Wednesday, September 3, 2008

Ayo Menulis !




Membayangkan harus mengerjakan sebuah tulisan bukanlah hal yang menyenangkan untuk sebagian orang. Apalagi yang tidak terbiasa dengan aktivitas menulis, tentunya menjadi sebuah mimpi buruk yang menghantui. Dalam bayangan mereka, menulis merupakan rangkaian proses yang besar dan sangat panjang, mulai dari memikirkan ide, mengumpulkan fakta-fakta sampai menuangkannya dalam kalimat-kalimat. Jika demikian, jangankan untuk menulis, memikirkannya saja dapat membuat seperempat dari komposisi otak terasa begitu lelah. Alhasil, tal ada satu kalimatpun yang berhasil di selesaikan, kepala terasa pusing, dada menjadi sesak karena putis asa. Satu-satunya penyelesaian adalah bangun dari duduk, lalu ngeloyor pergi meninggalkan monitor computer yang pasrah membisu.

Tapi tahukah anda, sebenarnya menulis tidaklah serumit yang seringkali dibayangkan oleh banyak orang yang gagal menulis. Menulis itu adalah sebuah proses yang sangat sederhana, bahkan menyenangkan. Pernahkah anda membayangkan ada seorang teman yang begitu dengan sabar mendengarkan semua pembicaraan anda tanpa menyela satu kalipun ? atau seseorang yang mau menampung semua pikiran, dan perasaan anda tanpa protes sedikitpun ? Yah, mungkin ada, tapi rasanya sulit untuk menemukan orang-orang seperti itu.

Jangan khawatir, jika anda tak menemukannya, maka cobalah untuk menulis. Syaratnya, jangan biarkan otak anda dibodohi oleh perasaan malas dan sugesti bahwa menulis itu sulit. Persoalan dalam menulis hanyalah ‘apakah anda mau memulainya ?”. Jika anda menjawab ‘iya’ maka anda sudah membuat sebuah keputusan besar dan telah menyelesaikan masalah paling rumit dalam aktivitas menulis. Nah, selanjutnya hanyalah apa yang ingin ditulis. Bagi pemula jangan dulu membayangkan bahwa anda akan menulis catatan pinggir sebaik Gunawan Muhammad, cerpen seluwes Helvy Tiana Rosa, atau syair seimajinatif Chairil Anwar.

Namun, cobalah menulis dari hal-hal yang paling kecil dan dekat dengan kehidupan. Menulislah dengan hati. Tulis apasaja yang sedang anda rasakan, mungkin lebih tepat seperti sebuah buku harian. Jangan pedulikan dulu kaidah-kaidah yang membuat kepala mumet dengan aturan-aturan baku, tapi biarkan ide itu menjalar dengan perlahan dan santai, hingga dengan sendirinya membuat jemari menari indah diatas keyboard.

Aku kehilangan ide yang tadinya menumpuk-numpuk di kepalaku. Sebenarnya aku ingin menulis sebuah artikel yang bagus, tapi entah kenapa semuanya hilang begitu saja. Selain itu aku memang sedang kekurangan bahan untuk menulisnya, sudah beberapa hari ini, tak ada sebuah bukupun yang berhasiul kuselesaikan. Sebuah prestasi, ya, prestasi di puncak kemalasan seorang mahasiswi yang hamper benar-benar tersungkur dalam kemalasannya. Ironisnya, mahasiswi itu adalah aku.”

Jangan malu, menulis saja seperti itu. Tulisan yang demikian tidak menuntut penulisnya untuk berpikir keras, hanya sekedar menuliskan apa yang dirasakannya menjadi rangkaian kalimat, tepatnya seperti bicara atau bergumam. Tak perlu merasa rendah diri karena baru mampu menulis seperti buku harian. Malah tulisan-tulisan tersebut sangat penting untuk membiasakan diri menungakn ide dalam bentuk tulisan. Tulis saja apapun yang dilihat, didengar atau cita-cita yang diimpikan. Dengan begitu, anda telah membiasakan diri untuk akrab dengan bahasa tulis, sedikit-demi sedikit kepekaan anda dalam merangkai kalimat akan terbentuk dan terasah.
Jika anda mau berpikir sedikit lebih rumit, maka berpetualanglah. Kaitkan apa yang dirasakan dengan kondisi lingkungan masyarakat, keadaan politik atau ekonomi. Bebaskan saja otak untuk melakukan tugasnya. Jangan bebani dengan obsesi-obsesi lain. Apa yang dilihat atau didengar, tuangkan saja untuk melanjutkan tulisan yang telah dibuat.

“ Malas. Kata itu cukup sederhana, hanya berjumlah lima huruf, namun kata itu sangat mematikan, dan dapat melumpuhkan sebuah bangsa. Bayangkan saja, jika semua pemuda negeri ini mengatakan bahwa mereka malas menuntut ilmu, malas belajar dan berkerja membangun bangsa, apa yang akan terjadi ? Kehancuranlah yang akan menanti diujung perjalan bangsa ini. Padahal, pada hakikatnya pemuda adalah ujung tombak kemajuan masyarakat sekaligus sebagai pemegang panji-panji kepemimpinan Negara. Sejauh ini, racun malas telah membuktikan kebisaannya pada Indonesia. Banyak berita di TV dan Koran yang mengisahkan bagaimana oknum wakil-wakil rakyat merasa malas untuk memikirkan nasib bangsanya, sehingga mereka lebih memilih korupsi dari pada harus ikut-ikutan menderita bersama rakyat negeri ini. Lalu, para seniman yang malas melewati perjuangan panjang untuk sukses, sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan tampil habis-habisan seksi agar mendapat banyak penggemar, meskipun kualitas seninya masih diragukan. Semuanya berawal dari malas.”

Sekarang tulisan itu tak sekedar sebuah ungkapan bahwa si penulis sedang malas, tetapi ada unsure lain yang mengikutinya. Penulis menjelaskan bahwa rasa malas menjadi sebuah awal dari kehancuran. Dia menjabarkannya dan mengakaitkannya dengan kondisi lingkungan masyarakat. Ada kepedulian dan pesan-pesan moral yang ingin disampaikan lewat tulisan itu. Sehingga tulisan yang awalnya sangat sederhana semakin berkembang menjadi bentuk lain yang lebih dari sekedar catatan harian.
Membuat tulisan sama seperti menyusun puzzle. Semakin anda mendapatkan kepingan-kepingannya, akqn semakin dibuatnya penasaran. Begitu pula dengan menulis. Semakin anda masuk ke dalamnya, maka akan banyak hal yang ditemui, tapi justru membuat anda merasa kurang. Anda tidak dapat berhenti sampai di situ saja, anda akan semakin tertentang untuk membuat bentuk-benatuk tulisan yang lain. Semua itu membuat penulis menggunakan seluruh inderanya dengan maksimal, bukan untuk mendapat ide, tapi untuk mengembangkan ide tersebut. Sebab, pada dasarnya setiap orang memiliki gagasan, hanya saja tak semua orang berhasil untuk mengembangkan gagasan tersebut dan menuangkannya dalam bahasa tulis. Bukan berarti mereka tak mampu, hanya saja apa mereka telah memulainya ? bagi orang-orang yang mau memulai, kini saatnya untuk bekerja.

Mengembangkan dan memperkaya gagasan memerlukan wawasan. Oleh sebab itu, seorang penulis harus rajin memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Selain itu, membaca buku adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dengan menulis. Jangan memaksakan diri untuk menelan berbagai jenis buku sekaligus, tapi nikmati saja proses itu secara alami, meski jangan juga terlena dengan perasaan malas. Kebiasaan menulis dengan sendirinya akan membuat anda gemar membaca, karena anda selalu ingin mengetahui perkembangan dunia tulis menulis. Anda memerlukan pembanding, karena itu anda perlu untuk membaca tulisan orang lain, dengan begitu anda bisa mengevalusi tulisan dan mengembangkannya menjadi bentuk yang lebih matang.

Percaya atau tidak, aktivitas menulis juga membuat anda semakin peka dengan orang lain. Menulis membuat aktivisnya gemar memperhatikan dengan mengoptimalkan fungsi inderanya. Hingga tak heran jika banyak penulis yang lebih peka dengan masalah-masalah masyarakat dibandingkan dengan kelompok lain yang justru lebih berwenang. Menulis juga dapat menjadi sebuah ajang untuk memperjuangkan sebuah gagasan. Dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tulisan, dapat negitu mencengangkan dan tidak terbayangkan. Jika sebuah tulisan telah tercipta, apalagi sampai dipublukasikan, maka dia telah menjadi milik semua orang. Tulisan dapat berbicara dengan bahasanya sendiri, mempengaruhi atau mengajak orang lain berpikir. Oleh sebab itu, menulislah, karena tulisan kita akan membuat kejutan-kejutan yang tak pernah kita bayangkan. Maka, teruslah menulis (*)

Monday, July 7, 2008

Aku, Nisa, Cinta dan Es Krim Coklat

Tadi siang aku dan Nisa jalan-jalan ke Sungai Jawi. Kami ingin membeli ikan peliharaan untuk teman Socra dan Filsa, dua ekor ikan yang telah lebih dulu kubeli, di akuarium mungilku yang kuberi nama ‘dunia ide’. Kami berhasil menemukan 4 ekor ikan yang kelihatan anggun dan manis, setelah cukup lama menimbang-nimbang kemungkinan-kemungkinan untuk membeli ikan yang lain.

Dua ekor lebih kecil, satu berwarna putih mengkilap sedangkan yang satunya lagi berwarna putih dengan totol-totol hitam. Dua ekor lainnya berukuran lebih besar dengan bentuk ekor lebar dan panjang. Dia kelihatan berenang dengan anggun.

Usai beli ikan, kami mencari es krim. Kami menemukan kedai es krim di JL. Putri Candramidi, namanya Es Krim Eskimo. Ada beberapa rasa, coklat, strawberry, cempedak, durian dan Vanilla. Tapi untukku dan Nisa tak ada pilihan lain, jika ada coklat.

Kami memesan dua porsi es krim kepada pemuda yang menunggui kedai itu.
Sambil menunggu pesanan, kami mencari nama untuk 4 ekor ikan cantik di kantong yang kupegang.

“ Yanti jak yang kasi name “ kata Nisa

“ Yang beask tuh namenye Rene same Karen, yang kecik Nisalah yang kasik name”

“ Udah, Yanti jak yang kasik name “

“ Iyelah, namenye Plato same Sophie”

“ Boleh “
jawab Nisa singkat. Wow....sekarang di dunia ide ku ada Socra, Filsa, Plato, Sophie, Rene dan Karen. Pasti menyenangkan.

Tak lama pesanan kami datang. Es krim coklat yang disajikan anggun di gelas yang memang khusus untuk es krim, transparan berbentu seperti gelas seloki. Kami makan sambil bercanda. Tak memerlukan waktu lama untuk menghabiskan 1 porsi es krim itu, karena kami memang penggila es krim, meskipun sempat pindah posisi duduk karena kepanasan terkena sinat\r matahari. Khatulistiwa.......

“ Tau dak Syah, hal yang paling enak di dunie tuh, es krim coklat” kataku

Setuju......eh, bile kite makan ayam di Mall ?”

" Nantiklah, liat kondisi keungan lok, agik pailit neh “

“ tenang kalo soal duet...”

“ agik kaye nih ceritenye ?”

“ Hehehe Nisa gitu loh......” katanya bangga.

“ Selase gimane ?” lanjutnya.

“ Boleh, hari senen yanti bise merampok lok”

“ Siape yang mok dirampok tuh ?”

“ Ade banyak...hehehehehe....” kami tertawa.

“ Makan es krim juga di Mall” Nisa berkomentar

“ Boleh, yang ade saus jagungnye, enak......”

“ Ok deh “ lagi-lagi kami tertawa.

Usai menghabiskan es krim kami, nisa segera beranjak membayar pesanan kami.

“ Mok dibungkus dak ?” katanya menawarkan

“ dak maok”

“ serius neh ?”

“ serius “

“ OK”


Kami lalu menuju tempat Nisa memarkir motornya. Menyapa abang penjaga kedai lalu tersenyum padanya.

“ Sini lagi lah “ katanya

“ OK deh, tenang jak bang” jawab Nisa.

“ Dah.......” kataku melambaikan tangan. Pemuda itu tersenyum dan membalas lambaianku.

Eh, syah, kalo dibuat cerpen kayaknye asyiklah “ kataku tiba-tiba.

“ ape die ?” tanya Nisa agak kaget

“ es krim coklat “

“ Ha...” dia menatapku

Ginik nih kalimat pertamenye ‘ Hidup itu seperti es krim coklat. Tak terlalu manis, dan ada rasa pahitnya. Tapi, justru kombinasi rasa unik itu yang membuat orang ketagihan dan terus ingin mencicipinya”
“ Oh ya...?’ Nisa menanggapi sambil tersenyum.

Eh, salah yang agak heboh sikitlah ye. Ginik jak lah ‘ Cinta itu seperti es krim coklat. Tak terlalu manis, dan ada rasa pahitnya. Tapi, justru kombinasi rasa unik itu yang membuat orang ketagihan dan terus ingin mencicipinya. Seperti itulah Cinta, tak selalu indah, dan ada sakit hatinya. Namun setiap rasa yang dihadirkannya justru membuat orang semakin dalam menghayatinya’ Gimane ? asyik kali ye.....”

Nisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Setelah itu kami meluncur pulang dan menyiapkan berbagai rencana untuk esok hari.

Cinta dan es krim coklat ? Mirip kali.......


07 Juli 2008
Pukul 00:03 WIB

Agama Lokal dan Apa Saja

Sekarang jam di komputerku menunjukkan pukul 1.45 WIB, dini hari. Mataku lagi-lagi tak mau menyerah pada waktu. Ingin tidur rasanya, tapi apa boleh buat. Tak ada yang harus dipaksakan, dan tak boleh ada yang merasa dipaksa, biar saja semua mengalir apa adanya.

Beberapa saat setelah pergantian hari, aku mendapat pesan pendek dari seorang teman di sebrang lautan.

Dh tdr?” Sender +62857xxxxxxxx 00:23:3

“Blm. Kamu blm tdr jg?”

“Sama. Lg ngpain?”
Sender +62857xxxxxxxx 00:29:01

“ Gak lg ngapa2in. Kmu?”

“ Hbs wawncra d hotel grand candi smg. Tau g, aq wwncra sama siapa?”
Sender +62857xxxxxxxx 00:35:14

“Siapa dan ttg apa”

“ Engkus.orang jawa bart. Uniknya, d KTPnya, kolom agama diisi tanda strip (-). Tau knpa?”
Sender +62857xxxxxxxx

Gak, emg napa ?”

“ Ia penghayat kpercyaan sunda wiwitan, agama buhun, agama asli orang sunda. Kbradaanmrka skrg trdskriminasi spt kaharingan”
Sender +62857xxxxxxxx

Sunda wiwitan. Aku sedikit tahu tentang sunda Wiwitan, seperti Kaharingan, dia adalah agam lokal yang ada jauh sebelum masuknya agama di Indonesia. Namun, saat ini kurasa akan sulit sekali menemukan orang yang bertahan dengan agama ini. Aku jadi teringat dengan beberapa nama yang kutahu bergelut dalam penelitian agama-agam terutama agama Jawa. Clifford Gertz dan Mark R. Woodward. Salah satu buku Woodward bertengger manis di rak bukuku.

Meskipun tidak bicara tentang wiwitan tapi praktik Islam, namun ada beberapa hal yang kupikir berkaitan erat dengan agama-agama lokal. Sebab, mau tidak mau harus diakui bahwa tradisi agama lokal telah hidup dan mengakar pada masyarakat, sehingga kedatangan agama-agama baru tidak dapat begitu saja menghapus tradisi yang ada. Pada praktiknya, tidak sedikit tradisi agama lokal tersebut masuk ke dalam ajaran-ajaran agama baru yang datang kemudian.

Aku tak sabar menunggu dia mengetikkan huruf demi huruf dan menunggu rangkaian kalimat itu menyeberang terlalu lama. Aku segera menelponnya, tak peduli bahwa sekarang sudah hampir jam 1 dini hari.

‘Sunda Wiwitan itu agama asli orang Sunda.Ajarannya sangat bersahabat dengan alam. Mereka menghormati alam karena telah memberikan kehidupan, karena itu manusia harus berterima kasih pada alam dan tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Mereka juga percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki jiwa dan kehidupan” jelasnya.

Dia bertanya padaku tentang Kaharingan. Ya, kaharingan. Aku pernah sedikit membaca tentang Kaharingan, agama asli masyarakat Borneo. Agamanya orang-orang Dayak.

Di Kalimantan Barat, ku pikir akan sulit mendapatkan orang yang mengaku bahwa dirinya menganut Kaharingan. Pertama, karena istilah ini memang hampir tak pernah digunakan di Kalbar.

Orang lebih suka menyebutnya agama lama. Ada yang menyebutnya animisme, tapi ada pula yang tidak menyukai sebutan ini” begitu kata dosenku, Dr. Yusriadi, ketika aku cek tentang istilah kaharingan setelah tulisan ini selesai kubuat..

Sebab lain, penyebaran agama telah masuk sampai ke pelosok-pelosok desa bahkan dusun. Sejak zaman penjajahan Belanda, para misionaris telah gencar melakukan ‘dakwah’nya, sedangkan Islam juga telah berkembang di beberapa wilayah, meskipun masih terbatas pada daerah-daerah kerajaan.

Kemudian, karena berbagai faktor dan kepentingan politik, setelah tahun 1960-an, Pemerintah mengeluarkan aturan yang mengharuskan masyarakat untuk memilih salah satu dari 5 agama yang diakui Undang-undang di Indonesia. Tak kuasa dengan berbagai hal yang akan menyulitkan kelak, masyarakatpun pasrah dengan aturan yang ada. Maka, ditanggalkanlah identitas agama asli mereka diganti dengan agama baru yang diakui. Apakah semuanya selesai ? Ternyata tidak.

Pada kenyataannya, agama lama itu tak pernah benar-benar mati. Semua itu terlihat jelas pada ritual-ritual adat yang masih hidup sampai tulisan ini kubuat. Ada beberapa buku yang kumiliki atau yang pernah kupinjam yang bicara soal Masyarakat Dayak dan Tuhan. Kutemukan beberapa versi cara pandang mereka kepada Sang Maha Pencipta, termasuk sebutannya, dari Jubata hingga Ne’.

Penciptaan manusia juga dikenal dalam beberapa ragam. Dalam buku yang ditulis oleh Manias M. Sood, aku menemukan bahwa ada versi penciptaan manusia yang mirip dengan penciptaan yang dikisahkan dalam ajaran Islam. Apakah ini murni dari ajaran mereka dan telah dipengaruhi oleh Islam ?, belom ada penelitian yang membahas tentang ini. Tapi, kurasa ini akan sangat menarik.

Kaharingan, dan agama lama pada prinsipnya mirip dengan ajaran Sunda Wiwitan yang di ceritakan oleh temanku. Kepercayaan ini sangat menghormati alam semeta. Semua yang berada di alam memiliki jiwa dan ruh. Manusia tidak boleh sembarangan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Bukan sekedar etika memperlakukan alam, tapi ini lebih dari itu. Sebuah penyatuan dan penghargaan sebagai sesama makhluk Tuhan yang diciptakan untuk saling menopang dan menjaga keseimbangan hidup.

Tak heran, dengan pandangan demikian, ajaran agama lokal melahirkan banyak sekali ritual yang dilakukan untuk menghormati alam. Upacara yang paling banyak dilakukan adalah yang berkaitan dengan padi, sebab padi dianggap sebagai sumber kehidupan manusia. Mulai dari upacara pra tanam, menanam hingga panen dan pasca panen. Semuanya memiliki makna dan keindahannya masing-masing.

Tradisi Dayak juga mengganggap bahwa kehidupan manusia adalah siklus yang salng berkaitan dan tak dapat dipisahkan. Kelahiran, perkawinan dan kematian, menjadi titik fokus ritual yang berkaitan dengan manusia. Banyak kearifan yang terdapat dalam kepercayaan ini, dan masyarakat adat sampai sekarang masih banyak yang taat pada aturan tradisi yang bahkan tak tertulis ini. Aku melihat ini semua sebagai sebuah kekayaan dan keindahan negeriku yang memang menjadi indah apabila diperlakukan sebagaimana mestinya.

2 Juli 2008
Pukul 03:03 WIB

Hari-hari Itu............ (2)

Jum’at, 27 Juni 2008

Hari ini kepastian operasi juga belum ada. Artinya, aku bisa meninggalkan kakakku dan pergi ke kampus dan menghadiri kongres mahasiswa STAIN Pontianak ke VII. Aku sampai sekitar pukul 09.00 WIB, acara telah dimulai , bahkan telah membahas beberapa hal. Pesertanya ternyata tak begitu banyak, ku pikir tak sampai 100 orang, juga tak semeriah tahun-tahun sebelumnya.

Belasan orang anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) berpakaian lengkap menjaga setiap sudut aula setiap kali digelar kongres, tapi tidak tahun ini. Tak ada seorangpun yang terlihat, mungkin hanya perwakilannya yang berada di dalam, itupun menggunakan pakaian biasa.

Kongres berjalan alot, membahas tata tertib sidang.. Suasana sempat panas. Seorang peserta kongres dari perwakilan salah satu UKM maju ke depan dan merampas microphone dari presidium sementara ke 2 dan menyerahkannya pada presidium pertama. Presidium kedua dianggap lancang karena langsung mengambil alih sidang tanpa melalui mekanisme yang benar, apalagi dia baru datang ke aula.

Gadis itu terdiam ketika microphone di tangannya diambil paksa. Dia duduk dengan wajah merah. Sementara yang mengambil paksa, lantas duduk sambil menggerutu dengan wajah masam setelah menyerahkan microphone pada presidium pertama.
Aku dan beberapa teman yang duduk di belakang tersenyum, sebuah tontonan, sayang bukan contoh yang dapat diteladani.

Kami kembali asyik dengan aktivitas kami, memperhatikan setiap gerak-gerik peserta kongres. Banyak hal yang kami dapatkan, paling tidak sebuah kenyataan bahwa tidak semua mahasiswa dapat menggunakan otak, etika dan ilmunya dengan seimbang. Menjelang waktu dzuhur, kongres ditunda agar peserta dapat menunaikan shalat dzuhur dan makan siang.

“ Kecelakaan sejarah neh, menu kongres kayak ginik” kata seorang teman dari salah satu HMJ.

“ Ye ke ....?” tanyaku seraya membuka bungkusan nasi di hadapanku.

Nasi putih, bakwan jagung, sambal tempe dan kuah santan, tak jelas apa sayurnya. Sedangkan Hanisa, temanku, mendapatkan menu yang sama, hanya saja bakwan jagung diganti dengan telur goreng mata sapi. Aku dan Nisa tersenyum, ini bukan hal yang luar biasa untuk kami.

Di LPM, kami terbiasa berpusing-pusing ria untuk membagi uang yang seadanya agar dapat meng-cover seluruh kegiatan dengan baik, yah meskipun menunya tak pernah separah ini, paling tidak ikan goreng lah.... Tapi apa artinya ? jika lapar, toh habis juga, atau jika tak selera, kita semua bisa beli sendiri, sehari-harinya juga begitu.

Kita sama-sama tahu tentang minimnya dana untuk kegiatan mahasiswa di sebuah sekolah tinggi seperti kampus ini. Kita semua tahu, bahwa di negara ini,anggaran dana pendidikan memang menyedihkan, jadi jangan lagi permasalahkan tentang menu dalam kegiatan mahasiswa. Salahkan saja pembuat kebijakan yang memandang bahwa gaji anggota dewan lebih penting untuk dibengkakkan dari pada dana pendidikan generasi muda Indonesia.

Pukul 1.30 siang, kongres di lanjutkan. Dengan agenda masih membahas tatib dilanjutkan dengan agenda sidang dan setelah istirahat shalat Ashar dilajutkan dengan membahas UU KBM. Peserta sempat mempertanyakan kinerja MPM pada saat membahas tentang UU. MPM dinilai tidak bekerja dengan semestinya.

Beberapa hal yang dijadikan bukti, MPM memberikan kopian UU kepada HMJ dan UKM pada saat diujung kepengurusannya. Kedua, pada kopian UU itu terdapat dua ayat yang salah fatal dan tidak sesuai dengan hasil kongres tahun lalu, yakni pasal 6 yang tidak memuat ayat 4 yang seharusnya ada dan pasal 29 ayat 4 yang memabahas tentang SK dan pelantikan UKM. Ketiga, fungsi pengawasan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dinilai juga diabaikan oleh MPM, dan LPJ BEM serta kongres yang terkesan tidak siap. Hal ini melahirkan wacana tentang kemungkinan dibubarkannya MPM.

“ Gimana pendapatmu kalau MPM dibubarkan ?” tanya seorang teman.

“ Ha......? yang benar jak. Masa’ mok dibubarkan, tak biselah. Bise sangsot kehidupan oragnisasi mahasiswa di kampus kite ni “ jawabku

“ Ade pun tak dirasekan mahasiswa ” katanya lagi.

“ Itu bukan masalah MPMnye tapi disfungsi orang-orang di dalamnye. Yanti yakin semuenye bise lebih baik kedepannye, kalo memang maok. Kayak kite gak, UKM same HMJ” jawabku.

“ Hehehehehe” dia duduk di sebelahku.

Kongres untuk hari ini selasai pukul 5 sore dan akan dilanjutkan besok pagi. Aku pulang dengan Dian, peserta utusan LPM, sekaligus pimpinan redaksi WARTA. Dia cukup vokal dalam kongres tadi. Sementara, aku lebih suka duduk di belakang, mendengarkan, dan menikmati segepok cemilan yang dibawa Hanisa dari rumahnya, dan tentunya bercanda dengan beberapa teman yang juga gila-gilaan di belakang.

“ Malas, banyak yang sekedar cari sensasi” kata mereka.

Sabtu, 28 Juni 2008

Malam tadi, dokter telah memastikan bahwa hari ini operasi pengangkatan usus buntu kakakku dapat dilaksanakan. Pukul 09.00 WIB. Aku tak bisa ke kampus untuk mengikuti kongres lanjutan, operasi kakakku lebih penting untukku saat ini. Maaf, teman-teman. Tadi malam aku juga tak tidur semalaman, untung seorang teman bersedia menemaniku meskipun hanya suaranya yang terdengar di seberang sana. Lumayan, dia dapat mengisi kekosongan dan kebosanan di lorong rumah sakit yang kaku ini.

Pagi, aku keluar dari ruang perawatan, karena sudah waktunya petugas kebersihan untuk membersihkan kamar pasien. Keluarga pasien diperbolehkan masuk lagi pada pukul 09.00 WIB. Aku menunggu di ujung lorong, sendirian. Abangku, yakni suami kakak, sudah menyatakan bahwa dia tak bisa menemani istrinya. Dia tak tega melihat wanita yang telah menjadi ibu dari kedua gadis kecilnya itu terbaring lemah di bawah pengaruh obat bius, atau menyaksikan bagaimana pucatnya wanita cantik itu ketika di dorong menuju ruang operasi. Aku saja tak tega, tapi kenyataan seringkali memaksa kita untuk memenangkan pertempuran melawan perasaan.

Pukul 08.30 WIB, aku melihat seorang perawat mendorong kakak yang telah duduk di kursi roda, lengkap dengan baju operasinya menuju ke arahku. Wajahnya pucat, kakak sama sekali tak tersenyum, tapi bibirnya terbuka sedikit. Sorot matanya sendu menatapku. Tuhan, aku tak berkata apa-apa, selain mengikuti gerak langkah perawat itu menuju ruang operasi.
Kakak segera di dorong masuk ke ruangan itu, sementara aku ditahan di luar.

“ Sampai sini ya mbak “ kata perawat.

“ Iya “ jawabku pasrah.

Di depan ruangan itu, mungkin sekitar 30 an orang duduk berjejer, hingga kursi yang disediakan tak dapat menampungnya. Aku berdiri, tak berminat untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Di samping ruang operasi itu ada sebuah tangga menuju lantai I, lalu ruang ICU. Orang-orang yang banyak ini mungkin bukan hanya keluarga pasien yang dioperasi, tapi juga ada yang menunggui keluarganya di ICU. Seorang wanita duduk di sampingku dengan dua anak perempuannya, yang satu berusia sekitar 17 tahun, dan satunya lagi mungkin sekitar 5 tahunan. Dari pembicaraannya, aku mengetahui bahwa wanita itu sedang menunggui ibunya yang belum sadarkan diri di ruang ICU karena kecelakaan tabrakan.

Beberapa belas menit kemudian, aku melihat seorang wanita muda dari etnis Tiong Hoa yang juga di dorong ke ruang operasi. Dia berbaring dengan wajah kesakitan, dan kelihatan merah. Perutnya besar, dia akan melakukan operasi caesar.

Satu jam kemudian, aku menyaksikan seorang bayi laki-laki yang digendong ibunya juga menuju ruang yang sama. Ditangannya yang kecil dilekatkan pipa infus dan tepat didepan pintu ruang operasi, seorang perawat meminta si ibu menyerahkan bayi mungil itu. Si Ibu pasrah melepas gendongannya dan menyerahkan si mungil pada perawat. Hanya selang beberapa menit, seorang lelaki dengan pakaian lengkap dinas operasi keluar dari ruangan operasi menghampiri si ibu. Dia membawa topi dan kaus kaki rajutan bayi, lalu menyerahkan pada ibu bayi itu. Sebuah pemandangan yang mengharukan buatku. Seorang ibu harus melepaskan bayinya yang begitu kecil dan lemah memasuki ruang yang terkesan ‘ganas’ untuk menghadapi berbagai bentuk pisau bedah. Bukan sebuah hal yang mudah untuk dihadapi.

“ Kak, belom selesai ke ?” sebuah suara mengejutkanku. Adik dan bapakku datang dan menghampiriku. Mereka baru saja dari Universitas Tanjungpura, calon kampus adikku. Dia sedang mengurusi berkas-berkas yang diperlukannya untuk mendaftar dan mengikuti ujian masuk UNTAN.

“ belom” kataku singkat

Aku melirik penunjuk waktu di layar HP, sekitar pukul 09.15 WIB. Waktu terasa lama sekali. Tak lama kemudian, HP ku berdering. Telpon dari teman yang tadi malam ikut begadang bersamaku.

“ Gimana kakak ?” terdengar suaranya dari seberang sana.

“ Lagi dioperasi, nih lagi di depan ruang operasinya”

‘ Udah sarapan blom ?”

“ Belom dak sempat, eh, udah, udah sih tadi makan roti. ‘kan banyak tuh di tempat kakak “ jawabku.

“ Makan di jaga, ntar kamu yang sakit, iya tho “

“ Iye, cerewet “

Dia protes aku bilang cerewet. Dia lalu bercerita tentang temannya yang juga pernah mengalami penyakit yang sama seperti kakakku yang juga harus menghadapi tajamnya pisau bedah. Pembicaraan kami sempat terputus, karena aku dipanggil. Lalu kembali kami sambung, dan akhirnya harus disudahi karena dia akan sarapan.

Pukul 10....11....kakak tak juga keluar. Padahal bayi yang ibunya dioperasi caesar sudah keluar, tak lama ibunya juga keluar. Kami mulai gelisah, apalagi abangku, yang katanya tak mau menemani, tapi ternyata sejak pagi sudah mondar-mandir di sekitar ruang operasi tanpa sepengetahuanku. Pukul 11.45 melalui pintu ruang ICU, kakakku keluar. Dia terbaring tak sadarkan diri di dorong oleh dua perawat muda. Kami semua mengikutinya. Di sisi tempat tidur dorong itu, terlihat sebuah botol kecil seperti tempat cottombud. Di dalamnya diisi cairan alkohol dan.....ah.....,ada usus kakakku yang diangkat dalam operasi itu.

Kami sekeluarga mengikuti perawat tadi, namun harus berpisah di persimpangan lift. Mereka menguunakan lift pasien, sedangkan kami menggunakan lift umum. Kami kembali bertemu di ruang perawatan. Letih rasanya, aku ingin tidur. Tapi belum bisa. Aku masih harus menunggu instruksi dari dokter atau perawat tentang kakak.

“ belum boleh duduk apalagi berdiri, dan minum sampai jam 12 malam nanti. Kalo berbalik boleh, tapi di bantu. Setelah jam 1 malam boleh minum, tapi cuma 1 sendok makan setiap jam. Kalo makan jangan dulu” kata perawat.

“ Kalo buang air boleh dak mbak ?” tanya adikku konyol

“ Boleh, tapi gak boleh jalan, nanti pake pispot aja” jelas sang perawat. Adikku hanya senyum-senyum.

Sekitar 12 an kakakku sadar, tapi tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya menatap kami satu-persatu. Tapi kemudian, sedikit demi sedikit dia mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya.

Sekitar pukul 14.30 aku pulang kerumah. Aku langsung merebahkan diri di lantai ruang tengah. Dingin. Lega rasanya dapat membaringkan tubuhku. Tak lama aku melihat Hpku, ada SMS dari teman-teman di kampus. Mereka menanyakan apakah aku bisa datang ke kampus atau tidak. Aku ingin membalasnya, namun tertidur. Sore sekali, baru terbangun. Aku harus kemas-kemas, kasian ibuku, beliau juga tak boleh terlalu lelah. Malam ini aku akan tidur di rumah

Minggu, 29 Juni 2008

Ternyata cucian benar-benar menumpuk. Pakaianku, sedikit titipan dari ibu dan bapak, lalu segepok titipan dari abangku. Tulangku gempor. Semalam aku tidur subuh, meski di rumah tapi tetap saja tak bisa tidur. Insomnia. Kembali seorang teman menemaniku begadang. Terimakasih Tuhan.....

Siang, setelah semua selesai, aku ke rumah sakit menjenguk kakak, tapi tak lama. Sore aku sudah harus pulang kerumah. Malam ini juga tidur di rumah. Tidak malam, tapi subuh. Karena sekarangpun sudah subuh, tapi aku belum tidur....................

Abies...

29 Juni 2008
Menjelang subuh, tapi pikiranku masih asyik dengan dirinya.
Special thanks to ; orang-orang yang telah menemaniku begadang.

Hari-hari Itu............ (1)

Malam ini, setelah 4 malam aku berpisah dengan komputer butut yang bertengger manis di sudut kamar, aku kembali berada di depannya. Mengetikkan huruf demi huruf diatas kertas putih maya di layar monitor.

Yah, malam ini tepatnya adalah malam kelima kakak iparku tercinta harus terbaring lemah di bangsal rumah sakit Saint Antonius. Radang usus buntu membuatnya kian lemah dan tak dapat berbuat apa-apa ketika dokter yang menanganinya memutuskan untuk melakukan operasi. Dia takut, aku tahu itu. Aku lihat dari matanya, gerakannya, juga bibirnya. Dia gelisah sepanjang malam.

***

Selasa, 24 Juni 2008

Aku sedang mengikuti sidang pleno Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang meminta laporan pertanggungjawaban Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak periode 2007-2008. Di jadwal, sidang itu dimulai pukul 15.30 WIB, tapi kurasa molor sekitar setengah jam. Awalnya, kami semua berada di dalam aula kampus, namun menjelang maghrib, terpaksa pindah ke gedung PGRA, karena aula telah lebih dulu di’booking’ untuk acara lain.
Ada beberapa bahasan yang dibahas oleh teman-teman, termasuk masalah Undang-undang KBM yang berada di tangan UKM dan HMJ tidak sesuai dengan hasil kongres tahun lalu. Tapi, menurut pengurus BEM UU KBM yang ada di sekretariatnya sama dengan hasil kongres. Berarti ada dua versi. Sebenarnya ini bukan wilayah Badan Ekssekutif Mahasiswa, tapi MPM.
Namun, hal itu menjadi pertanyaan, karena SK setiap oraganisasi di dalam tubuh KBM dikeluarkan oleh BEM dan menggunakan landasan UU KBM. Ketika UU yang menjadi landasan tidak sesuai, maka keabsahan SK menjadi pertanyaan. Itu yang juga menjadi pertanyaanku, SK LPM. Tapi lebih anjut masalah ini akan di bahas di kongres mahasiswa.

Malam, usai maghrib teman-teman masih asyik membahas soal tadi, meskipun LPJ ini hanya di hadiri oleh 2 perwakilan UKM dan 2 HMJ dari 8 UKM dan 3 HMJ yang ada. Representatifkah ? Begitu tanya seorang teman. Entahlah, kalau berpikir tentang hal itu, seharusnya dipertanyakan lebih dulu, ‘ pedulikah mereka tentang ini?’ ‘kalau iya, kemana yang lain ?‘

Pukul 19.30 WIB, handphoneku berbunyi.

“ Kak Maya masuk rumah sakit, cepatlah balek” ujar adikku di seberang sana. Aku lalu menutup telpon.

Lima menit, aku menunggu sidang sedikit lengang. Lalu menunjuk jari dan meminta izin pada forum untuk pulang lebih cepat. Sekitar setengah jam kemudian, aku sampai dirumah. Kakakku sudah diantar ke rumah sakit Saint Antonius, Pontianak sekitar satu jam yang lalu.

Rabu, 25 Juni 2008

Aku tiba di kampus sekitar pukul 11.25 WIB. Hari ini memang tak ada mata kuliah pagi, hanya pukul 12.30 nanti, aku mengikuti kelas feature. Tak ada kegiatan yang terlalu penting hari ini, kecuali menyerahkan surat rekomendasi kepada panitia kongres mahasiswa dan sedikit kilas balik tentang kongres. Tapi untuk kelas feature ada berita baik, sekitar awal Juli, kami sekelas akan mengunjungi salah satu lokasi KKL kakak tingkat kami yang saat ini sedang berlangsung. Kami ditugaskan untuk membuat narative reporting, sekaligus makalah penelitian singkat bagi yang berminat.
Rencananya kami akan menginap di sana. Berbagai rencanapun disiapkan oleh teman-teman, sampai-sampai kami merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang nantinya akan dapat kami kenang selamanya. Kelas ini, terutama teman-teman dari angkatanku memang luar biasa heboh, dan aku bangga karenanya. Begitu kelas selasai, aku langsung pulang, banyak yang harus dikerjakan di rumah. Apalagi tadi pagi kudengar kabar bahwa besok kakakku harus menjalani operasi.

Kamis, 26 Juni 2008

Operasi itu dijadwalkan hari ini, pukul 09.00 WIB. Aku menungguinya sejak malam, karena urusan administrasi diserahkan padaku. Sebelum pukul 09.00 semuanya harus sudah selesai. Aku menuju bagian keuangan dengan ransel dipundakku, tentu saja dengan segepok uang yang harus disetorkan ke bank Mandiri yang menjadi mitra rumah sakit ini.
Aku menunggu antrian dengan agak gelisah, bukan karena gerah mengantri, tapi sekali lagi membayangkan wajahnya. Wanita yang hanya lebih tua 4 tahun dari ku. Wanita muda yang hampir selalu membelaku jika aku diomeli karena telat pulang ke rumah. Dia ibu dari dua gadis kecil yang yang membuat hariku penuh warna. Wanita itu pula yang selalu mengusap pundak dan rambutku jika aku tertidur di sampingnya. Dan tadi, saat meninggalkannya dia terlihat pucat, dan panas badannya mencapai 39 derajat celcius lebih.

Ini hari pertama dimulainya rangkaian acara kongres mahasiswa STAIN Pontianak. Tadi aku sempat menelpon seorang teman. Darinya aku mengetahui bahwa hari ini hanya dialog publik, sedangkan kongres akan diadakan besok. Syukurlah, ujarku, dengan begitu aku bisa menghadirinya, dan menunggui operasi kakakku hari ini.

“ Mbak, ini kwitansinya “ ujarku menyerahkan kwitansi berwarna kuning kepada seorang perawat di pos jaganya.

“ Oh, keluarga ibu Maya ya ?”

“ Iya, ada apa Mbak ?” tanyaku

“ Begini, operasi bu Maya ditunda. Tadi udah diperiksa dokter, dan kondisi badannya tak memungkinkan untuk menjalani operasi hari ini” jawabnya.

“ Emang kondisinya kenapa ?”

“ Bu Maya demam, panasnya lebih dari 39 derajat, dia juga menstruasi hari pertama dan payudaranya bengkak. Bu Maya punya bayi’kan”

“ Iya, Mbak. Umurnya 1 tahun 5 bulan dan nutrisi utamanya memang ASI”

“ Nah, itu dia. Jadi produksi ASInya banyak, karena tak diminum bayinya, payudara Bu maya jadi bengkak. Nanti coba diperas Mbak ya, soalnya itu juga menyebabkan demam”

“ Kemaren malam udah diperas Mbak’

“ kalau gitu, lebih sering, karena produksi ASI yang ibunya aktif menyusui memang banyak sekali”

“ Oh gitu. Trus operasinya gimana ?”

“ Nanti akan dikasi tahu sesuai dengan perkembangan kondisi pasien. Kalau administrasinya gak usah khawatir, kan udah di data “

“ Ya, gak papa. Makasih Mbak” ujarku tersenyum pada perawat tadi, kemudian berlalu menuju kamar kakakku di rawat. Lucu juga rasanya, kalau teman-teman kampusku mendengar aku bicara dengan bahasa tadi, aku akan di tertawakan habis-habisan, hilang ciri khas Melayu klotokku. Heheheh.

Bersambung.......

Malam

Mungkin aku akan menambah daftar orang-orang yang tak bisa menikmati malamnya dengan baik. Tidur menjadi sesuatu yang rasanya sulit ku lakukan. Jika dulu, aku bersahabat baik dengan bantal dan selimut, akhir-akhir ini aku merasa mereka mulai menjauhiku. Entahlah, apa mereka terlalu lelah menemaniku bermimpi dan bermain di alam yang tak nyata, atau aku yang terlalu asyik dengan cumbuan malam, hingga melupakan hangat dekapan mereka. Pastinya, aku mulai tak menikmati binar cahaya terakhir yang mengantar katupan kelopak mataku.

Ada banyak hal yang ingin kusampaikan pada malam, hingga waktu terasa tak cukup untuk memberi ruang pada kata-kata yang bicara. Ya, malam telah menjadi teman bercerita yang tak pernah meminta penjelasan apa-apa. Tak membuat kita mencari-cari alasan untuk membenarkan apa yang telah dilakukan. Itulah malam, mungkin karena itu pula aku merasa nyaman untuk mengikuti perjalanannya yang panjang. Meski aku merasa bersalah pada mata yang terpaksa harus berbagi ruang dengan kantung di bawahnya, khas mata orang kurang tidur.

Apa aku merasa nyaman ? Ini yang sebenarnya menjadi pertanyaan. Tidak, pada satu sisi. Rasa itu datang saat aku merasa tubuhku benar-benar lelah, kejam rasanya membiarkan wadah hidup ini terus bekarja tanpa sedikitpun mendengarkan jeritannya. Tapi, ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipaksakan, pikiran yang tak mau diajak pasrah terkapar di atas pembaringan, misalnya. Dia lebih memilih untuk berada di depan kotak kaca yang membentuk gambar sebuah kertas putih dengan deretan huruf yang dijejalkan paksa oleh jemariku yang jahil.

Di sisi lain, aku memang merasa nyaman. Malam membuatku seolah terpisah dengan dunia luar. Aku sendirian di dalam kotak bercat putih yang hanya berukuran beberapa meter. Satu-satunya akses ke dunia luar hanyalah sekeping jalinan kayu yang disebut pintu, itupun tertutup rapat. Inilah waktu dimana aku merasa memilikiku, duniaku, aturanku dan kesendirianku yang takkan dapat dipersembahkan siang.

Saat sendiri inilah, aku dapat merasakan keberadaanku dalam kenangan yang kadang kubuat tanpa sengaja. Siang tadi, entah apa yang kupikirkan lalu kuperbuat, tapi yang jelas di malam harilah aku menemukan jawabannya. Semua yang sebenarnya tak terpikirkan dan tak terbayangkan, tapi mulai kulirik ketika malam menjamahku.

Aku lelah, sekarang pun saat sedang menulis ini, tubuhku terasa lelah. Tapi pikiranku lebih lelah jika harus dikunci mati dalam aktivitas rutin malam hari yang kita beri nama tidur. Sudahlah biar saja, aku tak ingin berusaha tidur. Lagipula, segelas dancow coklat masih belum kandas dari gelas, musik dari winamp juga masih bersedia menemaniku dalam penjara malam yang terlalu ambisius untuk tidak melepaskanku ke dalam pelukan dunia mimpi.

Ya sudahlah, aku memang telah menjadi simpanan malam yang harus pasrah dicumbuinya sepanjang perjalanan rembulan. Selama aku bisa dan menikmatinya, kenapa tidak ? Malam membawa keheningan yang membuatku dapat mengertiku, bukankah itu yang kucari ? Jadi biar saja aku menjadi malam, dan malam menjadi aku.


23 Juni 2008
Sudah lewat tengah malam, tapi gak bisa tidur

SMS Dari Seberang Lautan

Minggu, 22 Juni 2008, aku memilih untuk di rumah, ada hal yang harus kukerjakan dan rasanya telah lama aku menundanya. Siang, aku merebahkan tubuhku yang terasa penat di dalam kamarku, tepatnya di atas karpet palastik yang menutupi lantai semen di bawahnya.

Hampir terlelap, tiba-tiba HP nokia biruku berbunyi, sebuah pesan masuk dari seorang teman di seberang lautan. Dia bicara tentang keadaan daerah tempat dia kuliah yang saat itu sedang mengadakan pemilihan gubernur. Sepi. Apatis. Katanya.

Lalu kukatakan bahwa aku percaya kaum muda di daerahnya dapat mengawal dengan baik pelaksanaan demokrasi. Dia juga harus percaya itu.

Ya. Meski aq lampung. Aq relwn pmantau. Dan jalanan sepi, tak ad kegiatn brarti. Lesu. Tapi desa agk semarak, trtipu janji palsu. Yg trburu2,” Sender Nas 22 Juni 2008 13:24: 05, balasnya padaku.

Janji palsu, lagi-lagi semua pemilihan melakukan hal yang sama. Dari sabang sampai ujung timur Indonesia, masyarakat sudah merasa ragu dengan semua janji yang diucapkan calon-calon pemimpin. Bukan keraguan tanpa alasan, tapi rakyat negeri ini sudah terlalu lelah dengan segala hal yang berbau janji. Janji yang realisasinya nol besar.

“Janji palsu selalu ada dlm stp pemilihan, d t4ku jg. Smw itu jd bumbu dlm prjlnan bgsa. Kt sdg mencari arti dmkrasi yg sesungguhnya. Itu pljran yang brharga untuk kt’ balasku

“Ya. Dn qt hrus membyrny dgn harga mahal. Hutan borneo satu d antaranya” sender Nas 22 Juni 2008 13:35:41

“Kamu bnr. Pljrn itu mahal, sygnya ‘pemimpin’ n rakyt kita selalu sj mengulur wktu untuk mengerti, shg hutan, alam dan bdy kt trus mjdi tumbal. Hutn utk org xmantan adlh separuh nywa,tp mrk tak mngrti” akhirnya pesan panjang itu selesai, aku lantas mengirimnya.

“ Mrka mengrti, tp nafsu tlah mmbtakn ksadrn diri. Atau justru mmbutkan diri scr brjamaah-. Ironis. “ sender Nas 22 Juni 2008 13:49:28

jgn membwtku sedih, aku tak ingin bsedih hr ini. Bicr ttg hutan selalu mengundg byk cerita pilu. Bgmn dg kampg halamanmu ?”

G jauh beda. Smbilu menjerit sendu. Lmpung tk puny hutn lg.” Sender Nas 22 Juni 2008 13:57:24

Aku membaca SMSnya sekilas, lalu kemudian tak sadarkan diri. Tidur. Aku terbangun sekitar hampir pukul 5 sore. Ternyata sebelum tertidur, aku sempat mengetik sebuah pesan panjang untuknya yang belum sempat terkirim. Aku lalu memilih menu send di HP ku.

Kdg aku bpkr, jika keadaan spt ini terus, mgkn suatu saat kita hanya dpt bercerita ttg hutan pada anak cucu kt, tanpa bs mereka melihtnya lagi. Cerita kt hny akn mjdi dongeng”

Hutan, lagi-lagi aku tak bisa banyak komentar tentang hutan. Seperti hati kebanyak orang Kalimantan, hutan adalah bagian yang tak pernah dapat dipisahkan dari hidupku. Aku mulai belajar mencintai segala sesuatu yang berbau alam, ketika duduk di bangku SMA. Aku bergabung dengan klub Siswa Pencinta Alam (SISPALA) di sekolahku. Organisasi kecil, tapi sampai saat ini memiliki tempat tersendiri dalam hati. Tidak hanya petualangan, padaku diajarkan rasa cinta pada alam, hutan terutama.

Aku mulai mencari informasi tentang hutan, kerusakannya dan hal-hal lain yang sebenarnya masih sebatas pengetahuan anak kecil. Bicara soal hutan di Indonesia, sama peliknya dengan bicara soal kemiskinan dan pendidikan. Hutan di Indonesia seperti kue bakpau yang putih dan lembut, tapi dipagari dengan kawat setan tak bertepi yang siap mengahncurkannya kapan saja. Membukanya, tak ubah seperti menjalin benang kusut yang morat-marit di sana-sini.

Tak sebatas rasa cinta seorang anak SMA dan teman-temannya, yang rela mngantongi sampah dari jalanan sampai ke rumah karena tak mau mengotori lingkungan. Ada banyak hal yang terlibat. Terlalu naif, jika mengatakan cinta tak selamanya dapat melindungi, tapi itulah yang memang terjadi.

Sebentar lagi, jika keberadaan hutan tetap tak bisa dihargai, delta sungai kapuas inipun akan segera menjadi sungai besar, karena tanah gambut tak dapat menahan beban dan resapan air di zona hujan tropis. Hutan, entah berapa banyak para pencinta yang mengalirkan air mata, tapi semua itu tetap tak bisa menahan laju langkah ‘si perut gendut’ yang terus menggendutkan perutnya dengan kehancuran hutan.

Tidak hanya, Kalimantan Barat dan Lampung, Palembangpun mengalami nasib serupa. Dari cerita Nisa, temanku yang anak asli Palembang, aku tahu bahwa hutan Palembang juga sedang kritis.

“ suasananye bede dengan 4 tahun lalu waktu Nisa tinggalkan. Pas Nisa balek tuh hutannye dah banyak ilang, yang banyak malah kebun sawit. Sedih liatnye” ujarnya padaku

Nas dengan Lampungnya, yang ia katakan sembilu menjerit sendu. Lalu sahabatku, Nisa yang terdiam menunduk mengingat penggundulan hutan di kampung halamannya, Palembang. Aku di Kalimantan Barat. Kenapa ?

Aku, Nas, Nisa dan entah berapa banyak pemuda negeri ini yang terluka oleh sinshaw yang membabat hutan kami. Lampung, Kalbar, Palembang semuanya terluka.........

Saturday, March 15, 2008

Aku Hari Ini...

Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantor Madanika, tempat pengungsian sementara kru P3M setelah beberapa lama tak kemari. Rindu rasanya melihat wajah-wajah orang yang selama ini mengisi hari-hariku dengan segudang canda, tawa, sebel dan juga ilmu. Mereka yang tak kukenal lewat kampus dan sekolah, tapi memberikan begitu banyak hal yang takkan kudapatkan di tempat-tempat itu.

Ah, lama sekali rasanya. Begitu tiba didepan pintu, aku melihat Bang Deni dan Bang Ratno. Wajah mereka ternyata tak berubah sama sekali (gila' lo.....baru juga beberapa minggu gak ketemu...). Bang Deni tetap saja dengan wajah imutnya yang usil. Bang Ratno masih berpenampilan yang konon Kak Indah bilang seksi, senyum simpul dan komentarnya masih saja sama.

Di ruang tengah ada Kak Indah dan Kak Bene. Kak Indah masih tomboy, tapi akhir-akhir ini dia lebih lembut, mungkin lagi jatuh cinta. Kak Bene tetap manis dan keibuan, ah....aku suka sekali padanya. Dia pintar, cerdas, lembut, penampilannya sederhana dan dia adalah produsen buku bacaan yang luar biasa (tempat meminjam buku yang asyik, bukunya bagus, terutama novel sebab seleranya terhadap buku sangat tinggi).

Tak lama kemudian, bang Hasan datang. Dia orang Madanika yang kerap singgah ke P3M, lucu tapi dewasa. Caranya bercanda juga asyik, kadang malah aneh, tapi dia baiiiiiiiikkkkk sekaliiiiii. Lalu Bang Didin bangun tidur, lantas mandi. Dia teknisi P3M, lama juga tak melihat wajahnya yang super cool......

Masih banyak yang belom ketemu, Apri, Bg Cangak, Bg Dimas, dll yang tak dapat disebutkan satu per satu. Hoa......jadi kangen sama suasana P3M yang dulu. But, biarkanlah semua menjadi kenangan yang paling indah, seperti kakak sekoteng yang mengenang P3M dengan mengganti nama sekotengnya menjadi sekoteng 'WARNET' meskipun sekarang dia tak lagi berjualan didepan warnet P3M. Yah....P3M memang akan menjadi hal yang terlalu indah untuk dilupakan oleh semua orang yang pernah singgah ke sana. Sampai kapanpun, mungkin........

Tuesday, March 4, 2008

Kekerasan Dalam Pendidikan


Oleh : Hardianti

Akhir-akhir ini, ibu pertiwi kembali menangisi kelakukan tak pantas dari putra-putrinya. Belum selesai penanganan bencana alam di berbagai wilayah Indonesia, juga belum tuntas permasalahan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, sekarang, giliran dunia pendidikan yang dilibas bencana. Jika tahun 1966, kaum muda bersatu padu menumbangkan kekuasaan Orde Lama, begitu juga dengan tahun 1998 ketika meruntuhkan keangkuhan Orde Baru, maka dalam era reformasi, segelintir kaum muda malah mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia.

Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kini, giliran mahasiswa APDN berebut merampas nyawa orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan yang sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia ?

Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.

MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.

Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bise ngerjekan anak baru, dapat baju kaos gratis agik". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.

Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.

Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.

Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan yang sehat, maka diperlukan strategi pendidikan yang kuat dan cerdas. Kegiatan pengenalan sekolah dan kampus harus di tata sedemikian rupa dengan asas manfaat, yang benar-benar membantu dalam aktivitas akademis. MOS dan OSPEK diharapkan tidak lagi menjadi ketakutan tersendiri bagi siswa dan mahasiswa baru, namun dapat menjadi gerbang untuk mengasah potensi masing-masing. Lembaga pendidikan juga dituntut untuk proaktif dalam membina siswa dan mahasiswanya, serta mengontrol kegiatan-kegiatan yang dianggap memberikan peluang terjadinya kekerasan dan pelecehan.

Untuk siswa dan mahasiswa serta keluarganya, diharapkan tidak segan-segan untuk melaporkan penyimpangan-penyimpangan dalam proses belajar kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan atau pihak yang berwajib. Semua ini penting untuk mencegah kembali terjadinya kekerasan dan pelecehan dalam pendidikan, mengingat pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas demi terwujudnya pembangunan di Indonesia.

Semoga saja pada awal tahun ajaran kali ini dan seterusnya, tidak akan ada lagi siswa dan mahasiswa yang melakukan atau mengalami tindakan kekerasan dalam kegiatan pengenalan sekolah dan kampus. Para pengajar juga diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa, tanpa kekerasan dan pelecehan.
Borneo Tribune, lupa tglnya...

Mencermati Pemilihan Duta Lingkungan


Oleh : Hardianti


Pemilihan duta lingkungan diharapkan menjadi salah satu wujud kepedulian Pemerintah terhadap lingkungan hidup Kalimantan Barat (Kalbar). Hal itu sangat penting mengingat Kalbar memiliki kekayaan alam yang tidak sedikit. Hutan-hutan Kalbar merupakan hutan hujan tropis yang luas, sekaligus menyimpan kekayaan hayati yang sangat besar. Danau Sentarum, daerah rawa terunik di dunia dengan segala keragaman hayatinya, juga bertempat di Kalimantan Barat.
Semua kekayaan tersebut, bukan sekedar memberikan nama besar bagi provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, namun juga menuntut tanggung jawab yang besar dalam menjaganya. Sebab, banyak tangan-tangan rakus manusia yang tidak henti-hentinya mengeksploitasi alam tanpa memikirkan akibat yang akan dihadapi di masa datang. Bahkan mereka selalu siap mengintai peluang untuk merusak alam demi kepentingan ekonominya sendiri. Hutan yang terbentang di provinsi ini memang milik Indonesia, namun keberadaannya merupakan kelangsungan hidup bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sebagai bagian dari paru-paru dunia, maka semua pihak wajib untuk turut menjaganya.

Oleh sebab itu adanya sosok duta lingkungan, benar-benar diharapkan menjadi motor bagi pemerintah, terutama masyarakat untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan. Dia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan masyarakat dan pemerintah, mampu melihat keadaan alam yang harus diperjuangkan kelestariannya. Semua itu tidak sekedar membutuhkan pengetahuan umum yang didapatkan dari browsing di internet, atau buku-buku penunjang. Dia harus benar-benar melihat kondisi lingkungan masyarakat, alam Kalimatan Barat, serta mengetahui sikap dan kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian. Masyarakat menantikan seorang duta lingkungan yang memiliki kesadaran, inisiatif, dan keinginan yang besar dalam memperjuangkan kelestarian alam.

Namun betapa kecewanya ketika melihat pemilihan duta lingkungan oleh Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat (Bapedalda Kalbar) yang diselenggarakan Sabtu, 21 Juli 2007 lalu. Pemilihan duta lingkungan dilakukan bak kontes pemilihan Miss Universe. Mereka semua terdiri dari gadis-gadis muda yang cantik, berlenggak-lenggok diatas panggung dengan menggunakan baju adat dan didandani layaknya peragawati.

Sebagai pembuka, mereka, 16 orang gadis kandidat duta lingkungan Kalbar menari dengan anggunnya di atas panggung, sesuatu yang mengingatkan saya pada sebuah ajang pencarian bakat di salah satu stasiun televisi. Mereka kemudian dipanggil secara bergantian untuk memperkenalkan diri. Saya kecewa, diantara mereka tidak ada yang memperkenalkan diri sebagai aktivis lingkungan, justru mereka lebih senang memperkenalkan diri sebagai pelajar yang baru lulus SMA, mahasiswa atau bekerja di instansi tertentu. Dalam perkenalan itu, beberapa dari mereka yang menggunakan bahasa Inggris, sesuatu yang memiliki point plus bagi seorang duta lingkungan. Namun, harus diingat bahwa orang pertama yang harus dirangkul dalam upaya menjaga alam adalah masyarakat sekitar, mereka jauh lebih mengerti himbauan yang menggunakan bahasa ibu.

Para kandidat lalu di persilahkan untuk menjawab pertanyaan yang telah disediakan, juga pertanyaan yang diajukan oleh para juri yang sebagian besar berasal dari Bapedalda dan mantan peserta Putri Indonesia dari Kalimantan Barat. Para juri hanya bertanya "Apa yang akan anda lakukan untuk……..", bukan " Apa yang telah anda lakukan untuk..". Sungguh pertanyaan yang sangat teoritis, padahal jika kembali pada upaya pelestarian alam, maka kita akan berhadapan dengan sesuatu yang tidak sekesar teori.

Saya sempat terpaku, ketika para kandidat duta lingkungan menjawab pertanyaan dengan sangat gemulai. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya, mengapa mereka sama sekali tidak terlihat bersemangat ketika menyampaikan ide tentang pelestarian alam ? Mereka begitu gemulai, seperti menjaga penampilan mereka di mata penonton, sekali lagi saya bertanya pada diri saya, benarkah ini pemilihan duta lingkungan, pemilihan sosok yang akan menjadi ikon upaya pelestarian alam, sebuah pekerjaan yang tidak gampang dan menuntut semangat serta perjuangan yang besar.

Ajang pemilihan duta lingkungan adalah sebuah ajang bergengsi. Tidak itu saja, kegiatan ini juga merupakan wujud kepedulian terhadap pelestarian alam. Orang yang terpilih menjadi duta lingkungan akan mendapatkan penghargaan, sekaligus kesempatan untuk dihargai pendapatnya secara lebih besar oleh instansi pemerintah dan swasta maupun masyarakat. Mengapa apreasiasi sebesar ini tidak diberikan pada pemuda dan pemudi yang benar-benar telah bekerja dan berupaya untuk melestarikan alam ? Ada begitu banyak aktivis lingkungan atau pemuda-pemudi daerah yang telah berjuang demi kelangsungan kelestarian hutan. Bukankah dengan penghargaan sebesar ini akan memudahkan mereka melangkah dan menjalankan program pelestarian alam.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana masyarakat adat Kayaan berjuang mempertahankan kelangsungan hutan di daerah Kapuas Hulu dari tajamnya chinsaw PT. TBS yang mengantongi izin untuk pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Mereka melakukannya bukan sekedar untuk kompetisi, tapi karena kecintaan mereka akan hutan dan lingkungannya. Mengapa gelar duta lingkungan tidak dianugerahkan kepada pemuda atau pemudi masyarakat Kayaan atas perjuangan mereka. Bukankah para generasi mudanya tentu ikut serta dalam perjuangan itu ? Atau mereka, aktivis lingkungan yang berjuang keras untuk membantu masyarakat dalam menjaga hutan dan kekayaan alam lainnya.

Bukankah mereka telah begitu banyak mengorbankan waktu, tenaga dan pemikiran mereka untuk alam. Mereka tidak hanya sekedar tahu tentang Kalpataru atau Adipura yang menjadi pertanyaan para juri pemilihan duta lingkungan, tetapi mereka benar-benar tahu tentang masalah pelestarian hutan, bahkan telah melakukan lebih dari apa yang bisa kita lakukan. Mereka adalah orang-orang yang menanamkan tenaga dan pikirannya serta seluruh pengetahuannya pada upaya pelestarian alam. Mereka bukan hanya baru berpikir tentang ‘apa yang akan’ tetapi mereka ‘telah melakukan’ upaya pelestarian, jauh sebelum kompetisi ini dilakukan, bahkan mungkin jauh sebelum kompetisi pemilihan duta lingkungan ini direncanakan.

Saya berharap semoga prosedur pemilihan duta lingkungan Kalbar dapat kembali dicermati, agar benar-benar kembali pada hakikat upaya pelestarian alam. Sekaligus menjadikan ajang ini sebagai penghargaan terhadap orang-orang yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan seluruh umat manusia. Namun, pemilihan duta lingkungan Kalbar 2007, telah dilakukan. Semoga saja duta-duta ini mampu belajar dan berbuat lebih baik untuk alam, mampu memberikan ide-ide cemerlang dan bekerja keras untuk upaya pelestrian alam. Tidak sekedar menjadi pelaksana program pemerintah, namun dapat ikut berjuang bersama masyarakat untuk mempertahankan kelestarian alam.
Borneo Tribune, lupa tglnya...

Kekuatan Tulisan


Oleh : Hardianti

"Kalau kamu mencurahkan tenaga untuk menulis, seluruh dunia akan mendukungmu"
Kata-kata itu lahir pena Pramudya Ananta Toer, seseorang yang telah matang ditempa pahit dan manisnya masa-masa sebagai penulis. Berlebihan mungkin, karena tak selamanya seluruh dunia akan mendukung lahirnya sebuah tulisan. Apalagi tulisan itu berpotensi untuk merobohkan sebuah bangunan birokrasi atau pemerintahan yang pada dasarnya telah bobrok nilai. Terlalu banyak kepentingan-kepentingan yang akan bermain dan menghalagi lahirnya sebuah tulisan. Keadaan ini dimengerti benar, bahkan dialami sendiri oleh Pram, yang menulis ungkapan tersebut.

Namun, bukanlah tanpa alasan seorang Pramudya Ananta Toer menulis frase yang seakan-akan menyanjung seorang penulis hingga ke atas awan tersebut. Dukungan dunia, bukanlah hal pertama yang diperlukan dalam menulis. Ada begitu banyak nama-nama penulis dalam sejarah Indonesia yang tetap memilih untuk menulis meski tanpa dukungan dan berada dalam keadaan terkekang. Ide-ide brillian mereka justru terlahir saat mereka merasakan dinginnya sel penjara, kejamnya tempat-tempat pembuangan atau ditengah pahitnya menjadi orang yang diasingkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ide pendirian, bahkan pendiri negeri ini sendiri berasal dari mereka yang telah begitu terbiasa berkarya dalam keterkekangan, tanpa dukungan.

Lantas apa yang utama dalam menulis ? Pram telah menjawab dalam kalimatnya yang pertama "mencurahkan tenaga untuk menulis". Hal yang paling utama adalah kesadaran untuk mencurahkan tenaga dan pikiran dalam proses kelahiran sebuah tulisan. Layaknya persalinan, selalu ada kesakitan dan dampak yang akan dihadapi sang penulis. Namun, kebahagiaan setelah melihat janin itu berwujud menjadi sesuatu yang lebih besar dan bermakna akan menghapus semua ketakutan pada sebuah proses. Sebab, tulisan bukan hanya deretan kata-kata kosong yang berbaris dalam lembar-lembar kertas, tapi tulisan mempunyai jiwa yang memiliki makna dalam setiap pilihan diksinya. Dengan sendirinya, tulisan itu akan berjuang untuk mencapai tujuan yang telah dititipkan sang penulis, kini tujuan telah menjadi tanggung jawab tulisan itu sendiri.

Penulis dengan tulisannya memiliki cara sendiri dalam berjuang. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam membangun kesadaran kebangsaan, dapat dikatakan bahwa para penulis merupakan pondasi sekaligus pilar yang menegakkannya, bahkan menjadi rahim yang melahirkan ide-ide nasionalisme. Tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika kita kembali membaca kisah hidup seorang R.M.Tirto Adhi Surjo, yang dikenal sebagai Bapak Pers Nasional. Dalam hidupnya, dia pernah menjadi orang yang paling diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan dia adalah lelaki yang harus dibuang dan dijauhkan dari kehidupan bangsanya. Bukan karena dia dengan gagah berani mengangkat senjata dan meledakkan gudang-gudang persenjataan Belanda. Bahkan dia adalah seorang lelaki dengan ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dari teman-teman pribuminya. Alasannya hanya satu, penanya menghasilkan tulisan yang mampu membuat rakyat pribumi terbangun dari tidur lelapnya. Tulisannya dengan mudah menjalar dan mengobrak-abrik mimpi indah masyarakat pribumi tentang kekayaan alam Nusantara. Dia menyadarkan mereka bahwa saat ini alam itu sedang dijarah oleh kekuatan asing, bahkan bukan hanya alam, kemerdekaan dan martabat merekapun sedang dirampas.

Tulisan Tirto dengan sendirinya melakukan fungsinya sebagai alat perjuangan. Layaknya penyebaran virus, kekuatan kolonial sekalipun tidak mampu membendung terjangan tulisan Tirto. Sedikit demi sedikit rakyat pribumi mulai terbangun dan sadar, kemudian bergerak melawan, melampaui batas etnik, budaya dan agama, hingga melahirkan pergerakan.

Contoh serupa juga diberikan dengan sangat manis oleh seorang R.M. Soewardi Surjaningrat lewat tulisannya yang berjudul "Ik eens Nederland Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda). Sebuah tulisan yang dengan tajam mengkritik cara berpikir pemerintah kolonial Belanda. Tulisan itu menentang kebijakan pemungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat pribumi untuk membiayai peringatan kemerdekaan Belanda yang ke 100 tahun. Tulisan Soewardi ini selain disajikan dengan nada yang provokatif, juga dinilai memuat kesadaran politik dan sosial yang tinggi terhadap kebijakan Pemerintah serta keadaan masyarakat pribumi. Bahkan dianggap sebagai esay paling tajam yang pernah ditulis hingga waktu penerbitannya. Sama seperti kasus Tirto, pemerintah kolonial pun tidak sanggup untuk membendung dampak tulisan Seowardi, kendati telah mengumumkan larangan beredar serta penyitaan besar-besaran terhadap pamflet tersebut. Sekali lagi, pemerintah Belanda harus terpukul oleh karya tulis putra-putra terbaik Nusantara.

Perjuangan tulisan masih terus berlanjut, bahkan pena itu sedang berada di dalam genggaman seorang Raden Ajeng. Wanita lembut yang menuangkan kebesaran cita-citanya dalam deretan tulisan yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat Eropanya. Kartini menuangkan cita-citanya dalam bentuk tulisan yang berbeda. Jika Tirto dengan ciri kegarangan tulisannya, Soewardi dengan gaya tulisan sopan khas keraton Pakualaman, namun tepat menohok jantung, maka Kartini lebih memilih untuk menelusup dalam relung-relung hati yang lembut.
Tulisan-tulisannya hanya berupa surat-surat dalam kegiatan korespondensi dengan teman-teman wanitanya yang berasal dari Eropa. Namun, kekuatan makna dan ketulusan serta petualangan idenya dalam raga yang terkungkung, mampu menjadi sumber inspirasi bagi berjuta-juta manusia, bahkan hingga ratusan tahun setelah keberadaannya. Kartini adalah sosok lain dari sejarah perjuangan tulisan mencapai sebuah tujuan yang besar.

Tulisan memang sebuah fenomena. Sesuatu yang tak pernah bisa ditebak dan diprediksikan dampak selanjutnya. Begitu tulisan itu tercipta dan sampai ke masyarakat, maka dia akan menemukan bentuk perjuangannya sendiri. Dia dengan kekuatannya mampu membentuk opini masyarakat, bahkan melampaui kemampuan penulisnya dalam meyakinkan orang lain dengan ucapan kata-kata. Tulisan adalah sebuah alat perjuangan yang dahsyat dan memiliki daya ledak yang tinggi, melebihi senjata manapun yang pernah tercipta. Tak jarang sebuah tulisan dapat terus berbicara dari generasi ke generasi membawa cita-cita penulisnya, meskipun sang penulis sendiri telah menyatu dengan tanah airnya. Maka, tentu bukan sesuatu yang berlebihan jika dalam novel tetralogi buruh, Pramudya Ananta Toer menulis bahwa "orang boleh pintar setinggi langit diangkasa, tapi selama dia tidak menulis dia akan hilang dalam peredaran peradaban dan sejarah". Oleh sebab itu, menulis adalah sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang besar yang tak lekang oleh waktu dan dapat melompati batas-batas primordialisme. Namun, lebih dari itu, tulisan harus mengandung kekuatan kebenaran yang diperjuangkan dengan penuh kesadaran. Sebab, tulisan pada hakikatnya adalah "bekerja untuk kebadian".
Borneo Tribune, lupa tanggalnya...

Pendidikan Alternatif Untuk Anak-Anak Jalanan

Oleh : Hardianti


"Sinar matahari terasa menyengat, maklum waktu telah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Asap kendaraan dari berbagai jenis dan merk, terasa menusuk hidung dan sesak memenuhi rongga dada. Namun, bocah-bocah ‘lampu merah’ tampak tak merasakan kondisi yang sama sekali tak menyenangkan itu. Mereka berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain sambil mengadahkan tangan. Baju mereka lusuh, begitu juga dengan tubuh mereka. Seorang anak menghampiriku. Penampilannya tak kalah lusuh dengan anak-anak lain, rambutnya coklat kepirang-pirangan, akibat terpanggang sinar matahari, begitu pula dengan wajahnya yang hitam dan kotor. Namun, gurat-gurat kebocahan tampak jelas pada wajah dan bening matanya yang menatapku.

Di lain waktu, hujan deras menyelimuti kota. Aku menggigil kedinginan sambil menyumpahi lampu merah yang menyala tepat di jalur yang aku lalui. Namun, sumpahku tak terselesaikan, begitu mataku dipaksa memperhatikan tingkah bocah-bocah ‘lampu merah’. Mereka tersenyum menang, sambil menikmati air yang membasahi tubuh mereka, melompat, berlari dan berpindah-pindah dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Dapat dibayangkan bahwa tengadahan tangan mereka tak akan membuahkan apa-apa, karena para pengendara terlalu tak kuasa untuk membuka jas hujan dan dompet mereka hanya demi seorang anak ‘lampu merah’ yang entah dari mana asalnya".

***
Sepenggal cerita diatas adalah sebagian kecil gambaran tentang kehidupan dan aktivitas anak-anak yang ‘berkarya’ di perempatan jalan raya. Mereka menggunakan nyala lampu merah untuk mengadahkan tangan dan meminta belas kasihan dari para pengendara yang berhenti. Tentu saja belas kasihan itu mesti diwujudkan dengan recehan uang yang tak seberapa jumlahnya. Di Kota Pontianak, ada begitu banyak anak-anak lampu merah yang bertebaran di sejumlah ruas jalan utama, meski belum ada data yang lengkap mengenai kepastian jumlah mereka. Namun, jumlah tersebut akan sangat terasa bila melewati sejumlah perempatan jalan di kota Khatulistiwa ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa komunitas anak-anak ini adalah sebagian dari wajah kota khatulistiwa, bahkan wajah Indonesia dalam lingkup yang lebih luas. Layaknya anak-anak lain, mereka juga punya andil yang besar dalam menentukan masa depan daerah dan bangsa Indonesia. Sebab, mereka adalah bagian dari generasi muda yang akan menggantikan pemimpin-pemimpin sekarang ini. Dengan kondisi yang demikian, rasanya tidak mungkin mengharapkan kemajuan daerah ditulis oleh tangan mereka. Dalam usia yang begitu belia, mereka sudah diharuskan memanggul beban kehidupan yang berat, terutama masalah perekonomian keluarga. Bahkan, banyak diantara mereka yang tidak sanggup membagi waktu dan kekuarangan biaya, lantas merelakan masa-masa pendidikannya.

Hal ini harus disadari oleh seluruh elemen masyarakat, mengingat masa depan generasi muda dan bangsa ini adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu keadaan anak-anak ‘lampu merah’ yang minim akan pendidikan harus dijadikan perhatian khusus dan dicarikan solusinya. Ada banyak program pendidikan yang selama ini dicanangkan, mulai dari bea siswa, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, hingga dana Operasional Sekolah dan lain sebagainya. Namun, tampaknya program-program tersebut belum banyak menyentuh area pendidikan untuk anak-anak ‘lampu merah’. Penyaluran bantuan seringkali tidak dapat mencapai mereka, sebab kebanyakan dari mereka sudah tidak bersekolah lagi.

Memang merupakan suatu hal yang sulit untuk membawa anak-anak yang putus sekolah untuk kembali duduk di bangku pendidikan formal. Mereka mempunyai tanggung jawab dan beban ekonomi yang harus mereka tunaikan. Ketika memasuki area ekonomi, maka hal tersebut sulit untuk dikompromikan, karena tidak hanya menyangkut kehidupan mereka sendiri, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Sebaliknya masyarakat tidak bisa tinggal diam menerima kenyataan bahwa ada banyak generasi muda yang tetap hidup dalam kebodohan di masa depan. Oleh sebab itu, harus ada sebuah metode pembelajaran yang bisa dijadikan pendidikan alternatif bagi anak-anak ini, ditengah aktivitasnya yang tidak mengenal kompromi.

Pembangunan rumah singgah dapat menjadi sebuah pilihan untuk pendidikan mereka. Tempat ini tidak semata-mata untuk melepas lelah bagi anak-anak jalanan. Rumah singgah yang dimaksud adalah sebuah tempat yang dapat dijadikan sebagai sekolah alternatif untuk mereka. Artinya, ada sejumlah kurikulum pembelajaran yang disusun dalam metode yang sesuai dengan kondisi dan aktivitas anak-anak jalanan. Metode tersebut lebih ditekankan pada cara belajar mandiri. Sebab, tidak mungkin menciptakan suasana belajar yang sama seperti di sekolah, mengingat anak-anak ini sulit dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Oleh sebab itu diperlukan sarana dan prasarana belajar yang mampu mendukung metode ini.

Paling tidak, ada sebuah perpustakaan mini dan alat-alat tulis yang dapat digunakan oleh anak-anak ini, ketika mereka berkunjung ke rumah singgah. Buku-buku yang disediakanpun harus menunjang kurikulum dan program-program pembelajaran yang dikembangkan pada mereka, selain buku dan media lain yang dapat memberikan pengetahuan umum. Meskipun metode pembelajaran yang dikembangkan cenderung menekankan pada kemandirian, anak-anak ini tetap saja memerlukan guru untuk mengajari dan mengevaluasi hasil belajar mereka. Hanya saja, guru-guru ini diharapkan dapat lebih bertindak sebagai teman sekaligus mentor. Karena kondisi belajar dan aktivitas mereka tidak dapat disamakan dengan siswa-siswa sekolah umum, maka perlakuan untuk merekapun tidak sama dengan siswa-siswa tersebut.

Selain itu, peran guru-guru tersebut sangat penting untuk memantau perkembangan keilmuan anak-anak ini. Semua itu diperlukan untuk memudahkan mereka dalam proses belajar, sebab akan sulit bagi mereka untuk lebih banyak mengorbankan waktu demi belajar. Kondisi inilah yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam penyediaan fasilitas dan merancang metode belajar untuk komunitas anak-anak jalanan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dalam pikiran mereka. Maka, menjadi tugas para aktivis pendidikan dan masyarakat untuk menumbuhkan rasa cinta dan semangat belajar tersebut pada mereka.

Anak-anak ini seharusnya memiliki kesempatan yang sama seperti anak-anak lainnya. Kemampuan merekapun mungkin sama, bahkan lebih dari anak-anak yang dapat mengecap bangku pendidikan formal. Hanya saja, mereka terlahir sebagai anak-anak yang harus memikul beban kehidupan yang lebih berat. Oleh sebab itu, semua masyarakat berkewajiban untuk memberikan kesempatan belajar pada mereka, karena tidak menutup kemungkinan bahwa diantara anak-anak yang sedang berkeliaran di jalanan itu, ada bibit-bibit pemimpin yang selama diharap-harapkan bangsa Indonesia.


Borneo Tribune, lupa tanggalnya....

Thursday, February 28, 2008

Dewasa...

“ Kenapa manusia harus dewasa dan berlari menuju kehancurannya sendiri “.

Begitu sebuah pertanyaan yang kubaca dari serial komik histori karya Ryoko Ikeda. Judulnya Rose of Versailles. Waktu itu, umurku 12 tahun, tepat ketika aku duduk di kelas 1 SMP. Rose of Versailles adalah salah satu judul komik favoritku. Bahkan hingga saat ini, dia punya tempat khusus dalam ingatanku.

Komik itu bercerita tentang seorang putri bangsawan tinggi dari kerajaan Perancis, namanya Oscar De Jarjayes. Sesuai dengan namanya, meskipun putri bangsawan, Oscar tidak dididik layaknya seorang lady. Oscar dibesarkan sebagai laki-laki tepatnya prajurit. Semua itu terjadi karena ayah Oscar, Jenderal De Jarjayes tidak memiliki putra, sementara dia membutuhkan penerus. Hanya ada satu jalan yakni mendidik salah satu putrinya sebagai prajurit yang akan menggantikannya kelak. Dan Oscar, si bungsu dari 7 bersaudara inilah yang harus mengorbankan statusnya sebagai perempuan demi meneruskan posisi yang Ayah.

Oscar adalah prajurit yang luar biasa cerdas, diusia yang belia dia telah mampu menjadi komandan pasukan kavaleri, sebuah satuan pasukan elit di kerajaan. Bukan lantaran Oscar adalah anak dari panglima tertinggi, namun dia mendapatkan semua itu karena kemampuannya yang memang diatas rata-rata. Oscar memiliki seorang sahabat sekaligus pengawal bernama Andre Grandier. Sejak kecil Andre telah menemani Oscar, bahkan dia bersumpah untuk menjaga Oscar selamanya. Andre merasa berhutang budi pada keluarga Oscar yang telah membesarkan dan menolong dia dan neneknya. Bukan hanya karena itu, sejak kecil Andre jatuh cinta pada Oscar.

Oleh sebab itu pula, ketika revolusi Perancis pecah pada 1789, Andre tetap berada di samping Oscar yang kemudian memutuskan untuk menentang kerajaan dan memilih untuk membela rakyat Perancis. Oscar tak rela membunuh rakyat Perancis, dia memilih untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya dan dibuang dari lingkungan kerajaan. Hanya Andre yang tetap disampingnya. Saat akan berperang, di atas kuda putih yang ditungganginya, Oscar berkata :

“ Dre, setelah perang ini selesai, kita menikah...” Oscar membayangkan, bahwa dia dan Andre akan hidup tenang di desa yang jauh dari permasalahan politik dan kekuasaan.

Andre kaget, tapi bahagia. Dia menatap Oscar yang kemudian melesat ke depan memimpin perang revolusi besar itu. Di hari yang sama, mata-mata kerajaan mengetahui bahwa Oscar adalah kekuatan utama prajurit rakyat. Mereka mengincar nyawa Oscar. Tembakan diarahkan padanya, tapi prajurit cantik berambut perak itu mampu menghindari setiap tembakan yang datang. Namun, dia tidak menyadari bahwa sebuah peluru sedang berlari menuju jantungnya. Andre yang melihat tembakan itu, tak ada jalan lain, diapun menyerahkan dadanya sebagai tameng nyawa Oscar. Ketika itulah Andre tumbang bersamaan dengan robohnya semua bangunan harapan yang mereka sematkan. Saat-saat seperti inilah yang membuat Oscar berpikir :

“ Kenapa manusia harus dewasa dan berlari menuju kehancurannya sendiri ?”.

Dewasa berarti kehancuran. Mungkin.
Waktu kecil, Oscar tak pernah protes sedikitpun ketika dia lahir sebagai perempuan, namun dibesarkan sebagai laki-laki. Tapi, dia mulai merasa bahwa semua itu tak adil ketika dia mulai dewasa dan mengenal cinta. Oscar harus kehilangan cinta pertamanya, Van Versent, hanya karena pemuda itu menganggap bahwa Oscar terlalu kuat dan tegar untuk dicintai sebagai wanita.

Ketika kecil, Oscar bisa tak peduli pada penderitaan rakyat, karena dia dibesarkan dan dilatih sebagai pasukan elit kerajaan. Tapi kesengsaraan rakyat Perancis mulai membuatnya galau ketika dia beranjak dewasa dan berpikir tentang kehidupan.

Saat kecil, Oscar tak perlu merasa sangat tersiksa karena kehilangan Andre. Sebab, Andre selalu berada di sisinya, tak sekalipun pernah meninggalkan Oscar. Namun, semua itu menjadi luka yang sangat menyiksa ketika dia dewasa dan memahami bahwa Andre bukan sekedar sahabat, tapi juga sandaran hati dan orang yang sangat dicintainya, di saat yang sama Andre harus pergi selama-lamanya. Semuanya menjadi begitu tidak adil ketika dia dewasa.

***

Pertama kali aku membaca pertanyaan itu, aku berpikir bahwa Oscar salah, karena dewasa berarti pintu untuk bebas. Bebas menentukan menentukan hidup, mengambil keputusan dan bebas dalam segala hal. Kamu bebas menentukan untuk sekolah dimanapun. Meski NEM-mu tinggi, kamu tidak dipaksa untuk masuk ke sekolah favorit, bebas untuk menentukan apa yang ingin kau lakukan, dan bebas untuk memilih jalan yang sesuai dengan hatimu. Pendeknya, waktu itu aku mengambil sebuah kesimpulan bahwa dewasa adalah kebebasan.

Sekarang aku telah dewasa. Aku berada di depan pintu itu. Hingga sekarangpun aku masih berpikir bahwa Oscar salah. Dewasa tidak berarti kehancuran. Tapi, aku mulai tak setuju dengan kesimpulanku dulu. Dewasa tak semudah yang dulu kupikirkan. Tak selamanya dewasa berarti kebebasan. Banyak sekali yang kemudian mau tidak mau harus mempengaruhi keputusan yang diambil.

Dewasa tak sekedar kebebasan untuk memilih sekolah yang kau suka, meski sekolah itu biasa-biasa saja. Dewasa tak hanya soal kebebasan untuk menyatakan bahwa kau lebih suka menjadi penulis daripada pegawai kantoran atau pernyataan bahwa kau ingin jadi dirimu sendiri.

Lebih dari itu. Dewasa menuntutmu melihat dan memahami semuanya lebih jauh ke dalam. Bukan sekedar keinginanmu, tapi juga harapan orang-orang yang ada didekatmu. Bukan sekedar bahagiamu, tapi juga senyum bangga orang lain. Bukan sekedar lukamu tapi juga kecewa banyak orang. Semuanya, hingga dadamu kadangkala begitu menyesakkan, hatimu terasa begitu terhimpit. Lebih dari apa yang dulu kau rasakan saat dengan terpaksa kau langkahkan kaki menuju gerbang sekolah yang sama sekali tak pernah nangkring dalam otakmu. Lebih dari itu.

Tapi, dewasa adalah saat dimana kau mampu memberikan sesuatu untuk orang lain. Dewasa adalah waktu ketika kau mampu memahami bahwa hidup tidak terpusat pada hatimu, tapi kau adalah bagian kecil dari kehidupan itu sendiri. Saat itu pula dimana kau akan menilai pantas atau tidaknya Tuhan memberikanmu kehidupan. Aku punya kesimpulan baru tentang dewasa. Dewasa adalah tanggung jawab.


23 Februari 2008

Aku, Minggu dan Kajian itu.....

Minggu, 17 Februari 2008 kemarin, aku mengikuti sebuah kajian keislaman. Lumayan buat nambah ilmu yang memang tak seberapa ini. Aku diajak oleh Ambar, temanku. Awalnya jadwal kajian pukul 10.00 WIB, tetapi kemudian Ambar mengirimiku sebuah SMS.

“ Ass ukh dh bngon blm ? O ya!hr ni kajiany g jd jm 10,tp jm 13.ntr ambr jemput jm12.15.lg ngapa?joging yo!biar sehat.” 07: 05: 24 WIB

Aku tersenyum agak lega. Lumayan masih ada waktu beberapa jam untuk membereskan semua pekerjaan rumah. Ada cucian yang masih menumpuk, kamar yang seperti kapal Titanic di saat-saat terakhirnya dan buku-bukuku yang tak pernah diam manis di tempatnya.

Aku berjalan ke ruang tengah, melongok di depan TV sebentar melihat acara yang menjadi favorit seumur hidupku, aneka kartun. Detective Conan belum dimulai, tapi sepertinya hari ini aku harus melupakan kencanku dengan detektive imut itu, yah untuk hari ini aku ikhlas dia ditemani Ran Maori saja.

“ Ti, kalo kerje tuh cepat sikit, katenye mok pegi. Nyuci belom, makan belom. Cepat sikit kerje tuh, depan tepi pulak die” Suara ibuku terdengar merdu ditelinga, namun cukup membuatku terkesiap dan pasrah melangkah ke dapur membereskan meja makan, lalu mencuci pakaian.

Kira-kira pukul 11.00 pekerjaanku selesai. Waktunya untuk makan, mandi, sholat dan lain sebagainya sebelum dijemput Ambar. Sip, jam 12.10 selesai semuanya. 5.....10.....15 menit.... Ya ampun kemana si Ambar ? Aku manyun di ruang tengah menunggu kedatangannya.

Sekitar pukul 13.10 baru kudengar suara motornya di depan rumahku. Yup, tanpa banyak bicara kami pergi membelah kota panas dan juga diwaktu yang panas ini. Sekolah IBM tujuan kami, karena di mushola sekolah itulah tempat kajian yang akan kami hadiri.

Tiba didepan mushola itu, kami bersamaan dengan seorang wanita yang kemudian kutahu bahwa dialah yang memberikan materi dalam kajian tersebut. Kami masuk bersama. Didalam, 3 orang gadis telah menunggu sambil membaca Al Qur’an. Kami memberikan salam, lalu ritual kajian dimulai. Hafalan Qur’an 5 ayat setiap minggunya, aku bengong. ‘kan tidak menghafal, gimana harus nyetor ? ternyata aku juga harus menyetorkan hafalan pada pasanganku, yaitu Ambar. Untung saja dimulai dari surah paling akhir, An Naas. Aku menyelesaikan hafalanku, begitu juga yang lain. Lantas ada beberapa menit jedah untuk melanjutkan kegiatan berikutnya. Aku memanfaatkannya untuk memperhatikan tempat disekelilingku.
Aku belum menanyakan nama mushollah itu, yang jelas dia terletak di sebelah kiri komplek sekolah IBM, didepan asrama siswa. Bangunannya tidak besar, bahkan terlihat sederhana. Dinding dalamnya dari kayu yang dipelitur, ada beberapa tempelan didinding itu, jadwal sholat, kaligrafi dan jam dinding. Karpetnya yang berwarna hijau sudah agak terkelupas dari lantai. Di sudut belakang ada sebuah lemari kecil tempat menyimpan Al Qur’an dan mukena.

Aku jadi teringat pada masjid Al Badar, masjid sekolahku dulu. Betapa rindu memasuki dan sholat di dalamnya. Entah seperti apa keadaan dalamnya sekarang ? Beberapa tahun sudah aku tak pernah ke sana, hanya sering lewat didepannya.

Lamunanku kemudian buyar, karena aku harus memperkenalkan diri, dari perkenalan itu pula akhirnya aku tahu ketiga gadis tadi bernama Tina, War dan Indah. Wanita yang memberi materi belum memperkenalkan diri, karena dia sedang menelpon temannya. Setelah menutup telponnya, dia mempernalkan diri. Namanya Zaleha, guru di sekolah ini, dan keempat temanku ini adalah lulusan IBM, artinya pernah diajar olehnya. Berarti aku sendiri yang kesasar......

Wanita itu tampak lembut, dia kemudian menanyakan motivasiku ikut dalam kajian ini. Aku sudah menduga akan bertemu pertanyaan ini, sebuah pertanyaan yang paling aku tidak suka. Tapi pertanyaan yang seakan-akan wajib ditanyakan pada seorang anggota baru. Aku menjawabnya.

Lalu kami masuk pada sesi tafsir ayat dan materi. Materinya tentang mengenal Allah. Kami harus mencatat pendahuluan materi itu dengan huruf Arab. Waduh, tulisanku hancur sekali dan tak bisa cepat. Alhasil aku kerepotan, tapi untung saja masih bisa kuatasi.

Setelah semua selesai mencatat diapun memulai materi tadi, aku dan teman-teman lain mendengarkannya. Aktivitas itu selesai tepat saat adzan Ashar berkumandang. Kami sholat bersama-sama, Bu Zaleha yang menjadi imam. Usai sholat, kami bersalam-salaman. Meskipun kajian telah selesai, namun tak ada seorangpun dari kami yang meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian War bersuara. Dia mengeluarkan 3 pertanyaan yang dia dapatkan dari seorang temannya. Pertanyaan yang katanya harus dijawab dengan logika, tak boleh menggunakan Al Qur’an sebagai referensi. Aku bingung dengan pertanyaannya, apalagi dengan jawabannya.

“ Saya dapat pertanyaan dari seorang teman, mengapa gereja lebih menonjol dari masjid, padahal’kan Allah Maha Kuasa. Kalau dia mau membuat semua orang menjadi muslim, pasti akan sebentar saja. Jawabannya ndak boleh pakai ayat dalam Al Qur’an “ kata War

Gereja lebih menonjol dari masjid ??? O ya ??? Aku pikir penilaian ini subjektif sekali. Gereja lebih menonjol dari masjid atau sebaliknya, semuanya tergantung pada siapa yang melihatnya, dimana dia melihatnya dan kapan dia melihatnya juga dari sudut pandang apa dia melihatnya. Lalu kenapa dikaitkan dengan kekuasaan Allah untuk mengubah semua umat menjadi Muslim ? Kenapa pula tidak boleh menggunakan Al Qur’an sebagai referensi ?

“ Terus jawabannya apa ?” tanya Bu Zaleha kemudian.

“ Nah itulah letak kekuasaan Allah, dia memberikan manusia akal untuk berpikir untuk memilih jalannya sendiri ...” jawab War lagi

“ Nah, hubungannye ape ?” tanya Bu Zaleha

“ Itu, kekuasaan Allah dengan akal itu supaya kite bisa memikirkannya” katanya lagi.

Aku bengong, tak mengerti sama sekali, hubungannya dengan gereja yang katanya lebih menonjol gimana ? Sedangkan kata ‘menonjol’ sendiri belum dapat dibuktikan keabsahan penilaiannya. Otakku tak dapat menjangkau pikiran mereka, mungkin cara mereka berpikir dan menganalisa suatu pertanyaan terlalu tinggi, tidak hanya dari segi bahasa tapi juga sesuatu dibalik makna. Mungkin.....

Handphone-ku berbunyi memecah kesunyian pikiranku.

“ Ti,u ad d rmh k?kwn kn aq undngn ti “ sender Dewi 16.43.41

“ Maaf Wi, kykx tak bs, yanti agk di sui jawi. Sory honey ” balasku

Aku sedikit merasa bersalah menolak ajakannya. Sudah beberapa kali aku menolak permintaan gadis itu untuk pergi bersamanya, padahal dia baik sekali. Dewi adalah sepupuku, umurnya satu tahun diatasku. Dia gadis yang cantik, tinggi dan langsing, sangat ramah tapi juga peka terhadap perilaku dan sikap orang-orang kepadanya. Tapi setahuku, dia tidak terlalu sensitif dengan sikapku, karena dia tahu benar bahwa aku, sepupunya ini sulit dimengerti dan tidak peka dengan perasaan orang lain.

Sekitar pukul 17.00 kami bubaran dan berniat pulang kerumah masing-masing. Satu per satu anggota kajian ini meninggalkan musholla. Tinggal aku dan Ambar yang terakhir berada di sini. Ambar memboncengku dengan motornya, hanya dua meter dari teras musholla dia berhenti.

“ Kak, bannye bocor ke ?” tanyanya. Aku turun dan melihat ban motor. Benar, tak ada angin sama sekali di ban belakang motor itu.

“ Kayaknye pecah lah Mbar “ jawabku lemah

“ Ha...........dorong lah kite nih” katanya lagi

“ Dimane ade bengkel ?”

“ Depan ade “ katanya merujuk pada gang tempat kami berdiri. Dia lalu memegang stang motor, sementara itu aku mendorong dari belakang. Kami melewati gang kecil yang jalannya di semen, tapi sudah pecah-pecah disana sini. Ambar lalu bercerita tentang masa-masa dia bersekolah di IBM.

“ Dulu Ambar pakai sepeda, kalau sepeda Ambar bocor atau kempes, Ambar doronglah, kadang gak Ambar tinggalkan kalo susah” katanya mengawali cerita.

“ Pake sepeda, jaohlah ye ? Berape lamaklah Mbar ?” tanyaku

“ Dari jeruju ye.... tapi tadak gak jaoh, Ambar’kan suke nembos-nembos jalannye. 15 menet lah “

“ Wah, berarti dari SMA memang pembalaplah ye...” kataku

“ Iyelah, kite...... tapi paleng susah tuh kalau agik banjer, jeruju tuh suke banjer Kak. Ambar bincinglah sepatu Ambar. “

“ Betol, Yanti waktu sekolah kalau ujan, yanti bincing sepatu Yanti. Sayang, sepatu mahal. Waktu kuliah jak, pernah Yanti bincing sepatu Yanti. Jadi baleknye tuh, kan nebeng Nisa, Yanti tak pake sepatu, pake kaos kaki jak. Nisa jadi ngikot hehehehe. orang liat, mane duli..... kalo kaos kaki kan tak mahal” kataku lagi. Kami tertawa.

“ Kite same-same pelit ye.......” ujar Ambar sambil tertawa

“ Ye......Ambar tuh yang pelit, Yanti tadak, Yanti tuh hemat.....hehehehe” jawabku menggodanya

“ Hm....dasar, tinju nanti.....” katanya kesal

Tak terasa kami sudah sampai di ujung gang, tepat di Jl. Rais A Rahman. Bengkel langganan Ambar ternyata tutup. Dia memintaku menunggui motornya sebentar, sementara dia melihat-lihat lokasi bengkel yang lain.

“ Situ’ ade bengkel Kak” katanya menunjuk deretan ruko di sebelah kiri kami. Tak jauh, mungkin sekitar 150 meter.

“ Sip...” kataku seraya mendorong motornya. Kali ini kami berganti posisi, aku yang pegang stang, dan dia mendorong dari belakang. Kami sampai ditempat tambal ban, kami meperhatikan bagaimana ban motor itu dipompa lalu direndam di dalam air. Akhirnya kami bosan, dan memilih meninggalkan tempat itu, kami mencari minuman. Tenggorokan rasanya kering sekali, hari ini aku tak membawa botol minum.

“ Sekalian cari ceres, kawan Ambar titip “ ujar Ambar sambil berjalan

“ Susah nih bejalan same emak-emak “ kataku lagi-lagi menggodanya.

“ Tinju nanti nih....” katanya bernada manja

Kami masuk ke sebuah warung, dan menemukan ceres di sana. Sayang tak sesuai dengan pesanan temannya. Kami lalu keluar dan berjalan lagi, ada sebuah warung es kecil di tepi jalan, kami memutuskan untuk membelinya. Sesuai perjanjian, tidak beli minuman yang mahal, sedang kanker stadium IV (kantong kering sekali). Setelah 5 menit memilih minuman, kami akhirnya sepakat membeli es teh sisri gula batu. Harganya Rp 600 perkantong, jadilah Rp 1200 untuk semuanya. Kemudian Ambar menelpon untuk meminta persetujuan membeli ceres yang tadi kami lihat di warung pertama, temannya setuju. Aku dan Ambar kembali lagi ke warung tersebut untuk sekantong ceres. Setelah itu lalu ke tempat tambal ban, mengambil motor dan bergegas pulang.

Dalam perjalanan kami bercerita tentang banyak hal. Ambar bercerita tentang Ayah~Y nya yang selalu mendukung dan memberinya semangat. Termasuk memberikannya banyak sekali kesempatan untuk lebih maju.

“ Die perhatian tuh same Ambar, die selalu nanyakan tugas-tugas Ambar. Pokoknye perhatianlah same Ambar. Makenye ade ape-ape Ambar pasti cerite same die. Kakak ngiri tuh..... “ gantian dia yang menggodaku

“ Siape yang ngiri ....... ? Iyelah, die ayah Ambar, ambeklah sana. Yanti cari Papah baru jak lah. Nanti Yanti bikin pengumuman ‘Siape yang mok jadi Papah Yanti yang baru?’ Yanti tempel di mading. Siape gak tau, Pak Hermansyah maok jadi Papah Yanti” jawabku asal. Ambar tertawa.

“ mane ade yang maok.....” ujarnya penuh kemenangan.

“ Kalo tak ade yang maok, udahlah, tak jadi pensiunlah Papah Yanti tuh, kite bagi dua’ jak lah ye hehehehehe “. Lagi-lagi Ambar tertawa.

Persahabatan kami memang aneh, kami sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Seringkali kalau berebut sesuatu, tak ada seorangpun diantara kami yang mengalah, hingga akhirnya kami letih sendiri. Tapi aneh, semua itu membuat kami nyaman berada di dekat satu sama lain, mungkin karena beberapa persamaan yang mendasari hidup kami.

Aku bercerita tentang beberapa mahasiswa yang nilainya banyak tak keluar, ternyata Ambar juga punya stok nama yang tak sedikit untuk masalah yang sama.

“ Heran ye, kuliah bah susah. Duet tinggal mintak, komputer ade, motor ade ape agiklah?” katanya

“ He’eh. Kite jak yang banting-bantingan carek duet maseh nak kuliah. Yanti malah pengen sekolah terus, tak taulah sampai S berape, pokoknye sampai capeklah” sambungku.

“ Samelah Kak, Ambar pon gituk gak. Tak kepikeran yang laen. Ambar nak sekolah nak kerje, banyaklah pokoknye. Banyak sekali cite-cite Ambar nih”

“ Sama dong, Yanti tuh banyangkan, nantik sarjana, trus dapat tugas belajar, bea siswa ke Perancis, waduh....... Sorbonne........”

“ Kalau Ambar Harvard, ah.......ketemu same Bill Kovach......”

Kami kemudian larut dengan impian masing-masing. Dengan impian yang tinggi sekali seperti matahari yang sedang memerah di ufuk barat itu.

“ Eh, nanti kite ketemuan ye, sekali-sekali Ambar yang ke Perancis, nantik Yanti yang ke Amerika “ ujarku agak gila

“ Oh... tenang Kak, kite ketemualah pokoknye.....”

“ Amin.....” ujar kami bersama.

Tak terasa aku dan Ambar telah sampai di depan rumahku, setelah mengucapkan salam perpisahan dan sedikit cekikikan, kami berpisah. Dia harus melanjutkan perjalanannya di sore yang hangat ini. Aku masuk ke dalam, inilah hariku, hari ini. Thanks for Today, Ya Allah.


17 Februari 2008