Thursday, March 8, 2012

KANGEN...

Kangen. . .kgn. .kgen. . .kgen. .kgen. .sama kMu. .semuA. . A A A A A A A A A A A A A A A A Dmana dsmpan snyjm waktu it. . Saat mta kian memerah. . Hati kian resah. . Ada kalian bwt menahn mta ini basah. .” sender I

SMS itu begitu saja masuk ke HP ku. Malam, saat aku benar-benar lelah, ingin segera tidur dan tak memikirkan apapun. Pesan singkat itu segera menyita seluruh perhatianku. Mengingatkan pada saat-saat terbaik yang pernah kulewati bersama orang-orang terbaik pula, termasuk I. Kami semua bersahabat, sekumpulan, senasib kadang sependeritaan.

Dulu, kami seringkali menghabiskan waktu dan pulsa hanya untuk saling bertanya hal-hal yang tak begitu penting atau sekedar mengirim kata-kata lebay untuk mengungkapkan betapa setiap kami begitu berharga untuk yang lainnya. Saat-saat biasa terasa begitu istimewa, lebih dari sekedar hari untuk memperpendek usia. Lebih dari sekedar waktu untuk menambah lama masa kuliah. Semuanya lebih dari sekedar rutinitas dalam keseharian.

Masalah bukan halangan untuk kami bergila dan tersenyum renyah. Tak ada yang tak bisa kami selesaikan saat bersama, pun tak ada yang biasa saja ketika kami berkumpul. Semuanya menjadi tak biasa.Aku tersenyum sendiri menatap SMS itu. Lagi-lagi pesan itu mengingatkanku pada banyak hal di masa lalu.

I bukan orang yang biasa mengobral perasaannya. Juga bukan seseorang yang mudah memperlihatkan apa yang dia pikirkan. I lebih suka menyimpan semua itu rapat-rapat dalam senyumnya yang juga tak mudah didefinisikan. Aku hanya berpikir, mungkin malam ini I benar-benar kgen dengan masa lalu... Atau I sedang menghadapi sesuatu yang tak mudah hingga butuh ”penahan mata ini basah” ataw mungkin kenangan itu sendiri yang membuat ”mta kian memerah dan hati kian resah. .”

Teringat kata seorang sahabat lain sambil merebahkan dirinya di lantai. ”Kadang saye merasa bahwa seharusnya tak ade yang membuat celah diantara kita,” ujarnya. Lalu sahabat lain juga kepergok menangis dan mengaku bahwa dia merasa terasing dalam suasana yang berbeda. Ada lagi yang berkata kalau dia begitu kehilangan.

Semuanya berubah saat kami mulai berjalan di jalan kami masing-masing. Saat tuntutan masadepan dan hidup tak mau berkompromi dengan waktu. Seberapapun kami mempertahankannya, tetap ada yang berubah. Waktu kami tak lagi sepenuhnya saling memiliki. Pikiran kami tak lagi saling memberi tempat seluas dulu, meski perasaan kami tak pernah mengerucut. Perasaan itu masih sama, malah bertambah besar dengan kerinduan akan kenangan yang indah.

Aku pernah merasa bahwa hari-hari ku kini tak seberwarna dulu. Aku kini tak hanya bergulat dengan ”kerja cinta” bersama mereka, tapi juga banyak hal di tempat lain yang kadang tak terlalu kunikmati tapi harus kulakukan. Kesadaran bahwa takkan ada yang tak berubah akan membuat kami semakin dewasa.

Friday, February 24, 2012

Negeri City Hunter

Semingguan ini, Rika, Icha dan aku sedang gandrung menonton salah satu drama terkenal dari negeri Ginseng, Korea Selatan. Judulnya City Hunter. Menikmati akting brillian Lee Min Ho membuat kami terpana. Sosoknya, wajahnya juga jalan cerita yang luar biasa membuat kami rela duduk berjam-jam di depan layar computer. Bahkan, Rika sampai rela membeli CD nya.

Ada yang menggelitik pikiranku. Pengkhiatan para petinggi Negara dan patriotisme yang diramu secara apik dalam kisah itu, membuatku tertarik. Drama tersebut menggambarkan tabiat para petinggi yang rasanya akrab di telingaku. Mereka mengambil dana pendidikan, kesejahteraan rakyat, pemotongan dana proyek di sejumlah pos pemerintahan, juga negosiasi illegal untuk penunjukkan perusahan tertentu dalam tender-tender Pemerintah atau yang dikenal dengan mafia proyek. Semuanya tergambar seperti sebuah kilas balik yang mengejek dan menertawakan kondisi kebenaran yang tertindas dalam sebuah bangsa yang katanya besar.

Korupsi digambarkan seperti gurita yang menancapkan banyak kaki hingga ke akar birokrasi, menggoyang tatanan demokrasi dan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang lama-lama menjadi biasa dalam kehidupan masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan tak lagi mengganggu, karena masyarakat sudah pasrah untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi yang biayanya amat tinggi dibanding rata-rata nilai pendapatan penduduk. Kelaparan dianggap sebagai dosa pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan Negara. Masyarakat terlalu lelah untuk bersuara, hingga tak kuasa lagi berkata.

Namun demikian, para petinggi itu bisa tersenyum penuh rasa simpati ketika membiacarakan kelaparan dan penderitaan rakyat. Satu demi satu mereka menjual isu kemiskinan dan mempertontonkan penderitaan untuk meraih suara dalam pemilihan legislative maupun eksekutif. Dibelakang acara-acara formal dan diskusi public, mereka justru mulai menghitung berapa besar kekayaan yang didapat dari hasil menjual jiwa bangsanya. Itu yang tergambar dalam negeri City Hunter.

Menggelitik, karena lagi-lagi ada yang akrab di telingaku. Para petinggi yang ditangkap jaksa dalam drama itu, selalu tiba-tiba tak sehat. Hampir semua dari mereka secara bersamaan mendadak kenal dekat dengan dokter dan hobi berkunjung ke rumah sakit. Secara misterius, mereka juga amnesia. Lupa pada kejadian-kejadian yang ditanyakan jaksa. Tabiat yang akrab kudengar lewat tayangan berita malam. Mau tak mau cerita tersebut mengingatkan pada negeriku. Tanah tempatku berpijak yang dalam keadaan sadar, ku tempatkan di sudut istimewa dalam hati. Ya, negeriku.

Kadang geram menyaksikan drama itu, kadang tertawa. Tapi di sudut hati yang istimewa tempat negeriku bersandar, ada rasa letih yang dalam. Rasa letih karena telah menertawakan negeriku sendiri. Rasa letih yang sudah terlalu muak dengan tabiat tak bermoral yang pertontonkan orang-orang terhormat. Aku tidak seperti ada dalam dunia city hunter, aku ada di duniaku, di negeriku.

Lembut tapi terasa, ketika ada harapan agar city hunter hadir di negeriku untuk mempermalukan para petinggi yang mencuri hak rakyat itu. Perasaan itu diam-diam menyelinap begitu saja, ketika rasa tak percaya, muak dan lelah pada keadaan negeri ini membuncah.

Terlalu tinggi jika aku berharap bahwa Abu Bakar Siddiq atau Umar bin Khattab lahir kembali untuk menjadi pemimpin negeriku. Mereka terlalu sempurna untuk negeriku yang jiwanya ‘digadaikan’ pada kehancuran. Karena sulit mencari pemimpin, aku hanya berharap negeri ini punya city hunter. Kalaulah boleh, aku hanya ingin city hunter negeriku adalah seorang biasa yang kadang-kadang mungkin minum satu-dua gelas bir dan kadang-kadang tertawa dengan suara yang besar dan ngebut di jlan raya. Seorang biasa yang juga bisa tertarik untuk mencoba hal-hal menyenangkan tapi tak bermanfaat. Seorang yang sangat biasa, namun tahu benar bahwa lapar itu sangat pedih, tahu bahwa miskin itu sakit dan bodoh itu memalukan. Dengan begitu, dia tahu bahwa mengambil hak rakyat untuk hidup sejahtera adalah kejahatan kemanusiaan dan dengan senang hati menangkap para penjahat kemanusiaan itu, walaupun kadang harus memotong jalur hukum. Di sisi lain, aku juga berharap ada jaksa Kim Yong Ju, jaksa jujur yang mati-matian membela hukum dan rakyat. Kalau itu juga tak mungkin, ya sudahlah…