Friday, February 24, 2012

Negeri City Hunter

Semingguan ini, Rika, Icha dan aku sedang gandrung menonton salah satu drama terkenal dari negeri Ginseng, Korea Selatan. Judulnya City Hunter. Menikmati akting brillian Lee Min Ho membuat kami terpana. Sosoknya, wajahnya juga jalan cerita yang luar biasa membuat kami rela duduk berjam-jam di depan layar computer. Bahkan, Rika sampai rela membeli CD nya.

Ada yang menggelitik pikiranku. Pengkhiatan para petinggi Negara dan patriotisme yang diramu secara apik dalam kisah itu, membuatku tertarik. Drama tersebut menggambarkan tabiat para petinggi yang rasanya akrab di telingaku. Mereka mengambil dana pendidikan, kesejahteraan rakyat, pemotongan dana proyek di sejumlah pos pemerintahan, juga negosiasi illegal untuk penunjukkan perusahan tertentu dalam tender-tender Pemerintah atau yang dikenal dengan mafia proyek. Semuanya tergambar seperti sebuah kilas balik yang mengejek dan menertawakan kondisi kebenaran yang tertindas dalam sebuah bangsa yang katanya besar.

Korupsi digambarkan seperti gurita yang menancapkan banyak kaki hingga ke akar birokrasi, menggoyang tatanan demokrasi dan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang lama-lama menjadi biasa dalam kehidupan masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan tak lagi mengganggu, karena masyarakat sudah pasrah untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi yang biayanya amat tinggi dibanding rata-rata nilai pendapatan penduduk. Kelaparan dianggap sebagai dosa pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan Negara. Masyarakat terlalu lelah untuk bersuara, hingga tak kuasa lagi berkata.

Namun demikian, para petinggi itu bisa tersenyum penuh rasa simpati ketika membiacarakan kelaparan dan penderitaan rakyat. Satu demi satu mereka menjual isu kemiskinan dan mempertontonkan penderitaan untuk meraih suara dalam pemilihan legislative maupun eksekutif. Dibelakang acara-acara formal dan diskusi public, mereka justru mulai menghitung berapa besar kekayaan yang didapat dari hasil menjual jiwa bangsanya. Itu yang tergambar dalam negeri City Hunter.

Menggelitik, karena lagi-lagi ada yang akrab di telingaku. Para petinggi yang ditangkap jaksa dalam drama itu, selalu tiba-tiba tak sehat. Hampir semua dari mereka secara bersamaan mendadak kenal dekat dengan dokter dan hobi berkunjung ke rumah sakit. Secara misterius, mereka juga amnesia. Lupa pada kejadian-kejadian yang ditanyakan jaksa. Tabiat yang akrab kudengar lewat tayangan berita malam. Mau tak mau cerita tersebut mengingatkan pada negeriku. Tanah tempatku berpijak yang dalam keadaan sadar, ku tempatkan di sudut istimewa dalam hati. Ya, negeriku.

Kadang geram menyaksikan drama itu, kadang tertawa. Tapi di sudut hati yang istimewa tempat negeriku bersandar, ada rasa letih yang dalam. Rasa letih karena telah menertawakan negeriku sendiri. Rasa letih yang sudah terlalu muak dengan tabiat tak bermoral yang pertontonkan orang-orang terhormat. Aku tidak seperti ada dalam dunia city hunter, aku ada di duniaku, di negeriku.

Lembut tapi terasa, ketika ada harapan agar city hunter hadir di negeriku untuk mempermalukan para petinggi yang mencuri hak rakyat itu. Perasaan itu diam-diam menyelinap begitu saja, ketika rasa tak percaya, muak dan lelah pada keadaan negeri ini membuncah.

Terlalu tinggi jika aku berharap bahwa Abu Bakar Siddiq atau Umar bin Khattab lahir kembali untuk menjadi pemimpin negeriku. Mereka terlalu sempurna untuk negeriku yang jiwanya ‘digadaikan’ pada kehancuran. Karena sulit mencari pemimpin, aku hanya berharap negeri ini punya city hunter. Kalaulah boleh, aku hanya ingin city hunter negeriku adalah seorang biasa yang kadang-kadang mungkin minum satu-dua gelas bir dan kadang-kadang tertawa dengan suara yang besar dan ngebut di jlan raya. Seorang biasa yang juga bisa tertarik untuk mencoba hal-hal menyenangkan tapi tak bermanfaat. Seorang yang sangat biasa, namun tahu benar bahwa lapar itu sangat pedih, tahu bahwa miskin itu sakit dan bodoh itu memalukan. Dengan begitu, dia tahu bahwa mengambil hak rakyat untuk hidup sejahtera adalah kejahatan kemanusiaan dan dengan senang hati menangkap para penjahat kemanusiaan itu, walaupun kadang harus memotong jalur hukum. Di sisi lain, aku juga berharap ada jaksa Kim Yong Ju, jaksa jujur yang mati-matian membela hukum dan rakyat. Kalau itu juga tak mungkin, ya sudahlah…