Monday, July 7, 2008

SMS Dari Seberang Lautan

Minggu, 22 Juni 2008, aku memilih untuk di rumah, ada hal yang harus kukerjakan dan rasanya telah lama aku menundanya. Siang, aku merebahkan tubuhku yang terasa penat di dalam kamarku, tepatnya di atas karpet palastik yang menutupi lantai semen di bawahnya.

Hampir terlelap, tiba-tiba HP nokia biruku berbunyi, sebuah pesan masuk dari seorang teman di seberang lautan. Dia bicara tentang keadaan daerah tempat dia kuliah yang saat itu sedang mengadakan pemilihan gubernur. Sepi. Apatis. Katanya.

Lalu kukatakan bahwa aku percaya kaum muda di daerahnya dapat mengawal dengan baik pelaksanaan demokrasi. Dia juga harus percaya itu.

Ya. Meski aq lampung. Aq relwn pmantau. Dan jalanan sepi, tak ad kegiatn brarti. Lesu. Tapi desa agk semarak, trtipu janji palsu. Yg trburu2,” Sender Nas 22 Juni 2008 13:24: 05, balasnya padaku.

Janji palsu, lagi-lagi semua pemilihan melakukan hal yang sama. Dari sabang sampai ujung timur Indonesia, masyarakat sudah merasa ragu dengan semua janji yang diucapkan calon-calon pemimpin. Bukan keraguan tanpa alasan, tapi rakyat negeri ini sudah terlalu lelah dengan segala hal yang berbau janji. Janji yang realisasinya nol besar.

“Janji palsu selalu ada dlm stp pemilihan, d t4ku jg. Smw itu jd bumbu dlm prjlnan bgsa. Kt sdg mencari arti dmkrasi yg sesungguhnya. Itu pljran yang brharga untuk kt’ balasku

“Ya. Dn qt hrus membyrny dgn harga mahal. Hutan borneo satu d antaranya” sender Nas 22 Juni 2008 13:35:41

“Kamu bnr. Pljrn itu mahal, sygnya ‘pemimpin’ n rakyt kita selalu sj mengulur wktu untuk mengerti, shg hutan, alam dan bdy kt trus mjdi tumbal. Hutn utk org xmantan adlh separuh nywa,tp mrk tak mngrti” akhirnya pesan panjang itu selesai, aku lantas mengirimnya.

“ Mrka mengrti, tp nafsu tlah mmbtakn ksadrn diri. Atau justru mmbutkan diri scr brjamaah-. Ironis. “ sender Nas 22 Juni 2008 13:49:28

jgn membwtku sedih, aku tak ingin bsedih hr ini. Bicr ttg hutan selalu mengundg byk cerita pilu. Bgmn dg kampg halamanmu ?”

G jauh beda. Smbilu menjerit sendu. Lmpung tk puny hutn lg.” Sender Nas 22 Juni 2008 13:57:24

Aku membaca SMSnya sekilas, lalu kemudian tak sadarkan diri. Tidur. Aku terbangun sekitar hampir pukul 5 sore. Ternyata sebelum tertidur, aku sempat mengetik sebuah pesan panjang untuknya yang belum sempat terkirim. Aku lalu memilih menu send di HP ku.

Kdg aku bpkr, jika keadaan spt ini terus, mgkn suatu saat kita hanya dpt bercerita ttg hutan pada anak cucu kt, tanpa bs mereka melihtnya lagi. Cerita kt hny akn mjdi dongeng”

Hutan, lagi-lagi aku tak bisa banyak komentar tentang hutan. Seperti hati kebanyak orang Kalimantan, hutan adalah bagian yang tak pernah dapat dipisahkan dari hidupku. Aku mulai belajar mencintai segala sesuatu yang berbau alam, ketika duduk di bangku SMA. Aku bergabung dengan klub Siswa Pencinta Alam (SISPALA) di sekolahku. Organisasi kecil, tapi sampai saat ini memiliki tempat tersendiri dalam hati. Tidak hanya petualangan, padaku diajarkan rasa cinta pada alam, hutan terutama.

Aku mulai mencari informasi tentang hutan, kerusakannya dan hal-hal lain yang sebenarnya masih sebatas pengetahuan anak kecil. Bicara soal hutan di Indonesia, sama peliknya dengan bicara soal kemiskinan dan pendidikan. Hutan di Indonesia seperti kue bakpau yang putih dan lembut, tapi dipagari dengan kawat setan tak bertepi yang siap mengahncurkannya kapan saja. Membukanya, tak ubah seperti menjalin benang kusut yang morat-marit di sana-sini.

Tak sebatas rasa cinta seorang anak SMA dan teman-temannya, yang rela mngantongi sampah dari jalanan sampai ke rumah karena tak mau mengotori lingkungan. Ada banyak hal yang terlibat. Terlalu naif, jika mengatakan cinta tak selamanya dapat melindungi, tapi itulah yang memang terjadi.

Sebentar lagi, jika keberadaan hutan tetap tak bisa dihargai, delta sungai kapuas inipun akan segera menjadi sungai besar, karena tanah gambut tak dapat menahan beban dan resapan air di zona hujan tropis. Hutan, entah berapa banyak para pencinta yang mengalirkan air mata, tapi semua itu tetap tak bisa menahan laju langkah ‘si perut gendut’ yang terus menggendutkan perutnya dengan kehancuran hutan.

Tidak hanya, Kalimantan Barat dan Lampung, Palembangpun mengalami nasib serupa. Dari cerita Nisa, temanku yang anak asli Palembang, aku tahu bahwa hutan Palembang juga sedang kritis.

“ suasananye bede dengan 4 tahun lalu waktu Nisa tinggalkan. Pas Nisa balek tuh hutannye dah banyak ilang, yang banyak malah kebun sawit. Sedih liatnye” ujarnya padaku

Nas dengan Lampungnya, yang ia katakan sembilu menjerit sendu. Lalu sahabatku, Nisa yang terdiam menunduk mengingat penggundulan hutan di kampung halamannya, Palembang. Aku di Kalimantan Barat. Kenapa ?

Aku, Nas, Nisa dan entah berapa banyak pemuda negeri ini yang terluka oleh sinshaw yang membabat hutan kami. Lampung, Kalbar, Palembang semuanya terluka.........

No comments: