Monday, July 7, 2008

Aku, Nisa, Cinta dan Es Krim Coklat

Tadi siang aku dan Nisa jalan-jalan ke Sungai Jawi. Kami ingin membeli ikan peliharaan untuk teman Socra dan Filsa, dua ekor ikan yang telah lebih dulu kubeli, di akuarium mungilku yang kuberi nama ‘dunia ide’. Kami berhasil menemukan 4 ekor ikan yang kelihatan anggun dan manis, setelah cukup lama menimbang-nimbang kemungkinan-kemungkinan untuk membeli ikan yang lain.

Dua ekor lebih kecil, satu berwarna putih mengkilap sedangkan yang satunya lagi berwarna putih dengan totol-totol hitam. Dua ekor lainnya berukuran lebih besar dengan bentuk ekor lebar dan panjang. Dia kelihatan berenang dengan anggun.

Usai beli ikan, kami mencari es krim. Kami menemukan kedai es krim di JL. Putri Candramidi, namanya Es Krim Eskimo. Ada beberapa rasa, coklat, strawberry, cempedak, durian dan Vanilla. Tapi untukku dan Nisa tak ada pilihan lain, jika ada coklat.

Kami memesan dua porsi es krim kepada pemuda yang menunggui kedai itu.
Sambil menunggu pesanan, kami mencari nama untuk 4 ekor ikan cantik di kantong yang kupegang.

“ Yanti jak yang kasi name “ kata Nisa

“ Yang beask tuh namenye Rene same Karen, yang kecik Nisalah yang kasik name”

“ Udah, Yanti jak yang kasik name “

“ Iyelah, namenye Plato same Sophie”

“ Boleh “
jawab Nisa singkat. Wow....sekarang di dunia ide ku ada Socra, Filsa, Plato, Sophie, Rene dan Karen. Pasti menyenangkan.

Tak lama pesanan kami datang. Es krim coklat yang disajikan anggun di gelas yang memang khusus untuk es krim, transparan berbentu seperti gelas seloki. Kami makan sambil bercanda. Tak memerlukan waktu lama untuk menghabiskan 1 porsi es krim itu, karena kami memang penggila es krim, meskipun sempat pindah posisi duduk karena kepanasan terkena sinat\r matahari. Khatulistiwa.......

“ Tau dak Syah, hal yang paling enak di dunie tuh, es krim coklat” kataku

Setuju......eh, bile kite makan ayam di Mall ?”

" Nantiklah, liat kondisi keungan lok, agik pailit neh “

“ tenang kalo soal duet...”

“ agik kaye nih ceritenye ?”

“ Hehehe Nisa gitu loh......” katanya bangga.

“ Selase gimane ?” lanjutnya.

“ Boleh, hari senen yanti bise merampok lok”

“ Siape yang mok dirampok tuh ?”

“ Ade banyak...hehehehehe....” kami tertawa.

“ Makan es krim juga di Mall” Nisa berkomentar

“ Boleh, yang ade saus jagungnye, enak......”

“ Ok deh “ lagi-lagi kami tertawa.

Usai menghabiskan es krim kami, nisa segera beranjak membayar pesanan kami.

“ Mok dibungkus dak ?” katanya menawarkan

“ dak maok”

“ serius neh ?”

“ serius “

“ OK”


Kami lalu menuju tempat Nisa memarkir motornya. Menyapa abang penjaga kedai lalu tersenyum padanya.

“ Sini lagi lah “ katanya

“ OK deh, tenang jak bang” jawab Nisa.

“ Dah.......” kataku melambaikan tangan. Pemuda itu tersenyum dan membalas lambaianku.

Eh, syah, kalo dibuat cerpen kayaknye asyiklah “ kataku tiba-tiba.

“ ape die ?” tanya Nisa agak kaget

“ es krim coklat “

“ Ha...” dia menatapku

Ginik nih kalimat pertamenye ‘ Hidup itu seperti es krim coklat. Tak terlalu manis, dan ada rasa pahitnya. Tapi, justru kombinasi rasa unik itu yang membuat orang ketagihan dan terus ingin mencicipinya”
“ Oh ya...?’ Nisa menanggapi sambil tersenyum.

Eh, salah yang agak heboh sikitlah ye. Ginik jak lah ‘ Cinta itu seperti es krim coklat. Tak terlalu manis, dan ada rasa pahitnya. Tapi, justru kombinasi rasa unik itu yang membuat orang ketagihan dan terus ingin mencicipinya. Seperti itulah Cinta, tak selalu indah, dan ada sakit hatinya. Namun setiap rasa yang dihadirkannya justru membuat orang semakin dalam menghayatinya’ Gimane ? asyik kali ye.....”

Nisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Setelah itu kami meluncur pulang dan menyiapkan berbagai rencana untuk esok hari.

Cinta dan es krim coklat ? Mirip kali.......


07 Juli 2008
Pukul 00:03 WIB

Agama Lokal dan Apa Saja

Sekarang jam di komputerku menunjukkan pukul 1.45 WIB, dini hari. Mataku lagi-lagi tak mau menyerah pada waktu. Ingin tidur rasanya, tapi apa boleh buat. Tak ada yang harus dipaksakan, dan tak boleh ada yang merasa dipaksa, biar saja semua mengalir apa adanya.

Beberapa saat setelah pergantian hari, aku mendapat pesan pendek dari seorang teman di sebrang lautan.

Dh tdr?” Sender +62857xxxxxxxx 00:23:3

“Blm. Kamu blm tdr jg?”

“Sama. Lg ngpain?”
Sender +62857xxxxxxxx 00:29:01

“ Gak lg ngapa2in. Kmu?”

“ Hbs wawncra d hotel grand candi smg. Tau g, aq wwncra sama siapa?”
Sender +62857xxxxxxxx 00:35:14

“Siapa dan ttg apa”

“ Engkus.orang jawa bart. Uniknya, d KTPnya, kolom agama diisi tanda strip (-). Tau knpa?”
Sender +62857xxxxxxxx

Gak, emg napa ?”

“ Ia penghayat kpercyaan sunda wiwitan, agama buhun, agama asli orang sunda. Kbradaanmrka skrg trdskriminasi spt kaharingan”
Sender +62857xxxxxxxx

Sunda wiwitan. Aku sedikit tahu tentang sunda Wiwitan, seperti Kaharingan, dia adalah agam lokal yang ada jauh sebelum masuknya agama di Indonesia. Namun, saat ini kurasa akan sulit sekali menemukan orang yang bertahan dengan agama ini. Aku jadi teringat dengan beberapa nama yang kutahu bergelut dalam penelitian agama-agam terutama agama Jawa. Clifford Gertz dan Mark R. Woodward. Salah satu buku Woodward bertengger manis di rak bukuku.

Meskipun tidak bicara tentang wiwitan tapi praktik Islam, namun ada beberapa hal yang kupikir berkaitan erat dengan agama-agama lokal. Sebab, mau tidak mau harus diakui bahwa tradisi agama lokal telah hidup dan mengakar pada masyarakat, sehingga kedatangan agama-agama baru tidak dapat begitu saja menghapus tradisi yang ada. Pada praktiknya, tidak sedikit tradisi agama lokal tersebut masuk ke dalam ajaran-ajaran agama baru yang datang kemudian.

Aku tak sabar menunggu dia mengetikkan huruf demi huruf dan menunggu rangkaian kalimat itu menyeberang terlalu lama. Aku segera menelponnya, tak peduli bahwa sekarang sudah hampir jam 1 dini hari.

‘Sunda Wiwitan itu agama asli orang Sunda.Ajarannya sangat bersahabat dengan alam. Mereka menghormati alam karena telah memberikan kehidupan, karena itu manusia harus berterima kasih pada alam dan tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Mereka juga percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki jiwa dan kehidupan” jelasnya.

Dia bertanya padaku tentang Kaharingan. Ya, kaharingan. Aku pernah sedikit membaca tentang Kaharingan, agama asli masyarakat Borneo. Agamanya orang-orang Dayak.

Di Kalimantan Barat, ku pikir akan sulit mendapatkan orang yang mengaku bahwa dirinya menganut Kaharingan. Pertama, karena istilah ini memang hampir tak pernah digunakan di Kalbar.

Orang lebih suka menyebutnya agama lama. Ada yang menyebutnya animisme, tapi ada pula yang tidak menyukai sebutan ini” begitu kata dosenku, Dr. Yusriadi, ketika aku cek tentang istilah kaharingan setelah tulisan ini selesai kubuat..

Sebab lain, penyebaran agama telah masuk sampai ke pelosok-pelosok desa bahkan dusun. Sejak zaman penjajahan Belanda, para misionaris telah gencar melakukan ‘dakwah’nya, sedangkan Islam juga telah berkembang di beberapa wilayah, meskipun masih terbatas pada daerah-daerah kerajaan.

Kemudian, karena berbagai faktor dan kepentingan politik, setelah tahun 1960-an, Pemerintah mengeluarkan aturan yang mengharuskan masyarakat untuk memilih salah satu dari 5 agama yang diakui Undang-undang di Indonesia. Tak kuasa dengan berbagai hal yang akan menyulitkan kelak, masyarakatpun pasrah dengan aturan yang ada. Maka, ditanggalkanlah identitas agama asli mereka diganti dengan agama baru yang diakui. Apakah semuanya selesai ? Ternyata tidak.

Pada kenyataannya, agama lama itu tak pernah benar-benar mati. Semua itu terlihat jelas pada ritual-ritual adat yang masih hidup sampai tulisan ini kubuat. Ada beberapa buku yang kumiliki atau yang pernah kupinjam yang bicara soal Masyarakat Dayak dan Tuhan. Kutemukan beberapa versi cara pandang mereka kepada Sang Maha Pencipta, termasuk sebutannya, dari Jubata hingga Ne’.

Penciptaan manusia juga dikenal dalam beberapa ragam. Dalam buku yang ditulis oleh Manias M. Sood, aku menemukan bahwa ada versi penciptaan manusia yang mirip dengan penciptaan yang dikisahkan dalam ajaran Islam. Apakah ini murni dari ajaran mereka dan telah dipengaruhi oleh Islam ?, belom ada penelitian yang membahas tentang ini. Tapi, kurasa ini akan sangat menarik.

Kaharingan, dan agama lama pada prinsipnya mirip dengan ajaran Sunda Wiwitan yang di ceritakan oleh temanku. Kepercayaan ini sangat menghormati alam semeta. Semua yang berada di alam memiliki jiwa dan ruh. Manusia tidak boleh sembarangan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Bukan sekedar etika memperlakukan alam, tapi ini lebih dari itu. Sebuah penyatuan dan penghargaan sebagai sesama makhluk Tuhan yang diciptakan untuk saling menopang dan menjaga keseimbangan hidup.

Tak heran, dengan pandangan demikian, ajaran agama lokal melahirkan banyak sekali ritual yang dilakukan untuk menghormati alam. Upacara yang paling banyak dilakukan adalah yang berkaitan dengan padi, sebab padi dianggap sebagai sumber kehidupan manusia. Mulai dari upacara pra tanam, menanam hingga panen dan pasca panen. Semuanya memiliki makna dan keindahannya masing-masing.

Tradisi Dayak juga mengganggap bahwa kehidupan manusia adalah siklus yang salng berkaitan dan tak dapat dipisahkan. Kelahiran, perkawinan dan kematian, menjadi titik fokus ritual yang berkaitan dengan manusia. Banyak kearifan yang terdapat dalam kepercayaan ini, dan masyarakat adat sampai sekarang masih banyak yang taat pada aturan tradisi yang bahkan tak tertulis ini. Aku melihat ini semua sebagai sebuah kekayaan dan keindahan negeriku yang memang menjadi indah apabila diperlakukan sebagaimana mestinya.

2 Juli 2008
Pukul 03:03 WIB

Hari-hari Itu............ (2)

Jum’at, 27 Juni 2008

Hari ini kepastian operasi juga belum ada. Artinya, aku bisa meninggalkan kakakku dan pergi ke kampus dan menghadiri kongres mahasiswa STAIN Pontianak ke VII. Aku sampai sekitar pukul 09.00 WIB, acara telah dimulai , bahkan telah membahas beberapa hal. Pesertanya ternyata tak begitu banyak, ku pikir tak sampai 100 orang, juga tak semeriah tahun-tahun sebelumnya.

Belasan orang anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) berpakaian lengkap menjaga setiap sudut aula setiap kali digelar kongres, tapi tidak tahun ini. Tak ada seorangpun yang terlihat, mungkin hanya perwakilannya yang berada di dalam, itupun menggunakan pakaian biasa.

Kongres berjalan alot, membahas tata tertib sidang.. Suasana sempat panas. Seorang peserta kongres dari perwakilan salah satu UKM maju ke depan dan merampas microphone dari presidium sementara ke 2 dan menyerahkannya pada presidium pertama. Presidium kedua dianggap lancang karena langsung mengambil alih sidang tanpa melalui mekanisme yang benar, apalagi dia baru datang ke aula.

Gadis itu terdiam ketika microphone di tangannya diambil paksa. Dia duduk dengan wajah merah. Sementara yang mengambil paksa, lantas duduk sambil menggerutu dengan wajah masam setelah menyerahkan microphone pada presidium pertama.
Aku dan beberapa teman yang duduk di belakang tersenyum, sebuah tontonan, sayang bukan contoh yang dapat diteladani.

Kami kembali asyik dengan aktivitas kami, memperhatikan setiap gerak-gerik peserta kongres. Banyak hal yang kami dapatkan, paling tidak sebuah kenyataan bahwa tidak semua mahasiswa dapat menggunakan otak, etika dan ilmunya dengan seimbang. Menjelang waktu dzuhur, kongres ditunda agar peserta dapat menunaikan shalat dzuhur dan makan siang.

“ Kecelakaan sejarah neh, menu kongres kayak ginik” kata seorang teman dari salah satu HMJ.

“ Ye ke ....?” tanyaku seraya membuka bungkusan nasi di hadapanku.

Nasi putih, bakwan jagung, sambal tempe dan kuah santan, tak jelas apa sayurnya. Sedangkan Hanisa, temanku, mendapatkan menu yang sama, hanya saja bakwan jagung diganti dengan telur goreng mata sapi. Aku dan Nisa tersenyum, ini bukan hal yang luar biasa untuk kami.

Di LPM, kami terbiasa berpusing-pusing ria untuk membagi uang yang seadanya agar dapat meng-cover seluruh kegiatan dengan baik, yah meskipun menunya tak pernah separah ini, paling tidak ikan goreng lah.... Tapi apa artinya ? jika lapar, toh habis juga, atau jika tak selera, kita semua bisa beli sendiri, sehari-harinya juga begitu.

Kita sama-sama tahu tentang minimnya dana untuk kegiatan mahasiswa di sebuah sekolah tinggi seperti kampus ini. Kita semua tahu, bahwa di negara ini,anggaran dana pendidikan memang menyedihkan, jadi jangan lagi permasalahkan tentang menu dalam kegiatan mahasiswa. Salahkan saja pembuat kebijakan yang memandang bahwa gaji anggota dewan lebih penting untuk dibengkakkan dari pada dana pendidikan generasi muda Indonesia.

Pukul 1.30 siang, kongres di lanjutkan. Dengan agenda masih membahas tatib dilanjutkan dengan agenda sidang dan setelah istirahat shalat Ashar dilajutkan dengan membahas UU KBM. Peserta sempat mempertanyakan kinerja MPM pada saat membahas tentang UU. MPM dinilai tidak bekerja dengan semestinya.

Beberapa hal yang dijadikan bukti, MPM memberikan kopian UU kepada HMJ dan UKM pada saat diujung kepengurusannya. Kedua, pada kopian UU itu terdapat dua ayat yang salah fatal dan tidak sesuai dengan hasil kongres tahun lalu, yakni pasal 6 yang tidak memuat ayat 4 yang seharusnya ada dan pasal 29 ayat 4 yang memabahas tentang SK dan pelantikan UKM. Ketiga, fungsi pengawasan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dinilai juga diabaikan oleh MPM, dan LPJ BEM serta kongres yang terkesan tidak siap. Hal ini melahirkan wacana tentang kemungkinan dibubarkannya MPM.

“ Gimana pendapatmu kalau MPM dibubarkan ?” tanya seorang teman.

“ Ha......? yang benar jak. Masa’ mok dibubarkan, tak biselah. Bise sangsot kehidupan oragnisasi mahasiswa di kampus kite ni “ jawabku

“ Ade pun tak dirasekan mahasiswa ” katanya lagi.

“ Itu bukan masalah MPMnye tapi disfungsi orang-orang di dalamnye. Yanti yakin semuenye bise lebih baik kedepannye, kalo memang maok. Kayak kite gak, UKM same HMJ” jawabku.

“ Hehehehehe” dia duduk di sebelahku.

Kongres untuk hari ini selasai pukul 5 sore dan akan dilanjutkan besok pagi. Aku pulang dengan Dian, peserta utusan LPM, sekaligus pimpinan redaksi WARTA. Dia cukup vokal dalam kongres tadi. Sementara, aku lebih suka duduk di belakang, mendengarkan, dan menikmati segepok cemilan yang dibawa Hanisa dari rumahnya, dan tentunya bercanda dengan beberapa teman yang juga gila-gilaan di belakang.

“ Malas, banyak yang sekedar cari sensasi” kata mereka.

Sabtu, 28 Juni 2008

Malam tadi, dokter telah memastikan bahwa hari ini operasi pengangkatan usus buntu kakakku dapat dilaksanakan. Pukul 09.00 WIB. Aku tak bisa ke kampus untuk mengikuti kongres lanjutan, operasi kakakku lebih penting untukku saat ini. Maaf, teman-teman. Tadi malam aku juga tak tidur semalaman, untung seorang teman bersedia menemaniku meskipun hanya suaranya yang terdengar di seberang sana. Lumayan, dia dapat mengisi kekosongan dan kebosanan di lorong rumah sakit yang kaku ini.

Pagi, aku keluar dari ruang perawatan, karena sudah waktunya petugas kebersihan untuk membersihkan kamar pasien. Keluarga pasien diperbolehkan masuk lagi pada pukul 09.00 WIB. Aku menunggu di ujung lorong, sendirian. Abangku, yakni suami kakak, sudah menyatakan bahwa dia tak bisa menemani istrinya. Dia tak tega melihat wanita yang telah menjadi ibu dari kedua gadis kecilnya itu terbaring lemah di bawah pengaruh obat bius, atau menyaksikan bagaimana pucatnya wanita cantik itu ketika di dorong menuju ruang operasi. Aku saja tak tega, tapi kenyataan seringkali memaksa kita untuk memenangkan pertempuran melawan perasaan.

Pukul 08.30 WIB, aku melihat seorang perawat mendorong kakak yang telah duduk di kursi roda, lengkap dengan baju operasinya menuju ke arahku. Wajahnya pucat, kakak sama sekali tak tersenyum, tapi bibirnya terbuka sedikit. Sorot matanya sendu menatapku. Tuhan, aku tak berkata apa-apa, selain mengikuti gerak langkah perawat itu menuju ruang operasi.
Kakak segera di dorong masuk ke ruangan itu, sementara aku ditahan di luar.

“ Sampai sini ya mbak “ kata perawat.

“ Iya “ jawabku pasrah.

Di depan ruangan itu, mungkin sekitar 30 an orang duduk berjejer, hingga kursi yang disediakan tak dapat menampungnya. Aku berdiri, tak berminat untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Di samping ruang operasi itu ada sebuah tangga menuju lantai I, lalu ruang ICU. Orang-orang yang banyak ini mungkin bukan hanya keluarga pasien yang dioperasi, tapi juga ada yang menunggui keluarganya di ICU. Seorang wanita duduk di sampingku dengan dua anak perempuannya, yang satu berusia sekitar 17 tahun, dan satunya lagi mungkin sekitar 5 tahunan. Dari pembicaraannya, aku mengetahui bahwa wanita itu sedang menunggui ibunya yang belum sadarkan diri di ruang ICU karena kecelakaan tabrakan.

Beberapa belas menit kemudian, aku melihat seorang wanita muda dari etnis Tiong Hoa yang juga di dorong ke ruang operasi. Dia berbaring dengan wajah kesakitan, dan kelihatan merah. Perutnya besar, dia akan melakukan operasi caesar.

Satu jam kemudian, aku menyaksikan seorang bayi laki-laki yang digendong ibunya juga menuju ruang yang sama. Ditangannya yang kecil dilekatkan pipa infus dan tepat didepan pintu ruang operasi, seorang perawat meminta si ibu menyerahkan bayi mungil itu. Si Ibu pasrah melepas gendongannya dan menyerahkan si mungil pada perawat. Hanya selang beberapa menit, seorang lelaki dengan pakaian lengkap dinas operasi keluar dari ruangan operasi menghampiri si ibu. Dia membawa topi dan kaus kaki rajutan bayi, lalu menyerahkan pada ibu bayi itu. Sebuah pemandangan yang mengharukan buatku. Seorang ibu harus melepaskan bayinya yang begitu kecil dan lemah memasuki ruang yang terkesan ‘ganas’ untuk menghadapi berbagai bentuk pisau bedah. Bukan sebuah hal yang mudah untuk dihadapi.

“ Kak, belom selesai ke ?” sebuah suara mengejutkanku. Adik dan bapakku datang dan menghampiriku. Mereka baru saja dari Universitas Tanjungpura, calon kampus adikku. Dia sedang mengurusi berkas-berkas yang diperlukannya untuk mendaftar dan mengikuti ujian masuk UNTAN.

“ belom” kataku singkat

Aku melirik penunjuk waktu di layar HP, sekitar pukul 09.15 WIB. Waktu terasa lama sekali. Tak lama kemudian, HP ku berdering. Telpon dari teman yang tadi malam ikut begadang bersamaku.

“ Gimana kakak ?” terdengar suaranya dari seberang sana.

“ Lagi dioperasi, nih lagi di depan ruang operasinya”

‘ Udah sarapan blom ?”

“ Belom dak sempat, eh, udah, udah sih tadi makan roti. ‘kan banyak tuh di tempat kakak “ jawabku.

“ Makan di jaga, ntar kamu yang sakit, iya tho “

“ Iye, cerewet “

Dia protes aku bilang cerewet. Dia lalu bercerita tentang temannya yang juga pernah mengalami penyakit yang sama seperti kakakku yang juga harus menghadapi tajamnya pisau bedah. Pembicaraan kami sempat terputus, karena aku dipanggil. Lalu kembali kami sambung, dan akhirnya harus disudahi karena dia akan sarapan.

Pukul 10....11....kakak tak juga keluar. Padahal bayi yang ibunya dioperasi caesar sudah keluar, tak lama ibunya juga keluar. Kami mulai gelisah, apalagi abangku, yang katanya tak mau menemani, tapi ternyata sejak pagi sudah mondar-mandir di sekitar ruang operasi tanpa sepengetahuanku. Pukul 11.45 melalui pintu ruang ICU, kakakku keluar. Dia terbaring tak sadarkan diri di dorong oleh dua perawat muda. Kami semua mengikutinya. Di sisi tempat tidur dorong itu, terlihat sebuah botol kecil seperti tempat cottombud. Di dalamnya diisi cairan alkohol dan.....ah.....,ada usus kakakku yang diangkat dalam operasi itu.

Kami sekeluarga mengikuti perawat tadi, namun harus berpisah di persimpangan lift. Mereka menguunakan lift pasien, sedangkan kami menggunakan lift umum. Kami kembali bertemu di ruang perawatan. Letih rasanya, aku ingin tidur. Tapi belum bisa. Aku masih harus menunggu instruksi dari dokter atau perawat tentang kakak.

“ belum boleh duduk apalagi berdiri, dan minum sampai jam 12 malam nanti. Kalo berbalik boleh, tapi di bantu. Setelah jam 1 malam boleh minum, tapi cuma 1 sendok makan setiap jam. Kalo makan jangan dulu” kata perawat.

“ Kalo buang air boleh dak mbak ?” tanya adikku konyol

“ Boleh, tapi gak boleh jalan, nanti pake pispot aja” jelas sang perawat. Adikku hanya senyum-senyum.

Sekitar 12 an kakakku sadar, tapi tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya menatap kami satu-persatu. Tapi kemudian, sedikit demi sedikit dia mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya.

Sekitar pukul 14.30 aku pulang kerumah. Aku langsung merebahkan diri di lantai ruang tengah. Dingin. Lega rasanya dapat membaringkan tubuhku. Tak lama aku melihat Hpku, ada SMS dari teman-teman di kampus. Mereka menanyakan apakah aku bisa datang ke kampus atau tidak. Aku ingin membalasnya, namun tertidur. Sore sekali, baru terbangun. Aku harus kemas-kemas, kasian ibuku, beliau juga tak boleh terlalu lelah. Malam ini aku akan tidur di rumah

Minggu, 29 Juni 2008

Ternyata cucian benar-benar menumpuk. Pakaianku, sedikit titipan dari ibu dan bapak, lalu segepok titipan dari abangku. Tulangku gempor. Semalam aku tidur subuh, meski di rumah tapi tetap saja tak bisa tidur. Insomnia. Kembali seorang teman menemaniku begadang. Terimakasih Tuhan.....

Siang, setelah semua selesai, aku ke rumah sakit menjenguk kakak, tapi tak lama. Sore aku sudah harus pulang kerumah. Malam ini juga tidur di rumah. Tidak malam, tapi subuh. Karena sekarangpun sudah subuh, tapi aku belum tidur....................

Abies...

29 Juni 2008
Menjelang subuh, tapi pikiranku masih asyik dengan dirinya.
Special thanks to ; orang-orang yang telah menemaniku begadang.

Hari-hari Itu............ (1)

Malam ini, setelah 4 malam aku berpisah dengan komputer butut yang bertengger manis di sudut kamar, aku kembali berada di depannya. Mengetikkan huruf demi huruf diatas kertas putih maya di layar monitor.

Yah, malam ini tepatnya adalah malam kelima kakak iparku tercinta harus terbaring lemah di bangsal rumah sakit Saint Antonius. Radang usus buntu membuatnya kian lemah dan tak dapat berbuat apa-apa ketika dokter yang menanganinya memutuskan untuk melakukan operasi. Dia takut, aku tahu itu. Aku lihat dari matanya, gerakannya, juga bibirnya. Dia gelisah sepanjang malam.

***

Selasa, 24 Juni 2008

Aku sedang mengikuti sidang pleno Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang meminta laporan pertanggungjawaban Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak periode 2007-2008. Di jadwal, sidang itu dimulai pukul 15.30 WIB, tapi kurasa molor sekitar setengah jam. Awalnya, kami semua berada di dalam aula kampus, namun menjelang maghrib, terpaksa pindah ke gedung PGRA, karena aula telah lebih dulu di’booking’ untuk acara lain.
Ada beberapa bahasan yang dibahas oleh teman-teman, termasuk masalah Undang-undang KBM yang berada di tangan UKM dan HMJ tidak sesuai dengan hasil kongres tahun lalu. Tapi, menurut pengurus BEM UU KBM yang ada di sekretariatnya sama dengan hasil kongres. Berarti ada dua versi. Sebenarnya ini bukan wilayah Badan Ekssekutif Mahasiswa, tapi MPM.
Namun, hal itu menjadi pertanyaan, karena SK setiap oraganisasi di dalam tubuh KBM dikeluarkan oleh BEM dan menggunakan landasan UU KBM. Ketika UU yang menjadi landasan tidak sesuai, maka keabsahan SK menjadi pertanyaan. Itu yang juga menjadi pertanyaanku, SK LPM. Tapi lebih anjut masalah ini akan di bahas di kongres mahasiswa.

Malam, usai maghrib teman-teman masih asyik membahas soal tadi, meskipun LPJ ini hanya di hadiri oleh 2 perwakilan UKM dan 2 HMJ dari 8 UKM dan 3 HMJ yang ada. Representatifkah ? Begitu tanya seorang teman. Entahlah, kalau berpikir tentang hal itu, seharusnya dipertanyakan lebih dulu, ‘ pedulikah mereka tentang ini?’ ‘kalau iya, kemana yang lain ?‘

Pukul 19.30 WIB, handphoneku berbunyi.

“ Kak Maya masuk rumah sakit, cepatlah balek” ujar adikku di seberang sana. Aku lalu menutup telpon.

Lima menit, aku menunggu sidang sedikit lengang. Lalu menunjuk jari dan meminta izin pada forum untuk pulang lebih cepat. Sekitar setengah jam kemudian, aku sampai dirumah. Kakakku sudah diantar ke rumah sakit Saint Antonius, Pontianak sekitar satu jam yang lalu.

Rabu, 25 Juni 2008

Aku tiba di kampus sekitar pukul 11.25 WIB. Hari ini memang tak ada mata kuliah pagi, hanya pukul 12.30 nanti, aku mengikuti kelas feature. Tak ada kegiatan yang terlalu penting hari ini, kecuali menyerahkan surat rekomendasi kepada panitia kongres mahasiswa dan sedikit kilas balik tentang kongres. Tapi untuk kelas feature ada berita baik, sekitar awal Juli, kami sekelas akan mengunjungi salah satu lokasi KKL kakak tingkat kami yang saat ini sedang berlangsung. Kami ditugaskan untuk membuat narative reporting, sekaligus makalah penelitian singkat bagi yang berminat.
Rencananya kami akan menginap di sana. Berbagai rencanapun disiapkan oleh teman-teman, sampai-sampai kami merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang nantinya akan dapat kami kenang selamanya. Kelas ini, terutama teman-teman dari angkatanku memang luar biasa heboh, dan aku bangga karenanya. Begitu kelas selasai, aku langsung pulang, banyak yang harus dikerjakan di rumah. Apalagi tadi pagi kudengar kabar bahwa besok kakakku harus menjalani operasi.

Kamis, 26 Juni 2008

Operasi itu dijadwalkan hari ini, pukul 09.00 WIB. Aku menungguinya sejak malam, karena urusan administrasi diserahkan padaku. Sebelum pukul 09.00 semuanya harus sudah selesai. Aku menuju bagian keuangan dengan ransel dipundakku, tentu saja dengan segepok uang yang harus disetorkan ke bank Mandiri yang menjadi mitra rumah sakit ini.
Aku menunggu antrian dengan agak gelisah, bukan karena gerah mengantri, tapi sekali lagi membayangkan wajahnya. Wanita yang hanya lebih tua 4 tahun dari ku. Wanita muda yang hampir selalu membelaku jika aku diomeli karena telat pulang ke rumah. Dia ibu dari dua gadis kecil yang yang membuat hariku penuh warna. Wanita itu pula yang selalu mengusap pundak dan rambutku jika aku tertidur di sampingnya. Dan tadi, saat meninggalkannya dia terlihat pucat, dan panas badannya mencapai 39 derajat celcius lebih.

Ini hari pertama dimulainya rangkaian acara kongres mahasiswa STAIN Pontianak. Tadi aku sempat menelpon seorang teman. Darinya aku mengetahui bahwa hari ini hanya dialog publik, sedangkan kongres akan diadakan besok. Syukurlah, ujarku, dengan begitu aku bisa menghadirinya, dan menunggui operasi kakakku hari ini.

“ Mbak, ini kwitansinya “ ujarku menyerahkan kwitansi berwarna kuning kepada seorang perawat di pos jaganya.

“ Oh, keluarga ibu Maya ya ?”

“ Iya, ada apa Mbak ?” tanyaku

“ Begini, operasi bu Maya ditunda. Tadi udah diperiksa dokter, dan kondisi badannya tak memungkinkan untuk menjalani operasi hari ini” jawabnya.

“ Emang kondisinya kenapa ?”

“ Bu Maya demam, panasnya lebih dari 39 derajat, dia juga menstruasi hari pertama dan payudaranya bengkak. Bu Maya punya bayi’kan”

“ Iya, Mbak. Umurnya 1 tahun 5 bulan dan nutrisi utamanya memang ASI”

“ Nah, itu dia. Jadi produksi ASInya banyak, karena tak diminum bayinya, payudara Bu maya jadi bengkak. Nanti coba diperas Mbak ya, soalnya itu juga menyebabkan demam”

“ Kemaren malam udah diperas Mbak’

“ kalau gitu, lebih sering, karena produksi ASI yang ibunya aktif menyusui memang banyak sekali”

“ Oh gitu. Trus operasinya gimana ?”

“ Nanti akan dikasi tahu sesuai dengan perkembangan kondisi pasien. Kalau administrasinya gak usah khawatir, kan udah di data “

“ Ya, gak papa. Makasih Mbak” ujarku tersenyum pada perawat tadi, kemudian berlalu menuju kamar kakakku di rawat. Lucu juga rasanya, kalau teman-teman kampusku mendengar aku bicara dengan bahasa tadi, aku akan di tertawakan habis-habisan, hilang ciri khas Melayu klotokku. Heheheh.

Bersambung.......

Malam

Mungkin aku akan menambah daftar orang-orang yang tak bisa menikmati malamnya dengan baik. Tidur menjadi sesuatu yang rasanya sulit ku lakukan. Jika dulu, aku bersahabat baik dengan bantal dan selimut, akhir-akhir ini aku merasa mereka mulai menjauhiku. Entahlah, apa mereka terlalu lelah menemaniku bermimpi dan bermain di alam yang tak nyata, atau aku yang terlalu asyik dengan cumbuan malam, hingga melupakan hangat dekapan mereka. Pastinya, aku mulai tak menikmati binar cahaya terakhir yang mengantar katupan kelopak mataku.

Ada banyak hal yang ingin kusampaikan pada malam, hingga waktu terasa tak cukup untuk memberi ruang pada kata-kata yang bicara. Ya, malam telah menjadi teman bercerita yang tak pernah meminta penjelasan apa-apa. Tak membuat kita mencari-cari alasan untuk membenarkan apa yang telah dilakukan. Itulah malam, mungkin karena itu pula aku merasa nyaman untuk mengikuti perjalanannya yang panjang. Meski aku merasa bersalah pada mata yang terpaksa harus berbagi ruang dengan kantung di bawahnya, khas mata orang kurang tidur.

Apa aku merasa nyaman ? Ini yang sebenarnya menjadi pertanyaan. Tidak, pada satu sisi. Rasa itu datang saat aku merasa tubuhku benar-benar lelah, kejam rasanya membiarkan wadah hidup ini terus bekarja tanpa sedikitpun mendengarkan jeritannya. Tapi, ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipaksakan, pikiran yang tak mau diajak pasrah terkapar di atas pembaringan, misalnya. Dia lebih memilih untuk berada di depan kotak kaca yang membentuk gambar sebuah kertas putih dengan deretan huruf yang dijejalkan paksa oleh jemariku yang jahil.

Di sisi lain, aku memang merasa nyaman. Malam membuatku seolah terpisah dengan dunia luar. Aku sendirian di dalam kotak bercat putih yang hanya berukuran beberapa meter. Satu-satunya akses ke dunia luar hanyalah sekeping jalinan kayu yang disebut pintu, itupun tertutup rapat. Inilah waktu dimana aku merasa memilikiku, duniaku, aturanku dan kesendirianku yang takkan dapat dipersembahkan siang.

Saat sendiri inilah, aku dapat merasakan keberadaanku dalam kenangan yang kadang kubuat tanpa sengaja. Siang tadi, entah apa yang kupikirkan lalu kuperbuat, tapi yang jelas di malam harilah aku menemukan jawabannya. Semua yang sebenarnya tak terpikirkan dan tak terbayangkan, tapi mulai kulirik ketika malam menjamahku.

Aku lelah, sekarang pun saat sedang menulis ini, tubuhku terasa lelah. Tapi pikiranku lebih lelah jika harus dikunci mati dalam aktivitas rutin malam hari yang kita beri nama tidur. Sudahlah biar saja, aku tak ingin berusaha tidur. Lagipula, segelas dancow coklat masih belum kandas dari gelas, musik dari winamp juga masih bersedia menemaniku dalam penjara malam yang terlalu ambisius untuk tidak melepaskanku ke dalam pelukan dunia mimpi.

Ya sudahlah, aku memang telah menjadi simpanan malam yang harus pasrah dicumbuinya sepanjang perjalanan rembulan. Selama aku bisa dan menikmatinya, kenapa tidak ? Malam membawa keheningan yang membuatku dapat mengertiku, bukankah itu yang kucari ? Jadi biar saja aku menjadi malam, dan malam menjadi aku.


23 Juni 2008
Sudah lewat tengah malam, tapi gak bisa tidur

SMS Dari Seberang Lautan

Minggu, 22 Juni 2008, aku memilih untuk di rumah, ada hal yang harus kukerjakan dan rasanya telah lama aku menundanya. Siang, aku merebahkan tubuhku yang terasa penat di dalam kamarku, tepatnya di atas karpet palastik yang menutupi lantai semen di bawahnya.

Hampir terlelap, tiba-tiba HP nokia biruku berbunyi, sebuah pesan masuk dari seorang teman di seberang lautan. Dia bicara tentang keadaan daerah tempat dia kuliah yang saat itu sedang mengadakan pemilihan gubernur. Sepi. Apatis. Katanya.

Lalu kukatakan bahwa aku percaya kaum muda di daerahnya dapat mengawal dengan baik pelaksanaan demokrasi. Dia juga harus percaya itu.

Ya. Meski aq lampung. Aq relwn pmantau. Dan jalanan sepi, tak ad kegiatn brarti. Lesu. Tapi desa agk semarak, trtipu janji palsu. Yg trburu2,” Sender Nas 22 Juni 2008 13:24: 05, balasnya padaku.

Janji palsu, lagi-lagi semua pemilihan melakukan hal yang sama. Dari sabang sampai ujung timur Indonesia, masyarakat sudah merasa ragu dengan semua janji yang diucapkan calon-calon pemimpin. Bukan keraguan tanpa alasan, tapi rakyat negeri ini sudah terlalu lelah dengan segala hal yang berbau janji. Janji yang realisasinya nol besar.

“Janji palsu selalu ada dlm stp pemilihan, d t4ku jg. Smw itu jd bumbu dlm prjlnan bgsa. Kt sdg mencari arti dmkrasi yg sesungguhnya. Itu pljran yang brharga untuk kt’ balasku

“Ya. Dn qt hrus membyrny dgn harga mahal. Hutan borneo satu d antaranya” sender Nas 22 Juni 2008 13:35:41

“Kamu bnr. Pljrn itu mahal, sygnya ‘pemimpin’ n rakyt kita selalu sj mengulur wktu untuk mengerti, shg hutan, alam dan bdy kt trus mjdi tumbal. Hutn utk org xmantan adlh separuh nywa,tp mrk tak mngrti” akhirnya pesan panjang itu selesai, aku lantas mengirimnya.

“ Mrka mengrti, tp nafsu tlah mmbtakn ksadrn diri. Atau justru mmbutkan diri scr brjamaah-. Ironis. “ sender Nas 22 Juni 2008 13:49:28

jgn membwtku sedih, aku tak ingin bsedih hr ini. Bicr ttg hutan selalu mengundg byk cerita pilu. Bgmn dg kampg halamanmu ?”

G jauh beda. Smbilu menjerit sendu. Lmpung tk puny hutn lg.” Sender Nas 22 Juni 2008 13:57:24

Aku membaca SMSnya sekilas, lalu kemudian tak sadarkan diri. Tidur. Aku terbangun sekitar hampir pukul 5 sore. Ternyata sebelum tertidur, aku sempat mengetik sebuah pesan panjang untuknya yang belum sempat terkirim. Aku lalu memilih menu send di HP ku.

Kdg aku bpkr, jika keadaan spt ini terus, mgkn suatu saat kita hanya dpt bercerita ttg hutan pada anak cucu kt, tanpa bs mereka melihtnya lagi. Cerita kt hny akn mjdi dongeng”

Hutan, lagi-lagi aku tak bisa banyak komentar tentang hutan. Seperti hati kebanyak orang Kalimantan, hutan adalah bagian yang tak pernah dapat dipisahkan dari hidupku. Aku mulai belajar mencintai segala sesuatu yang berbau alam, ketika duduk di bangku SMA. Aku bergabung dengan klub Siswa Pencinta Alam (SISPALA) di sekolahku. Organisasi kecil, tapi sampai saat ini memiliki tempat tersendiri dalam hati. Tidak hanya petualangan, padaku diajarkan rasa cinta pada alam, hutan terutama.

Aku mulai mencari informasi tentang hutan, kerusakannya dan hal-hal lain yang sebenarnya masih sebatas pengetahuan anak kecil. Bicara soal hutan di Indonesia, sama peliknya dengan bicara soal kemiskinan dan pendidikan. Hutan di Indonesia seperti kue bakpau yang putih dan lembut, tapi dipagari dengan kawat setan tak bertepi yang siap mengahncurkannya kapan saja. Membukanya, tak ubah seperti menjalin benang kusut yang morat-marit di sana-sini.

Tak sebatas rasa cinta seorang anak SMA dan teman-temannya, yang rela mngantongi sampah dari jalanan sampai ke rumah karena tak mau mengotori lingkungan. Ada banyak hal yang terlibat. Terlalu naif, jika mengatakan cinta tak selamanya dapat melindungi, tapi itulah yang memang terjadi.

Sebentar lagi, jika keberadaan hutan tetap tak bisa dihargai, delta sungai kapuas inipun akan segera menjadi sungai besar, karena tanah gambut tak dapat menahan beban dan resapan air di zona hujan tropis. Hutan, entah berapa banyak para pencinta yang mengalirkan air mata, tapi semua itu tetap tak bisa menahan laju langkah ‘si perut gendut’ yang terus menggendutkan perutnya dengan kehancuran hutan.

Tidak hanya, Kalimantan Barat dan Lampung, Palembangpun mengalami nasib serupa. Dari cerita Nisa, temanku yang anak asli Palembang, aku tahu bahwa hutan Palembang juga sedang kritis.

“ suasananye bede dengan 4 tahun lalu waktu Nisa tinggalkan. Pas Nisa balek tuh hutannye dah banyak ilang, yang banyak malah kebun sawit. Sedih liatnye” ujarnya padaku

Nas dengan Lampungnya, yang ia katakan sembilu menjerit sendu. Lalu sahabatku, Nisa yang terdiam menunduk mengingat penggundulan hutan di kampung halamannya, Palembang. Aku di Kalimantan Barat. Kenapa ?

Aku, Nas, Nisa dan entah berapa banyak pemuda negeri ini yang terluka oleh sinshaw yang membabat hutan kami. Lampung, Kalbar, Palembang semuanya terluka.........