Monday, February 2, 2009

Ijinkan Aku Menjadi Tolol

"Seperti orang putus asa gitu, jangan pesimis, masih bayak yang bisa kamu berikan pada kami..." kata seorang teman memberikan motivasi ketika ku katakan terlalu banyak pertanyaan 'tolol' yang sedang menghantuiku. "Bukan putus asa, tapi pertanyaan-pertanyaan itu datang begitu saja, dan tak terkendali", kataku menjawab e-mailnye. Dia teman baikku, dia adalah sahabat yang selalu mencoba untuk mengerti jalan pikiranku yang lebih sering lari dari rel yang seharusnya. Pikiran yang terlalu liar, komentar seorang teman lama.

Sebenarnya, ini bukan soal pesimistis atau putus asa, ini adalah soal pertanyaan 'tolol' yang sering mengahantui orang-orang yang sering tak mengikuti arus pemikiran normal. Aku mendapatkan beasiswa belajar Bahasa Inggris selama dua bulan di Amerika Serikat. Aku tahu benar, itu menghabiskan puluhan juta rupiah, mungkin sekitar lebih dari 60 juta jika dirupiahkan. Memang ini beasiswa dari pemerintah AS sendiri, tapi tentu bukan tanpa alasan dia memberikan itu pada mahasiswa-mahasiswa dari negara berkembang, Indonesia misalnya. Negara ini telah lama menjadi pasar untuk produk mereka, telah lama menguntungkan perekonomian mereka, bahkan mungkin menjadi sumber pendapatan negara mereka. Mungkin ini salah satu cara untuk membalas, meski juga tak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan dan mereka akibatkan. Untukku, dengan kata lain, uang yang membiayai kepergianku dan mahasiswa Indonesia lainnya ini adalah uang rakyat kami juga, dan rakyat dari negara berkembang lainnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apa yang bisa kuberikan untuk mereka ? Orang-orang yang telah memberikan uang puluhan juta ini kepadaku dengan cuma-cuma. Sekedar belajarkah ? Bukankah mereka tidak butuh orang-orang yang pintar untuk dirinya sendiri ? Lantas apa ? Berbagi dengan banyak orang, mengajari mereka, dan membuat perubahan yang lebih baik ? Dengan apa ? Bangaimana caranya ? Kapan ? Apa aku bisa ?

Itu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul. Ini bukan masalah idealisme, karena aku bukan seorang idealis. Ini soal pertanggungjawaban moral kepada hutang yang abstrak. Tak ada hitam diatas putih yang dapat memaksa dan mengintervensiku untuk bertanggungjawab atas apa yang kuterima. Ini peruntungan karena aku mahasiswa, dari negara berkembang, dan memiliki nasib baik. Lantas kenapa aku harus pusing menjawabnya ?

Beasiswa dan kesempatan ini membuatku senang, tapi sama sekali tak membuatku merasa menang. Ada saat dimana aku merasa benar-benar beruntung, tapi beberapa saat dalam waktu yang amat sekejap, aku merasa begitu kecil dan penuh dengan rasa bersalah. Bahu dan otakku terasa benar-benar menyiksa. Ada beban disana, yang belum kutunaikan. Aku seperti pegawai negeri yang hanya mengisi absen dan kemudian mendapatkan sejumlah uang di awal bulan, tanpa dapat memberi apa-apa untuk rakyat yang membayar pajak agar gajinya dapat dibayar. Aku merasa seperti pejabat yang senang-senang berjalan dengan mobil dinas, dikawal ketat oleh pengawal yang justru menjauhkan dia dengan masyarakat yang memberinya jabatan dan segalanya. Orang-orang yang membunuh nuraninya untuk alasan kedamaian dan ketenangan hati. Agar tak terlalu risih dan tersiksa dengan pertanyaan pertanggungjawaban moral.

Saat pertanyaan itu datang dan aku memikirkannya, aku terlihat seperti orang tolol yang tersesat dalam arus zaman. Tapi ketika aku mencoba untuk melupakan dan mengabaikannya, aku merasa seperti orang pintar yang membunuh nuraninya. Maka, teman-teman dan Tuhan, ijinkan aku menjadi tolol, dan kemudian mati dalam kegilaan atas pertanyaan-pertanyaan 'tolol', sebelum aku memutuskan untuk membunuh nuraniku.


Corvallis...

Wednesday, January 28, 2009

Saat Ku Jauh...

'Jauh' menjadi kata yang sangat bermakna saat ini. Saat jarak dan waktu membentang di depan mata dan menjadi begitu luas. Di tempat yang asing dengan teman-teman, budaya, bahasa dan cara hidup yang sangat berbeda. Sungguh luar biasa, memberikan pelajaran baru yang belum kudapatkan. Disini aku belajar untuk memahami banyak kata yang selama ini tak begitu bermakna.

Ah, apa kabar orang-orang yang disana, di tanah tempatku dilahirkan ? Apa kabar orang-orang yang selalu menemani hari-hariku selama ini dan menjadi orang-orang yang menunggu kedatanganku. Aku mulai mengingat mereka, mulai ingin menemui mereka dan ingin mendengar tawa, canda, cerita dan kadang omelan mereka. Tuhan, apa aku mulai merindukan mereka ?

Di tengah-tengah ketidaksamaan ini, ada hal-hal yang membuatku bersemangat. Ada sesuatu yang mulai membuatku merasa nyaman. Membuatku berpikir bahwa waktu yang tersedia dalam sehari begitu pendek, hingga aku ingin cepat matahari bersinar yang menandai hari baru telah datang. Namun, disisi lain membuatku menoleh kebelakang dan bepikir 'mengapa hari begitu cepat?' Tuhan, apa aku mulai menikmati hidupku disini ?

Ada perasaan marah dan kesal, ketika orang-orang membicarakan negeriku seakan-akan hanya memandangnya dengan sebelah mata. Ada perasaan bangga yang membuncah dengan luar biasa, ketika rak-rak pakaian di mall terbesar di kota ini hampir semuanya berisi produksi negeriku. Juga ketika konsumen mencari dan menanyakan dimana produk negeriku, karena dia ingin membelinya. Ada semangat yaang keluar begitu saja, ketika ku bercerita tentang kampungku kepada siswa internasional lainnya, meski dengan bahasa inggris yang terbata-bata ? Tuhan, apa aku mulai mencintai negeriku ?

Aku mulai nyaman mempelajari dan mendengarkan pikiranku, mulai asik dengan hatiku untuk berusaha memahami apa yang kuinginkan secara jujur. Aku bergulat antara apa yang harus kulakukan, tak harus kulakukan, ingin kulakukan, tak ingin kulakukan, boleh dan tak boleh kulakukan. Tuhan, apa aku mulai mencari kebenaran dalam diriku?

Semua hadir, justru saat ku jauh. Jauh membuatku dan memberiku waktu untuk memahami dan merenungkan semuanya. Dan semunya terjadi justru saat ku jauh. Saat ku jauh..

Friday, January 9, 2009

Aku di Corvallis.....

Aku lagi ada di Corvallis sekarang, sebuah kota di Oregon State, USA. Aku dan 19 orang teman serta seorang chaperone dari Indoensia sampai di bandara Portland, ibu kota Oregon State pada 4 januari sekitar pukul 22.20 waktu setempat ( di Indonesia udah tgl 5 januari sekitar pukul 13.00 WIB). Di sana sudah ada Alexis Siegel dan Shandy Riverman yang menjemput kami. Kami masih harus naik bus selama 2 jam untuk menuju Corvallis, kota dimana Oregon State University berdiri megah. Ketika keluar dari bandara, semua orang dari rombongan kami langsung terkejut. Udara di Portland luar biasa. Jika anda pernah memasukkan kepala anda di freezer dalam kulkas selama berjam-jam, maka seperti itulah suhu di Portland saat itu. Dalam sekejap, karena hanya menyeberang jalan saja, tanganku yang menggunakan sarung tangan tipis segera mati rasa, sampai-sampai aku tak bisa menekan pegangan travel bag-ku. So funtastic.
Di dalam bus, lumayan hangat. Suasana ramai di dalam bus, termasuk bercerita selama lebih dari 20 jam penerbangan hanya bertahan sekita 45 menit. Setelah itu suasana sepi, sebagian besar teman-teman tertidur. Aku sempat mengirim beberapa sms, ke teman, dan keluarga di rumah. Ah, betapa di tempat yang jauh, mereka terasa sangat dekat dan begitu berharga.......
Salju lebih menarik perhatianku dari pada tidur. Di sepanjang jalan-jalan di Portland, salju memamerkan keanggunannya dengan menutupi puncak-puncak tanaman nias, pohon dan atap-atap rumah, bahkan mobil yang sedang melajupun harus membawa salju di bagian atasnya. Putih dan luar biasa.
Sekitar pukul 00.30 waktu corvallis, kami tiba di asrama mahasiswa. Kami tinggal di Cauthorn Hall lantai 5. Jadi kami harus bolak-balik dengan menggunakan lift. Beberapa fasilitas tersedia di sini. Ada komputer dengan akses internet gratis di lantai bawah, meski cuma dua komputer dan menggunakannya harus antri. Sedangkan yang punya laptop dapat menggunakan koneksi di kamar dan temapt lainnya, juga gratis. Asik ya..... Beberapa hari kemudian kami juga menerima fasilitas telpon di setiap kamar, meskipun cuma bisa digunakan untuk menelpon di daerah lokal. tapi lumayan....