Thursday, October 20, 2011

Hidup Dengan Kebanggaan

Aku tersentak oleh getaran handphone ku. Satu nama yang sangat ku kenal tampil di layarnya. Papah-koe, begitu huruf demi huruf itu tersusun. Kupandangi sebentar. Sejak tadi, beberapa panggilan dan SMS masuk ke HP ku, tapi aku mengacuhkannya. Kali ini tidak. Sebab, Papah adalah temanku, seperti nisa, seperti ambar, icha dan Erika. Mereka punya arti yang berbeda.

Aku lupa redaksi SMS itu, yang kuingat hanya papah ingin aku bertandang ke ruangannya. Ini pasti soal SMS yang kukirim padanya. Aku juga lupa bagaimana redaksi SMS yang ku kirim, tapi intinya memberitahukan bahwa aku tak bisa ujian dan wisuda.

Saat itu, aku sedang duduk di kursi operator radio Prokom, radio kampus ku. Mencoba untuk bercanda dan tertawa dengan adik-adik tingkat yang sedang nongkrong di sana dan seorang teman yang berprofesi sebagai dosen, sekedar untuk mengembalikan kondisi perasaan yang sempat berantakan. Setengah jam sebelumnya, aku menghabiskan hampir setengah jam paling menghancurkan dalam sejarah pen-didik-anku. Hampir setengah jam aku mengunci diri di WC mahasiswa yang pasti tak harum, hanya untuk menangis meratapi kegagalanku. Gagal ujian dan wisuda.

Jangan tanya mengapa harus WC, karena tentu saja tak ada tempat yang baik untuk menangis di kampus ini. Direktur Pendidikan Tinggi Kemenag mungkin tak pernah berpikir untuk menyediakan sebuah ruangan agar mahasiswa yang sedang mengalami kegagalan sepertiku dapat menangis. Karena tak ada ruang khusus, WC menjadi tempat paling aman untuk menangis. Tak seorang pun akan melihat dan mendengarku di sini, dan satu bak air akan membasuh wajahku usai menangis untuk menghilangkan jejak sedih. Tempat yang sempurna, walaupun bukan tempat yang nyaman.

Aku menangis, ya aku menangis saat itu. Bukan karena aku ingin ujian dan wisuda, tapi aku butuh kedua moment itu. Aku sangat butuh saat itu. Tahun itu adalah waktu yang kujanjikan pada ibuku untuk menyelesaikan kuliah, dan dia sangat ingin menghadiri acara wisudaku. Pada saat sakit kerasnya, dia masih berkata bahwa dia ingin sembuh untuk acara itu. Dia sangat menginginkannya. Lantas, saat dia pergi untuk selamanya, aku masih yakin bahwa aku bisa memenuhi janjiku walaupun tanpa kehadirannya.Justru karena dia tak ada, aku harus memenuhi janji itu.

Waktu wisuda telah dipatok. Entah kebetulan apa, perayaan wisuda bertepatan dengan peringatan 100 hari ibuku meninggal. Aku semakin gencar mengejar moment itu. Ya, aku butuh moment itu untuk memenuhi janjiku, aku butuh untuk mengobati rasa bersalahku, dan aku butuh untuk rasa kehilanganku. Aku membutuhkannya. Sangat membutuhkannya. Bahkan untuk mengejar moment itu, sesaat setelah pemakaman ibuku, aku langsung membuka laptop dan melanjutkan skripsiku. Aku harus menyelesaikannya tepat waktu, bersedih dapat kulakukan setelah skripsiku selesai. Itu yang kupikirkan sambil mengetik. Tapi, ternyata aku kehilangan moment itu. Sebuah keteledoran masa lalu membuat nilai mata kuliahku tak keluar.

Skripsi yang terhitung ratusan halaman, IP yang tiga-delapanan, track record pendidikan yang tak bermasalah yang sempat menjadi modal kepercayaan diriku untuk mengurus nilai, seketika tak berarti apa-apa lagi. Ah, semuanya seperti runtuh di depanku.

Dalam kasus ini, aku tahu dengan baik bahwa aku salah. Sebab, aku jelas melanggar aturan. Aturan yang ada, mahasiswa dapat mengurus nilainya selambat-lambatnya 2 minggu setelah nilai keluar dan ditempel di mading jurusan. Itu aturannya, dan aku tahu betul akan aturan itu sejak awal-awal kuliah. Tapi aku melanggarnya. Aku juga tak mengulang ketika mata kuliah itu diadakan lagi untuk adik tingkatku. Aku justru mengurus nilai itu setelah hampir 3 semester berlalu. Itu tentu sangat keterlaluan. Sangat dimengerti jika nilaiku tak keluar. Tapi, jujur saja, aku kecewa saat itu.

Aku sempat tersenyum nyinyir mengingat setengah jam itu dan tak percaya bahwa aku telah melewatinya. Aku melangkah menuju ruang Papah. Seorang teman ikut bersamaku. Dia punya urusan dengan Papah. Ketika sampai, aku membiarkannya untuk lebih dulu bicara. Entah berapa lama sampai dia mohon pamit padaku dan Papah.

“Saye tak pernah wisuda sampai saye jadi Doktor,” kata Papah.

Dia lalu menjelaskan betapa tak berartinya wisuda. Hanya sebuah pesta perayaan menyelesaikan kuliah, padahal sesaat setelah pesta itu berakhir banyak diantara wisudawan yang kebingungan mencari kerja dengan status sarjananya hingga berakhir dengan sebutan pengangguran kelas atas. Ironi, begitu kami menyimpulkan moment itu. Aku dan Papah beberapakali memiliki pandangan yang sama tentang sesuatu, mungkin karena pemikiran kami yang sedikit abnormal dibanding mainstream. Aku berpikiran yang sama tentang wisuda, tapi kondisinya berbeda. Aku butuh, itu saja. Karena itu, aku tetap saja merasa tergeletak di lantai paling bawah di ruang paling gelap dengan aroma yang pengap. Itu memaksaku untuk sakit.

Kami lalu bicara soal nilai itu. Dia bangga karena aku tidak mengambil jalan pintas yang dilakukan oleh anak-anak bermasalah di kampusku. Menghadap Kaprodi atau Kajur, lalu mendapatkan selembar surat untuk mengurus nilai ke dosen dan dapatlah nilai. Dia bilang, dia benci cara itu. Papah sempat kaget karena mengetahui ada mahasiswa yang ujian, padahal ada nilainya yang nyangkut di Papah.

“Nilai die tak saye keluarkan, entah darimane die dapat nilai tuh. Ngadap saye pun tadak,” begitu kata Papah ngomel. Dia tak suka itu. Dosen punya hak preogatif untuk soal nilai mata kuliah yang diampunya. Dia tak suka cara anak itu, dan tak mengerti bagaimana secara prosedur, anak itu dapat ‘diizinkan’ melakukan cara itu. Hak dosen dilanggar.

Entah bagaimana kabar tentang nilaiku tersiar. Seingatku, aku hanya memberitahu orang-orang terdekat, yang aku tahu pasti tidak akan bocor dari mereka. Tapi, ini kampus. Apa yang tak diketahui disini? Sejak itu, beberapa orang yang cukup populer di kancah birokrasi kampus sempat menawariku jasa untuk membantu bicara pada pak dosen, sebab beliau-beliau kenal baik dengan Pak dosen. Aku menolak. Ini masalah mahasiswa dan dosen, tak lebih dari itu. Pikiranku memaksaku untuk tetap pada jalur seorang mahasiswa, sebab aku seorang mahasiswa bukan birokrat. Aku akan menghadap dosenku, mendiskusikan masalah itu untuk kemudian menunggu keputusannya. Tidak fair rasanya melibatkan orang lain. Tak boleh begitu.

Lalu, aku ditawari cara. Aku disuruh ke rumah pak dosen, biar lebih akrab dan santai. Bersilaturahmi, begitu bahasanya, tentu saja sambil mengurus nilai. Ini pun kutolak. Kupikir, aku kuliah di kampus bukan di rumahnya. Maka, soal nilai juga harus diselesaikan di kampus. Jadi, itu tak boleh. Itu bukan cara seorang mahasiswa, itu cara para politikus. Aku bukan politikus, memanfaatkan suasana kekeluargaan bukan keahlianku.

Karena itu, aku sempat shock ketika tahu bahwa seorang dosenku berinisiatif untuk menghadap Pak Dosen agar dapat membantu mengeluarkan nilaiku. Aku berterimakasih atas kepeduliannya, tapi aku tak mau itu. Jika saja aku tahu, pasti aku akan menolaknya. Aku ingin nilaiku keluar, tapi aku tetap punya batasan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan. Itu penting, begitu Papah sering berkata padaku.

“Jadi, harus ngulang?” Papah bertanya.

“Ho oh, satu semester lagi,”jawabku.

“Tak apelah, sambil sempurnakan agik jak skripsinye.”
Aku tersenyum kecut. Mungkin wajahku lebih terlihat seperti menyeringai daripada tersenyum. Papah pasti melihat kondisi itu.

“Ti, saye yakin suatu saat Yanti akan jdi orang yang sukses. Karena itu, siapkan dari sekarang, jangan buat celah yang orang bise meragukan kualitas Yanti. Yanti bise lewat jalan pintas macam budak-budak tu, tapi suatu saat orang-orang akan ngomong, ’Budak tu dulu mintak-mintak nilai.’ Kalo macam itu, ape artinye?” kata Papah sambil menatapku tajam.

“Hidup dengan kebanggaan itu penting, Ti. Itu jaminan atas kualitas kite. Orang tak bise meragukannye,” begitu Papah memberiku semangat. Dia katakan dia bangga padaku. Hari itu, Papah menjadi satu-satunya orang yang mengatakan bahwa dia bangga padaku walaupun aku gagal. Aku merasa benar dengan apa yang tidak aku lakukan dan aku merasa benar dengan apa yang aku pilih. Saat itu aku berharap sekali bahwa ibuku akan mengatakan hal yang sama dan aku yakin itu. Setelah hari itu, sahabatku-sahabatku yang lain juga datang untuk menepuk punggungku seraya tersenyum.

Setahun berlalu. Kini moment wisuda kembali. Mahasiswa berbondong-bondong mendaftar ujian agar dapat wisuda tahun ini. Aku tidak menjadi bagian dari mereka. Aku telah ujian beberapa bulan lalu. Nilaiku dulu telah keluar seiring berlalunya semester. Ujianku terbilang cukup baik dengan nilai yang konon katanya cukup maksimal. Badai telah berlalu, begitu aku menyebut diriku.

Beberapa hari lalu aku kaget dengan cerita temanku tentang nilainya. Gadis cantik yang imut-imut itu satu angkatan denganku. Nilainya bermasalah sama sepertiku dulu dengan dosen yang sama pula. Wow, kau lebih berani dariku, kawan. Aku saja ditolaknya setahun yang lalu, apalagi kamu yang lebih lama setahun dariku,begitu pikirku.

Temanku itu lalu menanyakan pengalamanku sebagai mantan mahasiswa bermasalah. Aku mendukung keinginannya untuk mengurus nilai itu, tapi berkaca dari pengalaman, aku memintanya agar tak berharap banyak. Begitulah pertemuan kami.

Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar bahwa nilainya keluar, walapun tak maksimal. Dia menghadap ke Ketua Jurusan untuk mendapatkan surat rekomendasi agar dosen dapat mengeluarkan nilai. Aku senang, tapi jujur saja, aku juga terkejut. Satu sudut gelap hati manusiaku merasa harus mempertanyakannya. Apalagi, untuk mengurus semua itu, dia hanya butuh waktu beberapa hari, tak sampai seminggu. Lalu, temanku melenggang ke ruang ujian. Sifat sombongku muncul, aku merasa skripsiku lebih baik, IP ku lebih tinggi, sejarah kuliah dan aktivitas kampusku lebih baik, pilihanku lebih benar. Tapi, apa begini? Ah, ternyata ada lampu yang mati di satu sudut hatiku.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar bisik-bisik tentang temanku dan nilai itu. Tak sedap juga didengar. Ujiannya tak begitu baik, beberapa penonton menghubungkannya dengan nilai yang tak genap prosesnya. Aku terdiam. Sesuatu yang sesaat tadi terhimpun di sudut hati yang mati lampu. “Hidup dengan kebanggaan” begitu istilah Papah. Pasti akan terasa berat, tapi jangan memberi celah agar orang dapat meragukan kualitas kita. Itu yang tadi aku lupa.

Ah, jariku terasa gatal untuk mulai memencet keypad HPku. Ingin mengirim pesan singkat pada Papah. Tak banyak yang ingin ku tulis, hanya ingin bilang “Pah, terimakasih telah membantuku untuk memilih sesuatu yang benar dan terimakasih untuk bangga padaku”. Terimakasih, Pah, dan terimakasih untuk ssahabat-sahabatku yang selalu percaya pada jalan yang kupilih. . .

Wednesday, October 5, 2011

Wisuda

Aku tak mau wisuda. Tidak salah'kan? Aku tidak salah, tentu saja. Aku mungkin berbeda, tapi aku sangat yakin bahwa aku tidak salah. Ini hanya soal pilihan. Aku hanya tak mau repot memakai kebaya dan kain songket atau batik, untuk kemudian menutupnya dengan jubah besar wisuda, hingga kebaya dan kain yang susah payah dipakai itu justru tak kelihatan.

Aku hanya tak mau memakai kasut high heels yang mungkin akan membuat kakiku sakit semalaman. Aku juga tak mau memakai make-up tebal yang dapat membuatku tidak menikmati makan dan minum selama acara berlangsung.

Aku hanya tak ingin menjadi boneka pada hari itu untuk sebuah kebanggaan menjadi sarjana. Pesta yang digelar untuk merayakan lahirnya seorang intelektual baru, lalu sejam kemudian menjadi pengangguran berintelektual.

Aku hanya tidak mau.

Sejak awal, aku tak mau wisuda. Aku ingin meraih gelarku, tanpa harus berjalan menuju altar suci itu. Tanpa harus disebut namaku, lalu menunduk agar pemegang gelar tertinggi di kampus dapat memindahkan seutas tali di atas topi yang ku pakai. Pindahnya hanya 2 cm saja, tak lebih dan tentu saja masih nangkring di topi. Aku sendiri bisa memindahkannya lebih jauh.

Mungkin Tuhan mendengar ocehan2ku, hingga aku tak dibiarkannya untuk wisuda tahun lalu, saat aku benar-benar membutuhkan moment itu. Aku butuh, bukan mau atau ingin.
Lalu saat ini, aku lagi-lagi harus menghadapi moment wisuda. Sekali lagi, aku tak mau wisuda.

Tapi apa aku punya pilihan? Benar kata Nas, di luar sana ada orang yang pegang kendali. Aku tidak berhak memutuskan sendiri, ada yang juga memiliki hak atas moment itu. Bahkan, dia memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan hak yang kumiliki. Dan kemungkinan besar, aku harus wisuda karenanya.

Ingin sekali bisa seperti Prince Moon Seong yang tidak datang dalam pesta pertunangannya, karena dia memang tak menginginkan pertunangan itu. Meskipun, setelah itu dia harus menanggung banyak resiko. Ingin juga seperti Oscar yang meninggalkan pasukan kavaleri istana dan lebih memilih memimpin pasukan rakyat Perancis dalam revolusi th. 1789. Walaupun akhirnya dia harus tewas.

Ingin sekali menolak moment itu, sangat ingin. Tapi, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Aku tidak sedang berhadapan dengan pesta pertunangan yang tidak diinginkan. Aku juga tidak sedang berperang untuk membela rakyat yang didzolimi. Aku hanya sedang berhadapan dengan suatu moment yang ditunggu-tunggu oleh para sarjana yang belum di’baptis’, suatu moment yang seakan-akan lebih legal dibanding ijazah sarjana sendiri. Moment yang sangat ditunggu dan akan menjadi yang paling dikenang. Lalu ada apa denganku? Entahlah, aku hanya tak mau wisuda. Sebab, aku tahu pasti, beberapa jam itu pasti akan sangat menyiksak. Sangat menyiksaku, tapi tetap saja harus kulakukan...

Tuesday, September 27, 2011

Bicara pada Luka

Luka...
Aku sedang menikmatimu
Perihmu yang merajam ulu hatiku
Tetes darahmu dan goresan yang kau toreh di dinding hatiku

Luka...
Aku masih menikmatimu
membiarkan pedihmu menebarkan siluet merah di sudut-sudutnya
Terus menikmatimu

Luka...
Aku bicara padamu
Katakan semua tentangmu
Dan tentang kesakitan itu

Tahukah kau...
Kini aku mengundangmu untuk datang padaku
Jangan ragu untuk melukaiku

Karena aku akan menertawakanmu
Menertawakan perihmu yang tak mampu membelenggu kebebasanku
menghinakan pedihmu yang malah menegakkanku
Aku akan mengejek kelemahan goresanmu

Luka...
datanglah padaku tanpa ragu
Karena, ketika kau tebarkan kesakitan dan perih itu
Aku akan mengajarimu tentang arti bertahan dalam kehidupan

Saturday, September 24, 2011

Ruang Kenangan Itu...

Semua hal akan berubah dalam kehidupan ini, takkan ada yang tetap seiring waktu yang berlalu. Meskipun demikian, ada hal-hal yang tak pernah tergantikan.

Desir halus itu menelusuk diam-diam di hatiku. Terpaku sebentar, hingga tak beriak darah ini untuk sejenak. Ruangan ini telah berubah. Kursinya bertambah banyak, dan ditempati oleh wajah-wajah sumringah yang bersemangat. Aku masih berdiri di depan pintu. Dulu, tak banyak kursi di sana, seingatku hanya ada beberapa. Di sana, ada tempat dudukku.

Aku menoleh sejenak pada mereka yang ada di sampingku. Tampaknya, mereka juga sepertiku. Terpaku sebentar. Aku mengingat bahwa kami-lah yang biasa bercengkerama di situ. Tertawa, bercanda, dan adakalanya kami berlinang air mata di tempat itu. Tempat itu tak selalu indah. Kami juga pernah bertengkar, hingga rasa sakit menusuk-nusuk hati untuk beberapa waktu. Entah bagaimana, tempat itu lagi-lagi mempersatukan kami. Itulah tempatnya, tempat kami yang kini jumlah kursinya bertambah banyak.

Aku masih berdiri di depan pintu, ada perasaan takut untuk masuk ke dalam. Aku ingin sekali melihat, apakah kursiku masih ada di sana. Tapi, kakiku bersikeras untuk berhenti di depan pintu. Diam-diam, aku pergi dari ruangan itu.

Entah sejak kapan, seorang anak yang duduk di ruangan itu mengikutiku keluar. Dia tersenyum ramah, dan berusaha untuk bicara padaku.

“Kenapa pergi?” tanyanya polos.

“Aku?” kataku.

“Iya, kamu. Kenapa pergi? Ayolah, masuk dan bergabung bersama kami,” katanya tersenyum.

“Aku? Aku hanya datang untuk melihat ruangan itu, karena sudah beberapa waktu aku tidak ke sana.”

“Tapi, di sana masih ada tempatmu. Kamu bisa bergabung bersama kami. Aku biasa mendengar tentangmu yang sering bermain di sana. Di dinding ruangan itu masih ada pahatan namamu,” katanya menjelaskan.

“Apakah kursiku masih ada di sana?” tanyaku.

Dia kemudian menatapku dengan wajah yang memancarkan rasa bersalah. Suaranya berubah sendu. “Aku tidak mengambil tempatmu. Kursimu masih ada di tempatnya, bahkan aku tak menyentuhnya. Aku hanya duduk di sampingmu, aku berharap suatu saat kita akan bermain bersama di sana. Jika kamu merasa tak nyaman dengan keberadaanku, mungkin aku bisa pergi,” katanya lagi. Dia menunduk .

Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Anak itu tentu tak berniat jahat, dia memang tak bermaksud mengambil kursiku. Dia mungkin justru menjaganya. Aku tersenyum menatapnya.

“Aku tahu dan aku tak menyalahkanmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa ruangan yang berharga itu baik-baik saja dan aku merasa tenang karena kamu berada di sana untuk menjaganya. Aku hanya merasa bahwa waktu telah banyak berubah,”

“Kamu marah dengan perubahan itu?” tanyanya.

“Di dunia ini, ada sesuatu yang tidak akan pernah tergantikan, tapi tak ada yang tidak berubah. Ruangan itu adalah hal yang tidak akan pernah tergantikan buatku, tapi seiring waktu aku tidak bisa selalu berkunjung ke sana. Aku senang kamu di sana dan menjaganya, melakukan apa yang tak bisa lagi aku lakukan. Aku memang sangat cemburu, tapi bukan karena aku membencimu dan bukan karena kamu. Perasaan itu tak ada kaitannya denganmmu. Aku cemburu, karena tempat itu sangat berharga bagiku. Dia mengajarkan banyak hal tentang cita-cita, persahabatan dan optimisme. Tempat itu tetap sangat berharga dan akan selalu seperti itu.”

“Kalau tempat itu berarti bagimu, kenapa tak masuk dan bermain bersama?”

“Tempat itu telah mengajarkanku cara menapak, dan saat ini tiba waktunya aku untuk mulai melangkah. Aku ingin melihat berbagai macam tempat, agar aku bisa lebih banyak belajar tentang kearifan. Karena itu, saat ini aku harus berada di tempat yang lain. Tempatku bermain, kini menjadi tempat bermainmu, maka bermain dan belajarlah dengan baik. Akan banyak pelajaran yang kamu dapat di sana,”

“Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu tidak akan ke sana lagi?”

“Aku akan tetap ke sana nanti. Bukankah kursiku dan teman-temanku masih ada di sana? Aku akan tetap bersahabat dengan tempat itu sampai kapanpun. Keberadaanmu atau siapapun tidak akan mengubah itu. Jadi jangan merasa bersalah padaku,” jelasku padanya. Gadis itu tersenyum. Raut wajahnya tak lagi sendu.

“Kembalilah ke ruangan itu, karena aku juga akan kembali melangkah ke berbagai tempat. Aku masih harus belajar banyak, begitu juga denganmu.” Kataku lagi.
Mata anak itu berbinar, dia kemudian berbalik dan berjalan menuju ruang kenanganku. Dari jauh, aku melihat pintu ruangan itu terbuka dan memancarkan cahaya biru yang lembut dan hangat. Cahaya yang berasal dari hati ruangan yang penuh dengan persahabatan dan ketulusan. Aku melangkah membelakangi ruangan itu. Sayup-sayup terdengar suara tawa yang renyah.

Aku tersenyum sambil terus melangkah. Ruangan itu mungkin tak lagi sepenuhnya milikku dan teman-temanku, sebab sudah banyak kursi lain di sana. Namun, ruangan itu telah memberikan kekuatan yang besar pada kakiku untuk melangkah. Dia mempersiapkan sepasang kaki yang kuat agar aku bisa mengejar mimpiku dan sepasang kaki yang kuat agar suatu saat aku bisa kembali mengunjunginya. Ada banyak hal yang akan berubah di dunia ini karena waktu, tapi ada hal yang tidak akan pernah tergantikan, sekalipun oleh waktu…

Wednesday, September 21, 2011

Dalam Secangkir Teh


Jangan main-main pada secangkir teh, karena minuman cantik itu mengandung perasaan orang yang membuatnya. Itulah ungkapanku tentang teh. Entah karena telalu suka pada teh, atau factor lain, aku selalu merasakan bahwa rasa yang terkandung dalam secangkir teh selalu dipengaruhi perasaan si pembuat. Karena itu, tak heran kalau setiap kali menikmati secangkir teh, aku akan merasakan rasa yang berbeda, meskipun teh dan gula yang digunakan sama.

Aku menyukai rasa teh yang ku buat saat sendirian dengan perasaan yang agak sedih tanpa rasa marah. Kesedihan tanpa rasa marah itu hanya akan timbul saat aku mengingat orang-orang yang ku saying, namun telah pergi sangat jauh. Rasa secangkir teh itu lebih lembut, sangat lembut. Aku suka sensasinya ketika melewati lidahku, kemudian meluncur ke tenggorokan dan terus hilang perlahan-lahan. Sangat perlahan, hingga aku merasa harus sekali lagi mereguk isi cangkir itu. Berulang-ulang, hingga aku tak sempat berpikir, bahwa secangkir teh ku telah habis…

Aku tak begitu menyukai teh yang ku buat saat terlalu gembira. Rasa manisnya lebih kental, rasa pahit teh yang khas itu lenyap begitu saja. Aromanya menjadi manis, bukan lagi aroma teh yang tenang. Saat melewati kerongkongan, ada yang “menyelekit” di sana. Dengan cepat, aku akan merasa sangat bosan menghabiskan secangkir teh di depanku. Kalau sudah begitu, aku lebih memilih minum susu Dancow putih yang tanpa rasa itu, untuk menetralisir rasa manis yang menyelekit.

Aku juga tak begitu menyukai teh yang dibuat saat marah. Semua rasa yang terkandung dalam secangkir teh itu terlalu kuat. Semuanya seolah berlomba-lomba untuk mendominasi satu dengan yang lain. Aroma teh yang nikmat itu tentu saja lenyap. Dia paling sensitif. Tidak di semua cangkir teh akan kau temukan aroma teh yang menyegarkan itu, Apalagi dalam secangkir teh ‘marah’. Setelah sedikit menampar lidah, dia akan meremas kerongkongan untuk kemudian pada akhirnya mengoyak kulit lambung… uhg…

Tapi pada akhirnya, teh adalah teh, secangkir minuman yang kerap diminum untuk melepas lelah, cemas, takut, sekedar untuk meredakan perasaan rindu, atau menambah manis senyuman bahagia. Secangkir teh mungkin mewakili segenggam perasaan pembuatnya, tapi mungkin juga mengobati perasaan, karena dalam secangkir teh larut semua perasaan.

Tuesday, September 20, 2011

Kami Cemburu

Cemburu, itulah kata yang pernah diucapkan dua orang temanku. Sedangkan aku tak mengucapkannya, tapi merasa. Bagaimana tidak, Abi-merka sekarang lebih dekat dengan mahasiswanya yang baru. Di kantor Abi, selalu ada beberapa mahasiswa ‘terdekat’nya. Aku juga sewot. Di kantor Papah-ku mereka juga selalu nangkring. Abi-nya kedua temanku dan Papah-ku adalah orang yang sama. Kami memanggilnya dengan sebutan berbeda. Kedua temanku yang pertama memanggilnya dengan sebutan Abi. Aku memilih memanggilnya Papah, sedangkan seorang teman lain memanggilnya Ayah.

Sampai saat ini, kami tengah sewot, karena Abi-mereka, Papah-ku dan Ayah-dia sedang banyak penggemar. Mahasiswa-mahasiswa baru lengket pada Abi-Papah-Ayah (APA) kami. Tak terlalu berlebihan memang, sebab APA memang pandai memotivasi orang lain dengan membakar semangatnya. Tak lama mereka semua akan berkarya seperti APA. Kami juga pernah merasakan saat-saat itu.

Nah, yang buat sewot, sekarang mahasiswa-mahasiswa baru itu lah yang dimotivasi APA. Mereka hampir selalu di dekat APA. Mereka bicara di depan kami juga sebagai mahasiswa ‘terdekat’ APA. Beberapa di antaranya bercerita soal betapa baiknya APA, betapa mereka termasuk mahasiswa yang diperlakukan istimewa oleh APA, dll. Aih. Gubrak... Ah, kami lebih tahu APA, begitu seolah-olah mereka berkata. Aih.....

Lucu, memang.... Karena tentu saja kami berempat terdengar seperti anak kecil. APA sangat istimewa untuk kami. Selain dosen, kami sudah menganggapnya sebagai sahabat kami. Seringkali kami bicara tidak sebagai dosen dan mahasiswa, tapi lebih sebagai sahabat yang berbagi cerita. Itulah hal yang paling kami ingat dari APA.

Saat ini, kami berempat sudah tentu tak bisa seperti dulu lagi, selalu ada di dekat APA dan bercanda, juga mengerjakan semua tugas dari APA. Sebab, aku dan teman-teman sekarang sedang menyiapkan jalan untuk kami lewati menuju masa depan. APA tahu itu dengan baik, karena itu juga APA tak pernah menanyakan pada kami mengapa hampir tak pernah menemuinya. Yah, APA menyikapinya dengan dewasa. Tidak demikian dengan kami yang tetap saja tak rela tempat kami sebagai ‘anak-anak’ APA digantikan, meskipun dengan adik-adik kami sendiri.

Yah, sekali lagi, pasti terdengar seperti anak kecil. Tapi, seperti itulah. Sampai detik ini, kami masih merasa bahwa anak-anak APA cuma kami saja. Tidak yang lain.
Dengan (sedikit?) narsis, kami merasa bahwa kami tetap ‘anak-anak’ APA yang tak tergantikan. Sama seperti APA yang tak tergantikan di hati kami. Sebab, hati kita seperti sebuah rumah. Setiap orang dapat saja berkunjung dan duduk di dalamnya. Namun, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kamar di rumah itu. Sekali tinggal di dalamnya, tidak akan ada yang pernah menggantikannya. Di hati APA akan selalu ada kamar kami yang tidak (akan) ditinggali oleh siapapun selain kami. Dia tetap Abi-mereka, Papah-ku dan Ayah-dia. Milik kami berempat...

Darah Kita dan Hidup Mereka


“Yan, kwn sye kecelakaan. Kplanye bocor, nak dioperasi n btuh darah. Di PMI habis”. Begitulah sebuah SMS yang tiba-tiba masuk ke nomor HP saya. Saat itu sekitar pukul 08.00 malam, saya baru saja pulang ke rumah setelah seharian berkutat dengan bangku kuliah dan dilanjutkan dengan berjam-jam di meja operator warnet tempat saya bekerja. Saya kemudian beranjak dari tempat tidur dan meneliti nomor pengirim. Nama Puji tertera di sana.

“Gol. ape?” balas saya.

“O. Bentar agek sy jmput ke rumah. kite skalian nyari dnor. Hub kwn2 yg laen,” katanya lagi.

Saya segera mencuci muka dan mengganti baju yang seharian melekat di tubuh. Tak lama, suara motor Puji menderu di halaman rumah. Saya segera keluar dengan menenteng tas ransel kesayangan dan menggenggam Hp butut biru tercinta sambil memencet nomor kawan-kawan untuk menghubungi mereka soal darah. Malang, saat itu banyak teman-teman yang sedang di luar kota karena program Kuliah Kerja Lapangan (KKL).

Saya dan Puji berunding tentang kami harus kemana. Beberapa kali keluarga si korban kecelakaan menelpon Puji, sekedar untuk berkonfirmasi tentang keberadaan beberapa kantong darah yang mereka perlukan. Menurut Puji, temannya itu bukan berasal dari Kota Pontianak. Dia dan keluarganya tinggal di Kabupaten Sanggau yang berjarak ratusan kilometer dari ibu kota provinsi Kalbar ini. Mereka nyaris tak punya kerabat di sini. Saya dan Puji cukup memaklumi kekhawatiran mereka, apalagi si korban kecelakaan adalah anak lelaki tertua dalam keluarganya.

Kami berdua lantas membelah malam dengan deruan motor Honda Astrea butut bersejarah itu. Hujan gerimis malam membuat baju kami sedikit basah sekaligus menciptakan suasana temaram ketika ditimpa sinar lampu jalan yang sedikit redup. Tak hanya kami, teman-teman karate Puji yang juga teman si korban kecelakaan itu, juga sedang menembus hujan malam yang sama entah di sudut mana di kota Khatulistiwa ini. Tujuan kami sama, membawa kepastian tentang beberapa kantong darah yang sedang ditunggu di ruang operasi. Sementara itu, pesan via SMS terus beredar.

Saya tiba-tiba teringat warnet tempat saya bekerja. Warnet itu tak sekedar tempat berselancar di dunia maya, tapi juga tempat berkumpulnya ide-ide brilian para aktivis muda. Beberapa dari mereka sering mendonorkan darahnya, bahkan ‘kecanduan’ untuk mendonor sehingga punya kartu donor di PMI. Puji segera memutar arah motornya. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai di halaman depan warnet.

Saya segera masuk. Beberapa teman menyambut saya keheranan, karena baru sekitar sejam yang lalu saya pamit pulang dengan wajah lusuh. Saya masuk ke ruang tengah. Beberapa kawan sedang main game dan beberapa lagi sedang mengurusi CPU yang rewel.

“Bang ade yang darah O tak? Kawan kamek kecelakaan nak operasi tak de darah di PMI,” kata saya cepat. Beberapa di antara mereka bergolongan darah yang sama. Sayang, seorang sudah donor beberapa hari yang lalu, hingga tak mungkin memberikan darahnya. Sisanya segera ikut kami ke PMI. Di PMI kami bertemu dengan pendonor lain hasil dari pesan via SMS dan perjalanan kawan-kawan.

Dari beberapa orang teman saya, hanya satu orang yang bisa memberikan darahnya. Yang lain ditolak oleh petugas karena berbagai alasan, yaitu HB darahnya rendah atau tekanan darah yang tidak normal. Belakangan, saya baru tahu bahwa ada yang tak pernah donor darah hingga saat diperiksa dia bahkan hampir pingsan.

Semua mengucap syukur karena jumlah darah yang diperlukan berhasil dikumpulkan. Teman-teman pun pamit pulang untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Saya dan Puji segera meluncur menuju rumah sakit dengan perasaan senang. Paling tidak, kami bisa mengatakan pada ibu si korban bahwa ada darah yang tersedia untuk anaknya. Puji bilang, sang ibu sempat tak bisa bicara karena terlalu syok atas kecelakaan anaknya apalagi ditambah kabar bahwa persediaan darah di PMI habis.

Kami sampai di rumah sakit dan Puji mengabarkan berita gembira itu pada keluarga korban. Mereka tampak bersyukur. Kami duduk bersama dengan keluarga korban. Tapi, saya merasa ada sesuatu yang mengganjal setelah perjalanan panjang ini. Ah iya, saya lupa mandi. Lalu perut saya lapar. Saya lantas menyikut perut Puji dan mengajaknya pulang. Semangkuk bakso hangat di perjalanan pulang ternyata membuat saya kembali berstamina.

“Yan, name kawan saye tuh Imam,” kata Puji ketika kami hendak berpisah di halaman rumah saya.

“Ha?”

“Saye belom ngasi tahu Yanti name kawan saye tadi ‘kan? Nah, namenye Imam,” katanya menjelaskan.

“Oh, iye ye,” kata saya lagi. Saya lupa menanyakannya, karena saya juga tak berpikir menanyakannya. Teman-teman saya yang mendonorkan darahpun tak juga menanyakan kepada siapa mereka memberikan darahnya. Toh, darah itu milik Tuhan.

Beberapa tahun kemudian di rumah sakit yang sama, giliran saya yang berurusan dengan darah. Ibu saya yang mengidap penyakit cirocis hati harus melakukan tranfusi darah, karena tekanan dan HB darahnya yang menurun drastis jauh di bawah normal. Ibu butuh 3 kantong darah. Saya tak ingat berapa cc. Dokter sudah menghubungi PMI, tapi persediaan di sana habis. Saya dan saudara-saudara saya bersedia untuk donor. Ternyata, kakak dan abang saya tak bisa donor, karena mereka mengidap penyakit typus. Saya gugur di pemeriksaan tekanan darah, karena memang berhari-hari nyaris tak tidur. Maka, kami segera menghubungi semua orang yang kami kenal untuk donor.

Beberapa menit di PMI, saya merasa nyaris mati, karena belum ada pendonor yang datang. Tiba-tiba beberapa SMS masuk sekaligus ke HP saya.

“Yan, saye bawa rombongan. Agk di jln. Tunggu ye,” pesan dari seorang teman itu membuat hati saya lega. Saya ingin menangis ketika beberapa menit kemudian, para donor kemudian berdatangan. Saya tak tahu berapa banyak. Bahkan ketika tiga kantong darah itu terkumpul, masih ada yang datang ingin mendonorkan darah. Sungguh membuat saya bahagia. Mereka teman-teman, kakak dan adik-adik tingkat saya di kampus dan luar kampus. Sebelumnya, saya tak terlalu dekat dengan beberapa di antara mereka. Kami sekedar bertegur sapa dan berbagi senyum ketika bertemu, bahkan beberapa orang saya tak tahu namanya. Tapi menjadi kebahagiaan yang luar biasa, karena hari itu saya menyaksikan mereka mau berbagi hidup dengan ibu saya, wanita yang tak pernah mereka temui. Tiga kantong darah berhasil dikumpulkan. Saya kembali ke rumah sakit. Besoknya, kami mengambil 2 kantong untuk keperluan medis ibu. Satu kantong masih di PMI. Kondisi ibu semakin melemah. Dokter belum bisa memberi aba-aba untuk melakukan tranfusi ke tiga karena kondisi yang tak memungkinkan. Sampai akhirnya, ibu saya meninggal.

Saya teringat satu kantong darah yang tersisa di PMI. Ternyata abang saya sudah mengurusnya. Ketika kondisi ibu kami semakin lemah, dia telah menghubungi PMI agar memberikan sekantong darah itu pada siapapun yang membutuhkan. Kami tak tahu pada siapa darah itu diberikan. Kami juga tak perlu tahu. Saya teringat kejadian beberapa tahun lalu ketika teman saya yang mendonorkan darahnya tak bertanya pada siapa dia memberikan darah dan itu seringkali terjadi. Kita memang tak harus selalu tahu pada siapa kita memberikan darah. Toh, darah adalah milik Tuhan. Kita hanya harus tahu bahwa dalam darah kita yang sedang mengalir ini, ada hidup orang lain yang dititipkan di sana. Sampai saatnya tiba, darah itu memang harus dikembalikan untuk menebus hidup, siapapun orangnya.

Tuesday, January 18, 2011

Engkau dan Kenanganmu

Buliran ini tak cukup untuk mengatakaan betapa aku merindukanmu
Karena itu aku tak akan menangis saat mengingatmu
Air mata itu hanya menjadi bukti kelemahanku atas dirimu
Yang selalu kau takutkan berlaku padaku

Seperti yang slalu kau ucapkan setiap pagi mengintip lewat jendela kamarku
Bahwa matahari telah menungguku di luar pintu
Bernafas dan bertanya dengan muka geram pada langkahku yang lamban
“Apa yang dapat kau lakukan hari ini, hai Nona Pemalas?”

Lalu hangat kamar dan aroma lelap yang mengundang lena
Masih menggelayuti geliat tubuh yang enggan beranjak
Derap langkah penjunjung kerjamu memberontak pada lantai-lantai yang bahkan belum hangat
Menyingkap tabir jendela yang membentengi cahaya

Seperti yang selalu kau katakan pada cahaya pagi yang menerobos
“Renggutlah lenanya dan kembalikan dia pada nyata, lalu sadarkan dia akan terjangan waktu yang tak sudi menunggu”
Senyummu mengembang ketika titik cahaya membelalakkan retinaku dan aku mulai membuka pintu untuk menjejakkan kaki di lantai-lantai yang beeku

Dan, pagiku telah tercipta
Tapi, bukan waktu yang mereka teriakkan karena matahari telah nampak
Pagi adalah waktu yang aku definisikan
Yaitu saat kau berhasil menceraikanku dari hangat tilam dan terdengar derit langkahku yang tergesa-gesa, karena setiap sudut dunia kecilku dipenuhi bulir cahaya.

Kini pagiku telah berlalu bersama tabur bunga di makammu
Tapi air mata tak dapat membentuk pagi yang sama


At the first night without you