Monday, July 7, 2008

Hari-hari Itu............ (2)

Jum’at, 27 Juni 2008

Hari ini kepastian operasi juga belum ada. Artinya, aku bisa meninggalkan kakakku dan pergi ke kampus dan menghadiri kongres mahasiswa STAIN Pontianak ke VII. Aku sampai sekitar pukul 09.00 WIB, acara telah dimulai , bahkan telah membahas beberapa hal. Pesertanya ternyata tak begitu banyak, ku pikir tak sampai 100 orang, juga tak semeriah tahun-tahun sebelumnya.

Belasan orang anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) berpakaian lengkap menjaga setiap sudut aula setiap kali digelar kongres, tapi tidak tahun ini. Tak ada seorangpun yang terlihat, mungkin hanya perwakilannya yang berada di dalam, itupun menggunakan pakaian biasa.

Kongres berjalan alot, membahas tata tertib sidang.. Suasana sempat panas. Seorang peserta kongres dari perwakilan salah satu UKM maju ke depan dan merampas microphone dari presidium sementara ke 2 dan menyerahkannya pada presidium pertama. Presidium kedua dianggap lancang karena langsung mengambil alih sidang tanpa melalui mekanisme yang benar, apalagi dia baru datang ke aula.

Gadis itu terdiam ketika microphone di tangannya diambil paksa. Dia duduk dengan wajah merah. Sementara yang mengambil paksa, lantas duduk sambil menggerutu dengan wajah masam setelah menyerahkan microphone pada presidium pertama.
Aku dan beberapa teman yang duduk di belakang tersenyum, sebuah tontonan, sayang bukan contoh yang dapat diteladani.

Kami kembali asyik dengan aktivitas kami, memperhatikan setiap gerak-gerik peserta kongres. Banyak hal yang kami dapatkan, paling tidak sebuah kenyataan bahwa tidak semua mahasiswa dapat menggunakan otak, etika dan ilmunya dengan seimbang. Menjelang waktu dzuhur, kongres ditunda agar peserta dapat menunaikan shalat dzuhur dan makan siang.

“ Kecelakaan sejarah neh, menu kongres kayak ginik” kata seorang teman dari salah satu HMJ.

“ Ye ke ....?” tanyaku seraya membuka bungkusan nasi di hadapanku.

Nasi putih, bakwan jagung, sambal tempe dan kuah santan, tak jelas apa sayurnya. Sedangkan Hanisa, temanku, mendapatkan menu yang sama, hanya saja bakwan jagung diganti dengan telur goreng mata sapi. Aku dan Nisa tersenyum, ini bukan hal yang luar biasa untuk kami.

Di LPM, kami terbiasa berpusing-pusing ria untuk membagi uang yang seadanya agar dapat meng-cover seluruh kegiatan dengan baik, yah meskipun menunya tak pernah separah ini, paling tidak ikan goreng lah.... Tapi apa artinya ? jika lapar, toh habis juga, atau jika tak selera, kita semua bisa beli sendiri, sehari-harinya juga begitu.

Kita sama-sama tahu tentang minimnya dana untuk kegiatan mahasiswa di sebuah sekolah tinggi seperti kampus ini. Kita semua tahu, bahwa di negara ini,anggaran dana pendidikan memang menyedihkan, jadi jangan lagi permasalahkan tentang menu dalam kegiatan mahasiswa. Salahkan saja pembuat kebijakan yang memandang bahwa gaji anggota dewan lebih penting untuk dibengkakkan dari pada dana pendidikan generasi muda Indonesia.

Pukul 1.30 siang, kongres di lanjutkan. Dengan agenda masih membahas tatib dilanjutkan dengan agenda sidang dan setelah istirahat shalat Ashar dilajutkan dengan membahas UU KBM. Peserta sempat mempertanyakan kinerja MPM pada saat membahas tentang UU. MPM dinilai tidak bekerja dengan semestinya.

Beberapa hal yang dijadikan bukti, MPM memberikan kopian UU kepada HMJ dan UKM pada saat diujung kepengurusannya. Kedua, pada kopian UU itu terdapat dua ayat yang salah fatal dan tidak sesuai dengan hasil kongres tahun lalu, yakni pasal 6 yang tidak memuat ayat 4 yang seharusnya ada dan pasal 29 ayat 4 yang memabahas tentang SK dan pelantikan UKM. Ketiga, fungsi pengawasan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dinilai juga diabaikan oleh MPM, dan LPJ BEM serta kongres yang terkesan tidak siap. Hal ini melahirkan wacana tentang kemungkinan dibubarkannya MPM.

“ Gimana pendapatmu kalau MPM dibubarkan ?” tanya seorang teman.

“ Ha......? yang benar jak. Masa’ mok dibubarkan, tak biselah. Bise sangsot kehidupan oragnisasi mahasiswa di kampus kite ni “ jawabku

“ Ade pun tak dirasekan mahasiswa ” katanya lagi.

“ Itu bukan masalah MPMnye tapi disfungsi orang-orang di dalamnye. Yanti yakin semuenye bise lebih baik kedepannye, kalo memang maok. Kayak kite gak, UKM same HMJ” jawabku.

“ Hehehehehe” dia duduk di sebelahku.

Kongres untuk hari ini selasai pukul 5 sore dan akan dilanjutkan besok pagi. Aku pulang dengan Dian, peserta utusan LPM, sekaligus pimpinan redaksi WARTA. Dia cukup vokal dalam kongres tadi. Sementara, aku lebih suka duduk di belakang, mendengarkan, dan menikmati segepok cemilan yang dibawa Hanisa dari rumahnya, dan tentunya bercanda dengan beberapa teman yang juga gila-gilaan di belakang.

“ Malas, banyak yang sekedar cari sensasi” kata mereka.

Sabtu, 28 Juni 2008

Malam tadi, dokter telah memastikan bahwa hari ini operasi pengangkatan usus buntu kakakku dapat dilaksanakan. Pukul 09.00 WIB. Aku tak bisa ke kampus untuk mengikuti kongres lanjutan, operasi kakakku lebih penting untukku saat ini. Maaf, teman-teman. Tadi malam aku juga tak tidur semalaman, untung seorang teman bersedia menemaniku meskipun hanya suaranya yang terdengar di seberang sana. Lumayan, dia dapat mengisi kekosongan dan kebosanan di lorong rumah sakit yang kaku ini.

Pagi, aku keluar dari ruang perawatan, karena sudah waktunya petugas kebersihan untuk membersihkan kamar pasien. Keluarga pasien diperbolehkan masuk lagi pada pukul 09.00 WIB. Aku menunggu di ujung lorong, sendirian. Abangku, yakni suami kakak, sudah menyatakan bahwa dia tak bisa menemani istrinya. Dia tak tega melihat wanita yang telah menjadi ibu dari kedua gadis kecilnya itu terbaring lemah di bawah pengaruh obat bius, atau menyaksikan bagaimana pucatnya wanita cantik itu ketika di dorong menuju ruang operasi. Aku saja tak tega, tapi kenyataan seringkali memaksa kita untuk memenangkan pertempuran melawan perasaan.

Pukul 08.30 WIB, aku melihat seorang perawat mendorong kakak yang telah duduk di kursi roda, lengkap dengan baju operasinya menuju ke arahku. Wajahnya pucat, kakak sama sekali tak tersenyum, tapi bibirnya terbuka sedikit. Sorot matanya sendu menatapku. Tuhan, aku tak berkata apa-apa, selain mengikuti gerak langkah perawat itu menuju ruang operasi.
Kakak segera di dorong masuk ke ruangan itu, sementara aku ditahan di luar.

“ Sampai sini ya mbak “ kata perawat.

“ Iya “ jawabku pasrah.

Di depan ruangan itu, mungkin sekitar 30 an orang duduk berjejer, hingga kursi yang disediakan tak dapat menampungnya. Aku berdiri, tak berminat untuk memulai pembicaraan dengan siapapun. Di samping ruang operasi itu ada sebuah tangga menuju lantai I, lalu ruang ICU. Orang-orang yang banyak ini mungkin bukan hanya keluarga pasien yang dioperasi, tapi juga ada yang menunggui keluarganya di ICU. Seorang wanita duduk di sampingku dengan dua anak perempuannya, yang satu berusia sekitar 17 tahun, dan satunya lagi mungkin sekitar 5 tahunan. Dari pembicaraannya, aku mengetahui bahwa wanita itu sedang menunggui ibunya yang belum sadarkan diri di ruang ICU karena kecelakaan tabrakan.

Beberapa belas menit kemudian, aku melihat seorang wanita muda dari etnis Tiong Hoa yang juga di dorong ke ruang operasi. Dia berbaring dengan wajah kesakitan, dan kelihatan merah. Perutnya besar, dia akan melakukan operasi caesar.

Satu jam kemudian, aku menyaksikan seorang bayi laki-laki yang digendong ibunya juga menuju ruang yang sama. Ditangannya yang kecil dilekatkan pipa infus dan tepat didepan pintu ruang operasi, seorang perawat meminta si ibu menyerahkan bayi mungil itu. Si Ibu pasrah melepas gendongannya dan menyerahkan si mungil pada perawat. Hanya selang beberapa menit, seorang lelaki dengan pakaian lengkap dinas operasi keluar dari ruangan operasi menghampiri si ibu. Dia membawa topi dan kaus kaki rajutan bayi, lalu menyerahkan pada ibu bayi itu. Sebuah pemandangan yang mengharukan buatku. Seorang ibu harus melepaskan bayinya yang begitu kecil dan lemah memasuki ruang yang terkesan ‘ganas’ untuk menghadapi berbagai bentuk pisau bedah. Bukan sebuah hal yang mudah untuk dihadapi.

“ Kak, belom selesai ke ?” sebuah suara mengejutkanku. Adik dan bapakku datang dan menghampiriku. Mereka baru saja dari Universitas Tanjungpura, calon kampus adikku. Dia sedang mengurusi berkas-berkas yang diperlukannya untuk mendaftar dan mengikuti ujian masuk UNTAN.

“ belom” kataku singkat

Aku melirik penunjuk waktu di layar HP, sekitar pukul 09.15 WIB. Waktu terasa lama sekali. Tak lama kemudian, HP ku berdering. Telpon dari teman yang tadi malam ikut begadang bersamaku.

“ Gimana kakak ?” terdengar suaranya dari seberang sana.

“ Lagi dioperasi, nih lagi di depan ruang operasinya”

‘ Udah sarapan blom ?”

“ Belom dak sempat, eh, udah, udah sih tadi makan roti. ‘kan banyak tuh di tempat kakak “ jawabku.

“ Makan di jaga, ntar kamu yang sakit, iya tho “

“ Iye, cerewet “

Dia protes aku bilang cerewet. Dia lalu bercerita tentang temannya yang juga pernah mengalami penyakit yang sama seperti kakakku yang juga harus menghadapi tajamnya pisau bedah. Pembicaraan kami sempat terputus, karena aku dipanggil. Lalu kembali kami sambung, dan akhirnya harus disudahi karena dia akan sarapan.

Pukul 10....11....kakak tak juga keluar. Padahal bayi yang ibunya dioperasi caesar sudah keluar, tak lama ibunya juga keluar. Kami mulai gelisah, apalagi abangku, yang katanya tak mau menemani, tapi ternyata sejak pagi sudah mondar-mandir di sekitar ruang operasi tanpa sepengetahuanku. Pukul 11.45 melalui pintu ruang ICU, kakakku keluar. Dia terbaring tak sadarkan diri di dorong oleh dua perawat muda. Kami semua mengikutinya. Di sisi tempat tidur dorong itu, terlihat sebuah botol kecil seperti tempat cottombud. Di dalamnya diisi cairan alkohol dan.....ah.....,ada usus kakakku yang diangkat dalam operasi itu.

Kami sekeluarga mengikuti perawat tadi, namun harus berpisah di persimpangan lift. Mereka menguunakan lift pasien, sedangkan kami menggunakan lift umum. Kami kembali bertemu di ruang perawatan. Letih rasanya, aku ingin tidur. Tapi belum bisa. Aku masih harus menunggu instruksi dari dokter atau perawat tentang kakak.

“ belum boleh duduk apalagi berdiri, dan minum sampai jam 12 malam nanti. Kalo berbalik boleh, tapi di bantu. Setelah jam 1 malam boleh minum, tapi cuma 1 sendok makan setiap jam. Kalo makan jangan dulu” kata perawat.

“ Kalo buang air boleh dak mbak ?” tanya adikku konyol

“ Boleh, tapi gak boleh jalan, nanti pake pispot aja” jelas sang perawat. Adikku hanya senyum-senyum.

Sekitar 12 an kakakku sadar, tapi tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya menatap kami satu-persatu. Tapi kemudian, sedikit demi sedikit dia mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya.

Sekitar pukul 14.30 aku pulang kerumah. Aku langsung merebahkan diri di lantai ruang tengah. Dingin. Lega rasanya dapat membaringkan tubuhku. Tak lama aku melihat Hpku, ada SMS dari teman-teman di kampus. Mereka menanyakan apakah aku bisa datang ke kampus atau tidak. Aku ingin membalasnya, namun tertidur. Sore sekali, baru terbangun. Aku harus kemas-kemas, kasian ibuku, beliau juga tak boleh terlalu lelah. Malam ini aku akan tidur di rumah

Minggu, 29 Juni 2008

Ternyata cucian benar-benar menumpuk. Pakaianku, sedikit titipan dari ibu dan bapak, lalu segepok titipan dari abangku. Tulangku gempor. Semalam aku tidur subuh, meski di rumah tapi tetap saja tak bisa tidur. Insomnia. Kembali seorang teman menemaniku begadang. Terimakasih Tuhan.....

Siang, setelah semua selesai, aku ke rumah sakit menjenguk kakak, tapi tak lama. Sore aku sudah harus pulang kerumah. Malam ini juga tidur di rumah. Tidak malam, tapi subuh. Karena sekarangpun sudah subuh, tapi aku belum tidur....................

Abies...

29 Juni 2008
Menjelang subuh, tapi pikiranku masih asyik dengan dirinya.
Special thanks to ; orang-orang yang telah menemaniku begadang.

No comments: