meminta tanda tangan untuk buku putihku, kali ini berbekal fotokopi surat keputusan itu. Meskipun demikian, dia tak lantas menandatanganinya.

“ Namamu mana ?” katanya seraya memeriksa fotokopian itu

“ Itu, Pak” kataku seraya menunjuk tulisan namaku

“ Oh “ katanya. Dia lalu melipat dan mengantongi surat tersebut, baru kemudian membubuhkan tandatangan setelah lebih dulu memberikanku beberapa pertanyaan menyangkut mata kuliah yang kuambil.

Ah...... aku rasanya ingin tertawa mengingat kejadian itu, sebuah kenangan lama tentang dosen ajaib yang kemudian kembali mengirimiku sebuah SMS

“Ok. Ne dah mulai. Judulnya Ti.” Sender Papah 22.15.23

Yah, saat aku bertemu pertama kali dengannya aku tak pernah berpikir bahwa suatu saat dia akan menjadi temanku, seorang teman yang sangat baik.Seorang teman yang mendukung dan menyemangatiku.

“ Makasih ya pa, selalu kasi Ti smngt, ksmpatan, dukungn, jg selalu m’hargai smua yg Ti lakukn. Makasi udh jd dosen skligus teman yg baik bwt Ti.” Delivered to Papah 22.24.32

Aku bayangkan dia mengerutkan keningnya dan kemudian tersenyum sambil geleng-geleng kepala membaca SMS ku itu, dan dapat kupastikan dia takkan menjawab lagi. Dia anti disanjung. Mataku mulai mengantuk dan kemudian listrik kembali menyala. Beberapa tetangga yang tadi pergi ke lokasi kebakaran telah kembali.

“ Ada dua orang yang melompat dari lantai 3 “ kata mereka. Ternyata yang terbakar adalah kos di depan STKIP Jl. Danau Sentarum Gg. Ilham.

Semoga tak ada korban, doaku. Setelah sedikit bertanya tentang kejadian itu, aku kembali melanjutkan aktivitasku mengkliping koran. Hingga pukul 23.35 aku baru memutuskan untuk tidur. 25 menit lagi hari akan segera berganti, dan inilah Saturday nightku minggu ini.....