Saturday, March 15, 2008

Aku Hari Ini...

Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantor Madanika, tempat pengungsian sementara kru P3M setelah beberapa lama tak kemari. Rindu rasanya melihat wajah-wajah orang yang selama ini mengisi hari-hariku dengan segudang canda, tawa, sebel dan juga ilmu. Mereka yang tak kukenal lewat kampus dan sekolah, tapi memberikan begitu banyak hal yang takkan kudapatkan di tempat-tempat itu.

Ah, lama sekali rasanya. Begitu tiba didepan pintu, aku melihat Bang Deni dan Bang Ratno. Wajah mereka ternyata tak berubah sama sekali (gila' lo.....baru juga beberapa minggu gak ketemu...). Bang Deni tetap saja dengan wajah imutnya yang usil. Bang Ratno masih berpenampilan yang konon Kak Indah bilang seksi, senyum simpul dan komentarnya masih saja sama.

Di ruang tengah ada Kak Indah dan Kak Bene. Kak Indah masih tomboy, tapi akhir-akhir ini dia lebih lembut, mungkin lagi jatuh cinta. Kak Bene tetap manis dan keibuan, ah....aku suka sekali padanya. Dia pintar, cerdas, lembut, penampilannya sederhana dan dia adalah produsen buku bacaan yang luar biasa (tempat meminjam buku yang asyik, bukunya bagus, terutama novel sebab seleranya terhadap buku sangat tinggi).

Tak lama kemudian, bang Hasan datang. Dia orang Madanika yang kerap singgah ke P3M, lucu tapi dewasa. Caranya bercanda juga asyik, kadang malah aneh, tapi dia baiiiiiiiikkkkk sekaliiiiii. Lalu Bang Didin bangun tidur, lantas mandi. Dia teknisi P3M, lama juga tak melihat wajahnya yang super cool......

Masih banyak yang belom ketemu, Apri, Bg Cangak, Bg Dimas, dll yang tak dapat disebutkan satu per satu. Hoa......jadi kangen sama suasana P3M yang dulu. But, biarkanlah semua menjadi kenangan yang paling indah, seperti kakak sekoteng yang mengenang P3M dengan mengganti nama sekotengnya menjadi sekoteng 'WARNET' meskipun sekarang dia tak lagi berjualan didepan warnet P3M. Yah....P3M memang akan menjadi hal yang terlalu indah untuk dilupakan oleh semua orang yang pernah singgah ke sana. Sampai kapanpun, mungkin........

Tuesday, March 4, 2008

Kekerasan Dalam Pendidikan


Oleh : Hardianti

Akhir-akhir ini, ibu pertiwi kembali menangisi kelakukan tak pantas dari putra-putrinya. Belum selesai penanganan bencana alam di berbagai wilayah Indonesia, juga belum tuntas permasalahan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, sekarang, giliran dunia pendidikan yang dilibas bencana. Jika tahun 1966, kaum muda bersatu padu menumbangkan kekuasaan Orde Lama, begitu juga dengan tahun 1998 ketika meruntuhkan keangkuhan Orde Baru, maka dalam era reformasi, segelintir kaum muda malah mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia.

Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kini, giliran mahasiswa APDN berebut merampas nyawa orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan yang sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia ?

Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.

MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.

Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bise ngerjekan anak baru, dapat baju kaos gratis agik". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.

Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.

Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.

Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan yang sehat, maka diperlukan strategi pendidikan yang kuat dan cerdas. Kegiatan pengenalan sekolah dan kampus harus di tata sedemikian rupa dengan asas manfaat, yang benar-benar membantu dalam aktivitas akademis. MOS dan OSPEK diharapkan tidak lagi menjadi ketakutan tersendiri bagi siswa dan mahasiswa baru, namun dapat menjadi gerbang untuk mengasah potensi masing-masing. Lembaga pendidikan juga dituntut untuk proaktif dalam membina siswa dan mahasiswanya, serta mengontrol kegiatan-kegiatan yang dianggap memberikan peluang terjadinya kekerasan dan pelecehan.

Untuk siswa dan mahasiswa serta keluarganya, diharapkan tidak segan-segan untuk melaporkan penyimpangan-penyimpangan dalam proses belajar kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan atau pihak yang berwajib. Semua ini penting untuk mencegah kembali terjadinya kekerasan dan pelecehan dalam pendidikan, mengingat pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas demi terwujudnya pembangunan di Indonesia.

Semoga saja pada awal tahun ajaran kali ini dan seterusnya, tidak akan ada lagi siswa dan mahasiswa yang melakukan atau mengalami tindakan kekerasan dalam kegiatan pengenalan sekolah dan kampus. Para pengajar juga diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa, tanpa kekerasan dan pelecehan.
Borneo Tribune, lupa tglnya...

Mencermati Pemilihan Duta Lingkungan


Oleh : Hardianti


Pemilihan duta lingkungan diharapkan menjadi salah satu wujud kepedulian Pemerintah terhadap lingkungan hidup Kalimantan Barat (Kalbar). Hal itu sangat penting mengingat Kalbar memiliki kekayaan alam yang tidak sedikit. Hutan-hutan Kalbar merupakan hutan hujan tropis yang luas, sekaligus menyimpan kekayaan hayati yang sangat besar. Danau Sentarum, daerah rawa terunik di dunia dengan segala keragaman hayatinya, juga bertempat di Kalimantan Barat.
Semua kekayaan tersebut, bukan sekedar memberikan nama besar bagi provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, namun juga menuntut tanggung jawab yang besar dalam menjaganya. Sebab, banyak tangan-tangan rakus manusia yang tidak henti-hentinya mengeksploitasi alam tanpa memikirkan akibat yang akan dihadapi di masa datang. Bahkan mereka selalu siap mengintai peluang untuk merusak alam demi kepentingan ekonominya sendiri. Hutan yang terbentang di provinsi ini memang milik Indonesia, namun keberadaannya merupakan kelangsungan hidup bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sebagai bagian dari paru-paru dunia, maka semua pihak wajib untuk turut menjaganya.

Oleh sebab itu adanya sosok duta lingkungan, benar-benar diharapkan menjadi motor bagi pemerintah, terutama masyarakat untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan. Dia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan masyarakat dan pemerintah, mampu melihat keadaan alam yang harus diperjuangkan kelestariannya. Semua itu tidak sekedar membutuhkan pengetahuan umum yang didapatkan dari browsing di internet, atau buku-buku penunjang. Dia harus benar-benar melihat kondisi lingkungan masyarakat, alam Kalimatan Barat, serta mengetahui sikap dan kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian. Masyarakat menantikan seorang duta lingkungan yang memiliki kesadaran, inisiatif, dan keinginan yang besar dalam memperjuangkan kelestarian alam.

Namun betapa kecewanya ketika melihat pemilihan duta lingkungan oleh Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat (Bapedalda Kalbar) yang diselenggarakan Sabtu, 21 Juli 2007 lalu. Pemilihan duta lingkungan dilakukan bak kontes pemilihan Miss Universe. Mereka semua terdiri dari gadis-gadis muda yang cantik, berlenggak-lenggok diatas panggung dengan menggunakan baju adat dan didandani layaknya peragawati.

Sebagai pembuka, mereka, 16 orang gadis kandidat duta lingkungan Kalbar menari dengan anggunnya di atas panggung, sesuatu yang mengingatkan saya pada sebuah ajang pencarian bakat di salah satu stasiun televisi. Mereka kemudian dipanggil secara bergantian untuk memperkenalkan diri. Saya kecewa, diantara mereka tidak ada yang memperkenalkan diri sebagai aktivis lingkungan, justru mereka lebih senang memperkenalkan diri sebagai pelajar yang baru lulus SMA, mahasiswa atau bekerja di instansi tertentu. Dalam perkenalan itu, beberapa dari mereka yang menggunakan bahasa Inggris, sesuatu yang memiliki point plus bagi seorang duta lingkungan. Namun, harus diingat bahwa orang pertama yang harus dirangkul dalam upaya menjaga alam adalah masyarakat sekitar, mereka jauh lebih mengerti himbauan yang menggunakan bahasa ibu.

Para kandidat lalu di persilahkan untuk menjawab pertanyaan yang telah disediakan, juga pertanyaan yang diajukan oleh para juri yang sebagian besar berasal dari Bapedalda dan mantan peserta Putri Indonesia dari Kalimantan Barat. Para juri hanya bertanya "Apa yang akan anda lakukan untuk……..", bukan " Apa yang telah anda lakukan untuk..". Sungguh pertanyaan yang sangat teoritis, padahal jika kembali pada upaya pelestarian alam, maka kita akan berhadapan dengan sesuatu yang tidak sekesar teori.

Saya sempat terpaku, ketika para kandidat duta lingkungan menjawab pertanyaan dengan sangat gemulai. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya, mengapa mereka sama sekali tidak terlihat bersemangat ketika menyampaikan ide tentang pelestarian alam ? Mereka begitu gemulai, seperti menjaga penampilan mereka di mata penonton, sekali lagi saya bertanya pada diri saya, benarkah ini pemilihan duta lingkungan, pemilihan sosok yang akan menjadi ikon upaya pelestarian alam, sebuah pekerjaan yang tidak gampang dan menuntut semangat serta perjuangan yang besar.

Ajang pemilihan duta lingkungan adalah sebuah ajang bergengsi. Tidak itu saja, kegiatan ini juga merupakan wujud kepedulian terhadap pelestarian alam. Orang yang terpilih menjadi duta lingkungan akan mendapatkan penghargaan, sekaligus kesempatan untuk dihargai pendapatnya secara lebih besar oleh instansi pemerintah dan swasta maupun masyarakat. Mengapa apreasiasi sebesar ini tidak diberikan pada pemuda dan pemudi yang benar-benar telah bekerja dan berupaya untuk melestarikan alam ? Ada begitu banyak aktivis lingkungan atau pemuda-pemudi daerah yang telah berjuang demi kelangsungan kelestarian hutan. Bukankah dengan penghargaan sebesar ini akan memudahkan mereka melangkah dan menjalankan program pelestarian alam.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana masyarakat adat Kayaan berjuang mempertahankan kelangsungan hutan di daerah Kapuas Hulu dari tajamnya chinsaw PT. TBS yang mengantongi izin untuk pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Mereka melakukannya bukan sekedar untuk kompetisi, tapi karena kecintaan mereka akan hutan dan lingkungannya. Mengapa gelar duta lingkungan tidak dianugerahkan kepada pemuda atau pemudi masyarakat Kayaan atas perjuangan mereka. Bukankah para generasi mudanya tentu ikut serta dalam perjuangan itu ? Atau mereka, aktivis lingkungan yang berjuang keras untuk membantu masyarakat dalam menjaga hutan dan kekayaan alam lainnya.

Bukankah mereka telah begitu banyak mengorbankan waktu, tenaga dan pemikiran mereka untuk alam. Mereka tidak hanya sekedar tahu tentang Kalpataru atau Adipura yang menjadi pertanyaan para juri pemilihan duta lingkungan, tetapi mereka benar-benar tahu tentang masalah pelestarian hutan, bahkan telah melakukan lebih dari apa yang bisa kita lakukan. Mereka adalah orang-orang yang menanamkan tenaga dan pikirannya serta seluruh pengetahuannya pada upaya pelestarian alam. Mereka bukan hanya baru berpikir tentang ‘apa yang akan’ tetapi mereka ‘telah melakukan’ upaya pelestarian, jauh sebelum kompetisi ini dilakukan, bahkan mungkin jauh sebelum kompetisi pemilihan duta lingkungan ini direncanakan.

Saya berharap semoga prosedur pemilihan duta lingkungan Kalbar dapat kembali dicermati, agar benar-benar kembali pada hakikat upaya pelestarian alam. Sekaligus menjadikan ajang ini sebagai penghargaan terhadap orang-orang yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan seluruh umat manusia. Namun, pemilihan duta lingkungan Kalbar 2007, telah dilakukan. Semoga saja duta-duta ini mampu belajar dan berbuat lebih baik untuk alam, mampu memberikan ide-ide cemerlang dan bekerja keras untuk upaya pelestrian alam. Tidak sekedar menjadi pelaksana program pemerintah, namun dapat ikut berjuang bersama masyarakat untuk mempertahankan kelestarian alam.
Borneo Tribune, lupa tglnya...

Kekuatan Tulisan


Oleh : Hardianti

"Kalau kamu mencurahkan tenaga untuk menulis, seluruh dunia akan mendukungmu"
Kata-kata itu lahir pena Pramudya Ananta Toer, seseorang yang telah matang ditempa pahit dan manisnya masa-masa sebagai penulis. Berlebihan mungkin, karena tak selamanya seluruh dunia akan mendukung lahirnya sebuah tulisan. Apalagi tulisan itu berpotensi untuk merobohkan sebuah bangunan birokrasi atau pemerintahan yang pada dasarnya telah bobrok nilai. Terlalu banyak kepentingan-kepentingan yang akan bermain dan menghalagi lahirnya sebuah tulisan. Keadaan ini dimengerti benar, bahkan dialami sendiri oleh Pram, yang menulis ungkapan tersebut.

Namun, bukanlah tanpa alasan seorang Pramudya Ananta Toer menulis frase yang seakan-akan menyanjung seorang penulis hingga ke atas awan tersebut. Dukungan dunia, bukanlah hal pertama yang diperlukan dalam menulis. Ada begitu banyak nama-nama penulis dalam sejarah Indonesia yang tetap memilih untuk menulis meski tanpa dukungan dan berada dalam keadaan terkekang. Ide-ide brillian mereka justru terlahir saat mereka merasakan dinginnya sel penjara, kejamnya tempat-tempat pembuangan atau ditengah pahitnya menjadi orang yang diasingkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ide pendirian, bahkan pendiri negeri ini sendiri berasal dari mereka yang telah begitu terbiasa berkarya dalam keterkekangan, tanpa dukungan.

Lantas apa yang utama dalam menulis ? Pram telah menjawab dalam kalimatnya yang pertama "mencurahkan tenaga untuk menulis". Hal yang paling utama adalah kesadaran untuk mencurahkan tenaga dan pikiran dalam proses kelahiran sebuah tulisan. Layaknya persalinan, selalu ada kesakitan dan dampak yang akan dihadapi sang penulis. Namun, kebahagiaan setelah melihat janin itu berwujud menjadi sesuatu yang lebih besar dan bermakna akan menghapus semua ketakutan pada sebuah proses. Sebab, tulisan bukan hanya deretan kata-kata kosong yang berbaris dalam lembar-lembar kertas, tapi tulisan mempunyai jiwa yang memiliki makna dalam setiap pilihan diksinya. Dengan sendirinya, tulisan itu akan berjuang untuk mencapai tujuan yang telah dititipkan sang penulis, kini tujuan telah menjadi tanggung jawab tulisan itu sendiri.

Penulis dengan tulisannya memiliki cara sendiri dalam berjuang. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam membangun kesadaran kebangsaan, dapat dikatakan bahwa para penulis merupakan pondasi sekaligus pilar yang menegakkannya, bahkan menjadi rahim yang melahirkan ide-ide nasionalisme. Tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika kita kembali membaca kisah hidup seorang R.M.Tirto Adhi Surjo, yang dikenal sebagai Bapak Pers Nasional. Dalam hidupnya, dia pernah menjadi orang yang paling diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan dia adalah lelaki yang harus dibuang dan dijauhkan dari kehidupan bangsanya. Bukan karena dia dengan gagah berani mengangkat senjata dan meledakkan gudang-gudang persenjataan Belanda. Bahkan dia adalah seorang lelaki dengan ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dari teman-teman pribuminya. Alasannya hanya satu, penanya menghasilkan tulisan yang mampu membuat rakyat pribumi terbangun dari tidur lelapnya. Tulisannya dengan mudah menjalar dan mengobrak-abrik mimpi indah masyarakat pribumi tentang kekayaan alam Nusantara. Dia menyadarkan mereka bahwa saat ini alam itu sedang dijarah oleh kekuatan asing, bahkan bukan hanya alam, kemerdekaan dan martabat merekapun sedang dirampas.

Tulisan Tirto dengan sendirinya melakukan fungsinya sebagai alat perjuangan. Layaknya penyebaran virus, kekuatan kolonial sekalipun tidak mampu membendung terjangan tulisan Tirto. Sedikit demi sedikit rakyat pribumi mulai terbangun dan sadar, kemudian bergerak melawan, melampaui batas etnik, budaya dan agama, hingga melahirkan pergerakan.

Contoh serupa juga diberikan dengan sangat manis oleh seorang R.M. Soewardi Surjaningrat lewat tulisannya yang berjudul "Ik eens Nederland Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda). Sebuah tulisan yang dengan tajam mengkritik cara berpikir pemerintah kolonial Belanda. Tulisan itu menentang kebijakan pemungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat pribumi untuk membiayai peringatan kemerdekaan Belanda yang ke 100 tahun. Tulisan Soewardi ini selain disajikan dengan nada yang provokatif, juga dinilai memuat kesadaran politik dan sosial yang tinggi terhadap kebijakan Pemerintah serta keadaan masyarakat pribumi. Bahkan dianggap sebagai esay paling tajam yang pernah ditulis hingga waktu penerbitannya. Sama seperti kasus Tirto, pemerintah kolonial pun tidak sanggup untuk membendung dampak tulisan Seowardi, kendati telah mengumumkan larangan beredar serta penyitaan besar-besaran terhadap pamflet tersebut. Sekali lagi, pemerintah Belanda harus terpukul oleh karya tulis putra-putra terbaik Nusantara.

Perjuangan tulisan masih terus berlanjut, bahkan pena itu sedang berada di dalam genggaman seorang Raden Ajeng. Wanita lembut yang menuangkan kebesaran cita-citanya dalam deretan tulisan yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat Eropanya. Kartini menuangkan cita-citanya dalam bentuk tulisan yang berbeda. Jika Tirto dengan ciri kegarangan tulisannya, Soewardi dengan gaya tulisan sopan khas keraton Pakualaman, namun tepat menohok jantung, maka Kartini lebih memilih untuk menelusup dalam relung-relung hati yang lembut.
Tulisan-tulisannya hanya berupa surat-surat dalam kegiatan korespondensi dengan teman-teman wanitanya yang berasal dari Eropa. Namun, kekuatan makna dan ketulusan serta petualangan idenya dalam raga yang terkungkung, mampu menjadi sumber inspirasi bagi berjuta-juta manusia, bahkan hingga ratusan tahun setelah keberadaannya. Kartini adalah sosok lain dari sejarah perjuangan tulisan mencapai sebuah tujuan yang besar.

Tulisan memang sebuah fenomena. Sesuatu yang tak pernah bisa ditebak dan diprediksikan dampak selanjutnya. Begitu tulisan itu tercipta dan sampai ke masyarakat, maka dia akan menemukan bentuk perjuangannya sendiri. Dia dengan kekuatannya mampu membentuk opini masyarakat, bahkan melampaui kemampuan penulisnya dalam meyakinkan orang lain dengan ucapan kata-kata. Tulisan adalah sebuah alat perjuangan yang dahsyat dan memiliki daya ledak yang tinggi, melebihi senjata manapun yang pernah tercipta. Tak jarang sebuah tulisan dapat terus berbicara dari generasi ke generasi membawa cita-cita penulisnya, meskipun sang penulis sendiri telah menyatu dengan tanah airnya. Maka, tentu bukan sesuatu yang berlebihan jika dalam novel tetralogi buruh, Pramudya Ananta Toer menulis bahwa "orang boleh pintar setinggi langit diangkasa, tapi selama dia tidak menulis dia akan hilang dalam peredaran peradaban dan sejarah". Oleh sebab itu, menulis adalah sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang besar yang tak lekang oleh waktu dan dapat melompati batas-batas primordialisme. Namun, lebih dari itu, tulisan harus mengandung kekuatan kebenaran yang diperjuangkan dengan penuh kesadaran. Sebab, tulisan pada hakikatnya adalah "bekerja untuk kebadian".
Borneo Tribune, lupa tanggalnya...

Pendidikan Alternatif Untuk Anak-Anak Jalanan

Oleh : Hardianti


"Sinar matahari terasa menyengat, maklum waktu telah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Asap kendaraan dari berbagai jenis dan merk, terasa menusuk hidung dan sesak memenuhi rongga dada. Namun, bocah-bocah ‘lampu merah’ tampak tak merasakan kondisi yang sama sekali tak menyenangkan itu. Mereka berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain sambil mengadahkan tangan. Baju mereka lusuh, begitu juga dengan tubuh mereka. Seorang anak menghampiriku. Penampilannya tak kalah lusuh dengan anak-anak lain, rambutnya coklat kepirang-pirangan, akibat terpanggang sinar matahari, begitu pula dengan wajahnya yang hitam dan kotor. Namun, gurat-gurat kebocahan tampak jelas pada wajah dan bening matanya yang menatapku.

Di lain waktu, hujan deras menyelimuti kota. Aku menggigil kedinginan sambil menyumpahi lampu merah yang menyala tepat di jalur yang aku lalui. Namun, sumpahku tak terselesaikan, begitu mataku dipaksa memperhatikan tingkah bocah-bocah ‘lampu merah’. Mereka tersenyum menang, sambil menikmati air yang membasahi tubuh mereka, melompat, berlari dan berpindah-pindah dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Dapat dibayangkan bahwa tengadahan tangan mereka tak akan membuahkan apa-apa, karena para pengendara terlalu tak kuasa untuk membuka jas hujan dan dompet mereka hanya demi seorang anak ‘lampu merah’ yang entah dari mana asalnya".

***
Sepenggal cerita diatas adalah sebagian kecil gambaran tentang kehidupan dan aktivitas anak-anak yang ‘berkarya’ di perempatan jalan raya. Mereka menggunakan nyala lampu merah untuk mengadahkan tangan dan meminta belas kasihan dari para pengendara yang berhenti. Tentu saja belas kasihan itu mesti diwujudkan dengan recehan uang yang tak seberapa jumlahnya. Di Kota Pontianak, ada begitu banyak anak-anak lampu merah yang bertebaran di sejumlah ruas jalan utama, meski belum ada data yang lengkap mengenai kepastian jumlah mereka. Namun, jumlah tersebut akan sangat terasa bila melewati sejumlah perempatan jalan di kota Khatulistiwa ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa komunitas anak-anak ini adalah sebagian dari wajah kota khatulistiwa, bahkan wajah Indonesia dalam lingkup yang lebih luas. Layaknya anak-anak lain, mereka juga punya andil yang besar dalam menentukan masa depan daerah dan bangsa Indonesia. Sebab, mereka adalah bagian dari generasi muda yang akan menggantikan pemimpin-pemimpin sekarang ini. Dengan kondisi yang demikian, rasanya tidak mungkin mengharapkan kemajuan daerah ditulis oleh tangan mereka. Dalam usia yang begitu belia, mereka sudah diharuskan memanggul beban kehidupan yang berat, terutama masalah perekonomian keluarga. Bahkan, banyak diantara mereka yang tidak sanggup membagi waktu dan kekuarangan biaya, lantas merelakan masa-masa pendidikannya.

Hal ini harus disadari oleh seluruh elemen masyarakat, mengingat masa depan generasi muda dan bangsa ini adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu keadaan anak-anak ‘lampu merah’ yang minim akan pendidikan harus dijadikan perhatian khusus dan dicarikan solusinya. Ada banyak program pendidikan yang selama ini dicanangkan, mulai dari bea siswa, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, hingga dana Operasional Sekolah dan lain sebagainya. Namun, tampaknya program-program tersebut belum banyak menyentuh area pendidikan untuk anak-anak ‘lampu merah’. Penyaluran bantuan seringkali tidak dapat mencapai mereka, sebab kebanyakan dari mereka sudah tidak bersekolah lagi.

Memang merupakan suatu hal yang sulit untuk membawa anak-anak yang putus sekolah untuk kembali duduk di bangku pendidikan formal. Mereka mempunyai tanggung jawab dan beban ekonomi yang harus mereka tunaikan. Ketika memasuki area ekonomi, maka hal tersebut sulit untuk dikompromikan, karena tidak hanya menyangkut kehidupan mereka sendiri, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Sebaliknya masyarakat tidak bisa tinggal diam menerima kenyataan bahwa ada banyak generasi muda yang tetap hidup dalam kebodohan di masa depan. Oleh sebab itu, harus ada sebuah metode pembelajaran yang bisa dijadikan pendidikan alternatif bagi anak-anak ini, ditengah aktivitasnya yang tidak mengenal kompromi.

Pembangunan rumah singgah dapat menjadi sebuah pilihan untuk pendidikan mereka. Tempat ini tidak semata-mata untuk melepas lelah bagi anak-anak jalanan. Rumah singgah yang dimaksud adalah sebuah tempat yang dapat dijadikan sebagai sekolah alternatif untuk mereka. Artinya, ada sejumlah kurikulum pembelajaran yang disusun dalam metode yang sesuai dengan kondisi dan aktivitas anak-anak jalanan. Metode tersebut lebih ditekankan pada cara belajar mandiri. Sebab, tidak mungkin menciptakan suasana belajar yang sama seperti di sekolah, mengingat anak-anak ini sulit dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Oleh sebab itu diperlukan sarana dan prasarana belajar yang mampu mendukung metode ini.

Paling tidak, ada sebuah perpustakaan mini dan alat-alat tulis yang dapat digunakan oleh anak-anak ini, ketika mereka berkunjung ke rumah singgah. Buku-buku yang disediakanpun harus menunjang kurikulum dan program-program pembelajaran yang dikembangkan pada mereka, selain buku dan media lain yang dapat memberikan pengetahuan umum. Meskipun metode pembelajaran yang dikembangkan cenderung menekankan pada kemandirian, anak-anak ini tetap saja memerlukan guru untuk mengajari dan mengevaluasi hasil belajar mereka. Hanya saja, guru-guru ini diharapkan dapat lebih bertindak sebagai teman sekaligus mentor. Karena kondisi belajar dan aktivitas mereka tidak dapat disamakan dengan siswa-siswa sekolah umum, maka perlakuan untuk merekapun tidak sama dengan siswa-siswa tersebut.

Selain itu, peran guru-guru tersebut sangat penting untuk memantau perkembangan keilmuan anak-anak ini. Semua itu diperlukan untuk memudahkan mereka dalam proses belajar, sebab akan sulit bagi mereka untuk lebih banyak mengorbankan waktu demi belajar. Kondisi inilah yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam penyediaan fasilitas dan merancang metode belajar untuk komunitas anak-anak jalanan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dalam pikiran mereka. Maka, menjadi tugas para aktivis pendidikan dan masyarakat untuk menumbuhkan rasa cinta dan semangat belajar tersebut pada mereka.

Anak-anak ini seharusnya memiliki kesempatan yang sama seperti anak-anak lainnya. Kemampuan merekapun mungkin sama, bahkan lebih dari anak-anak yang dapat mengecap bangku pendidikan formal. Hanya saja, mereka terlahir sebagai anak-anak yang harus memikul beban kehidupan yang lebih berat. Oleh sebab itu, semua masyarakat berkewajiban untuk memberikan kesempatan belajar pada mereka, karena tidak menutup kemungkinan bahwa diantara anak-anak yang sedang berkeliaran di jalanan itu, ada bibit-bibit pemimpin yang selama diharap-harapkan bangsa Indonesia.


Borneo Tribune, lupa tanggalnya....