Thursday, January 25, 2018

Ide Iseng



Kemarin saya menulis. Kebetulan sedang ada janji dengan teman-teman semasa kuliah dulu untuk membuat buku bersama. Sebuah buku yang berisi tulisan kami tentang cerita setelah kami menggantung jas almamater. Awalnya hanya sebuah ide iseng. Namun akhirnya bisa terwujud.

Saya belum tahu bagaimana rupa tulisan lain dan buku kami itu. Tapi saya percaya bahwa itu akan benar-benar bagus. Dua orang dari kami telah terbiasa dalam menangani masalah penerbitan dan perbukuan. Terimakasih untuk mereka.

Saya menyelesaikan tulisan itu di sekolah, di sela waktu mengajar. Toh, saya juga menulis tentang kehidupan saya di sekolah ini. Jadi suasananya mendukung, bahkan saat teman-teman ‘aneh’ saya mengganggu, rasanya baik-baik saja.

Cerita tulisan itu sederhana. Sangat sederhana. Kisah tentang bagaimana saya bisa menggeluti pekerjaan saya sekarang dan beberapa kasus yang saya temui selama saya bekerja. Menuliskan keseharian itu tidak mudah, tapi juga tidak sulit. Tidak sulit karena ada banyak sekali ide yang bisa dituliskan, jadi tinggal dipih saja.

Namun, ternyata tidak mudah juga. Sebab, rasanya saya tidak bisa menuliskan semua seperti yang saya alami. Saat membaca tulisan itu, selalu saja terasa ada yang kurang. Detail-detail kecil yang justru bisa memanggil kembali rasa yang mucul saat kejadian. Saya pikir itu tidak mudah, karena apa yang saya tulis itu adalah kejadian nyata. Kalau imajinasi, mungkin akan lebih mudah.

Tapi, syukurlah, akhirnya selesai juga. Mungkin tidak cukup memuaskan. Tapi untuk saat ini itulah yang bisa saya hasilkan.Walaupun begitu tetap menyenangkan rasanya. Sudah lama saya tidak menulis sepanjang ini. Memang tak begitu panjang, tapi rasanya cukup untuk kembali mengingatkan otak saya tentang bagaimanamenyenangkannya menyelesaikan sebuah tulisan yang memiliki tema tertentu. Benar-benar menyenangkan.

Saya lalu mengirimkan tulisan itu ke email teman saya untuk diedit dan di lay out hingga menjadi sebuah buku. Saya tak sabar menunggu untuk melihat seperti apa wujud dari ide iseng kami itu. Saya dengar buku kami itu akan selesai dalam beberapa hari ke depan. Saya benar-benar tak sabar ingin melihatnya. Semoga saja nanti ada kesempatan lagi untuk kami bisa menulis bersama. Benar-benar menyenangkan.

Monday, November 13, 2017

Hanya Sebuah Resah



Benarkah orang harus berbuat jujur? Atau benarkah sebuah kejujuran di perlukan? dan yang paling parah, apakah kejujuran di pakai?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terngiang dalam otakku. Dan ironisnya, aku tak menemukan bahwa negeri ini membutuhkan kejujuran. Skeptis??? Iya, memang begitu. Mau apalagi.

Suatu hari aku mengetahui bahwa laporan temanku ditolak lantaran beberapa kuitansinya dibilang tak sesuai dengan pos anggaran. Padahal, semua yang dia laporkan riil, kebutuhan yang diperlukan oleh lembaga tempat dia bekerja. Di lain waktu aku mengetahui bahwa bahwa laporanku harus diperbaiki lantaran aku memasukkan dana talangan yang memang ada karena dana inti belum dicairkan. Tapi tak boleh ada talangan, begitu katanya. Lha??? Emang selama ini harus ngutang? Emang gaji karyawan harus diutang? Bukankah lebih masuk akal kalau ada dana talangan? dan dana itu nyata adanya. Tinggal pada saat pencairan, maka dikembalikan dana tersebut. Apanya yang susah? Bukankah dalam teori akuntansi juga begitu? Lalu dimana letak salahnya?

Belum lagi masalah perumahan. Beberapa teman bercerita bahwa mereka harus meminta bendahara lembaga untuk menaikkan angka gaji di slip gajinya selama 3 bulan terakhir lantaran ingin mengambil perumahan. Aku tak menyalahkan teman-temanku. Kita ini bukan tawon yang bisa sembarangan nemplok di atap gedung dan bikin sarang disitu. Kita manusia yang butuh tempat tinggal. Kita butuh rumah. Dengan kondisi perkekonomian saat ini, harga kontrakan menjulang seperti tower Telkom. Siapa yang tak akan bermimpi untuk punya rumah sendiri? Meskipun harus kreditan, tapi pada akhirnya jadi milik pribadi. Tidak seperti ngontrak yang bertahun-tahun bayar, tetap saja milik orang dan tinggal menunggu saat naas tak mampu bayar, kemudian diusir.

Dalam kondisi begitu, perumahan yang bahkan subsidi sekalipun minta angka tertentu di slip gaji. Parahnya, sudah jadi rahasia umum bahwa slip gaji bisa dinaikkan menyesuaikan syarat si pengembang perumahan. Jadilah, si calon konsumen ramai-ramai meminta angka gaji dinaikkan. Lalu, jika itu sudah menjadi rahasia umum, semua orang tahu, kenapa tidak diturunkan saja syaratnya agar orang tak perlu berbohong? Aneh ‘kan?

Kupikir manusia tidak selamanya ingin berbuat tidak jujur. Kadangkala sistem yang diciptakan memaksa seseorang untuk berbohong. Memang tidak secara gamblang membual untuk menggasak uang orang, namun yang dalam lingkup angka di slip gaji dan kebohongan saat wawancara bank untuk proses pengambilan rumah, itu juga merupakan kebohongan ‘kan?

‘Kan tidak merugikan orang? Iya. Tapi kebohongan tetaplah kebohongan. Merugikan atau tidak, sebuah kebohongan tidak akan lantas menjadi kebenaran. Kadang aku ketakutan pada realita hidup. Aku takut terseret ke dalamnya. Dulu, aku merasa sukses bisa melewatinya, meskipun seringkali mendapat sumpah serapah saat aku memilih untuk jujur, bahkan dari orang-orang terdekatku. Kadangkala juga yang kudapatkan adalah kehilangan kesempatan yang menguntungkan. Tapi saat ini, aku malah lebih takut. Realita hidup yang semakin hari melilitku dalam sistemnya yang jahanam membuatku takut. Takut suatu hari aku akan menjadi lembek dan terseret ke dalam pusarannya.

Jangan bayangkan aku akan menjadi koruptor! Aku tak punya kesempatan untuk itu. Tuhan terlalu baik padaku. Jadi tak diberikannya aku jabatan-jabatan begitu. Hanya saja, aku takut suatu hari aku akan menjadi bagian dari orang-orang yang mengikuti sistem itu dan melakukannya tanpa merasa bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Aku takut sekali.

Saturday, November 11, 2017

Cerita Ibu Bumi



Ibu sudah terlalu tua, Nak, jangan lagi kau paksa untuk menanggung segala beban serakah
Ibu sudah terlalu ringkih untuk bertahan atas kerusakan yang kau buat
Ibu lelah disayat-sayat oleh rasa yang tak terpuaskan
Ibu letih dilukai dan diperas tanpa rasa cinta

Lihatlah, Nak…
Ibumu kering kerontang
Ibumu lara merana
Ibumu melata dan berduka

Aku terlalu lelah dan letih, Nak…
Aku bosan tersayat dan terlupa
Suatu saat aku akan murka dan melupakan segala cinta
Yang pernah ku beri

Jangan paksa aku menitikkan air mata, Nak
Untuk kematian kau yang kubesarkan dengan cinta
Jangan sakiti lagi Nak
Atau semua akan musnah

Makhluk Kecil yang Keren



“ Niiiiittttttttt”. Suara nyamuk itu benar-benar memekakkan teling saya. Di musim penghujan ini, makhluk kecil menyebalkan itu terasa seperti hantu yang siap mengganggu aktivitas berlaptop ria di malam hari. Saya tipe yang tak bisa menghirup bau aneh-aneh seperti obat nyamuk bakar atau semprot, juga bukan orang yang bisa ber-lotion anti nyamuk. Ironisnya, saya adalah tipe orang yang suka menempatkan aneka tanaman replica di kamar, sehingga nyamuk dengan mudah mendapatkan temapt bersembunyi. Jangankan nyamuk, bahkan kupu-kupu sering nemplok di kamar. Saya kadang bertanya, ini pembuat replica tanaman yang terlalu jenius, atau si kupu-kupu yang matanya minus ????

Beberapa malam sudah saya frustasi dengan si nyamuk. dan puncaknya, tadi malam saat saya aku harus menyelesaikan pekerjaan. Saya pandangi si drakula kecil itu dengan perasaan kesal. Tapi, aneh yang timbul malah perasaan kagum dalam diri saya terhadap makhluk itu. Saya merasa dia luar biasa. Amat istimewa. Tebersit pikiran bahwa Tuhan memang pilosof yang luar biasa. Segala sesuatu yang diciptakannya memiliki filosofi yang menjadi pelajaran untuk makluk yang berpikir.

Kalau anda mau belajar tentang optimisme dalam hidup, maka belajarlah dari nyamuk. Mengapa? Karena hidup nyamuk bagaikan sebuah rentetan dari tragedy. Siapa yang tidak tahu nyamuk. Di belahan bumi manapun dia dimusuhi. Tak seorang pun yang ingin didekatinya, apa lagi mencintainya. Bahaya dan kebencian telah menjadi bagian tersendiri dalam kehidupan nyamuk. Tragedi demi tragedi bahkan telah dia hadapi sebelum menjadi dirinya. Ketika dia hanya seekor jentik-jentik dia telah berhadapan dengan bahaya. Buat dia yang tinggal di genangan air, hanya menunggu waktu hingga manusia sadar untuk membuang genangan. Nah, bisa anda bayangkan saat manusia melihat genangan air itu dan membuangnya, maka tamatlah riwayat sang calon nyamuk.

Untuk dia yang tinggal di bak, tempayan, drum dan lainnya juga tak kalah malang. Kalau bak di kuras dan diganti airnya, maka habislah dia. Dan kalau orang sengaja memelihara ikan pemakan jentik-jentik, maka habis jugalah dia. Itu baru awal, kawan.

Katakanlah dia berhasil selamat, maka tahap selanjutnya tak kalah berbahaya. Saya membaca tentang nyamuk, dan tahukah anda bahwa masa menetas dari kepompong menjadi nyamuk adalah saat yang sangat berbahaya bagi mereka. Si nyamuk muda harus sukses keluar dari kepompongnya dan terbang tanpa menyentuh air. Kalau gagal, lagi-lagi tamatlah riwayatnya. Ini sayangnya, ini bukan bahaya terakhir.

Setelah sukses menjadi nyamuk, maka dia memulai petualangan sebenarnya. Nyamuk, seperti yang kita tahu menghisap darah. Itulah makanannya. Mencari makan bukan sebuah kesalahan. Tapi persoalannya adalah, siapa yang mau darahnya dihisap nyamuk? Tidak ada, apalagi manusia. Nyamuk akan selalu dihadapkan pada dilema. Mencari makan, dengan resiko kemungkinan besar mati. Manusia dengan berbagai cara selalu ingin menyingkannya. Dari anti nyamuk semprot, bakar, kertas yang dibakar, lotion, minyak serai, dan lain sebagainya. Belum lagi tepukan maut dari tangan-tangan manusia. Kalau tidak mau berhadapan dengan itu semua, artinya tidak makan. Jika tidak makan, sudah pasti mati.

Meskipun demikian, tidak ada nyamuk yang putus asa. Saya belum pernah mendengar atau membaca tentang nyamuk yang mengganti menu makanannya. Mereka tetap menghisap darah. Tidak beralih menghisap madu atau makan daun. Juga tidak ada yang pernah menulis tentang peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh nyamuk. Mereka tetap terbang. So proud and free, kata Joan Baez. Mereka rata-rata gugur saat mempertahankan hidupnya.

Dan yang paling mencengangkan adalah hidup yang mereka pertahankan dengan segala perjuangan itu hanya berusia 7-14 hari. Setelah itu, mereka akan mati. Meskipun untuk hidup yang hanya14 hari, mereka menggerakkan segala upaya untuk mempertahankannya, untuk menjalaninya dan untuk menjaganya. Dan 14 hari itu, setiap saat dia harus melewati segala perjuangan untuk mempertahankannya. Memberikan usaha terbaik yang bisa dilakukannya.

Saya mulai berpikir lagi. Rasa-rasanya saya iri pada sikap optimis nyamuk. Dalam sekian tahun waktu yang telah saya jalani, apakah saya sudah melakukan hal terbaik dalam hidup ini, meskipun sekedar untuk mempertahankannya. Atau saya Cuma sekedar hidup saja tanpa melakukan perjuangan yang berarti dan hanya menunggu sampai waktu saya habis? Ah, lagi-lagi saya berpikir.

Satu hal yang saya sepakati dalam proses berpikir saya kali ini. Kalau manusia hanya bisa putus asa jika menghadapi masalah, sepertinya dia harus belajar banyak pada nyamuk.

Pertanyaannya, apakah anda merasa hidup anda lebih tragis dari nyamuk? Kalau iya, anda boleh putus asa. Jika tidak, atau sama tragisnya, maka kita tidak punya hak untuk putus asa. Karena Tuhan telah memberikan begitu banyak kelebihan pada manusia dibandingkan nyamuk. Minimal kita tidak akan ditepuk mati pada saat makan. Iya ‘kan?
Ayo Menulis !

Membayangkan harus mengerjakan sebuah tulisan bukanlah hal yang menyenangkan untuk sebagian orang. Apalagi yang tidak terbiasa dengan aktivitas menulis, tentunya menjadi sebuah mimpi buruk yang menghantui. Dalam bayangan mereka, menulis merupakan rangkaian proses yang besar dan sangat panjang, mulai dari memikirkan ide, mengumpulkan fakta-fakta sampai menuangkannya dalam kalimat-kalimat. Jika demikian, jangankan untuk menulis, memikirkannya saja dapat membuat seperempat dari komposisi otak terasa begitu lelah. Alhasil, tak ada satu kalimatpun yang berhasil di selesaikan, kepala terasa pusing, dada menjadi sesak karena putus asa. Satu-satunya penyelesaian adalah bangun dari duduk, lalu ngeloyor pergi meninggalkan monitor computer yang pasrah membisu.

Tapi tahukah anda, sebenarnya menulis tidaklah serumit yang seringkali dibayangkan oleh banyak orang yang gagal menulis. Menulis itu adalah sebuah proses yang sangat sederhana, bahkan menyenangkan. Pernahkah anda membayangkan ada seorang teman yang begitu dengan sabar mendengarkan semua pembicaraan anda tanpa menyela satu kalipun ? atau seseorang yang mau menampung semua pikiran, dan perasaan anda tanpa protes sedikitpun ? Yah, mungkin ada, tapi rasanya sulit untuk menemukan orang-orang seperti itu.
Jangan khawatir, jika anda tak menemukannya, maka cobalah untuk menulis. Syaratnya, jangan biarkan otak anda dibodohi oleh perasaan malas dan sugesti bahwa menulis itu sulit. Persoalan dalam menulis hanyalah ‘apakah anda mau memulainya ?”. Jika anda menjawab ‘iya’ maka anda sudah membuat sebuah keputusan besar dan telah menyelesaikan masalah paling rumit dalam aktivitas menulis. Nah, selanjutnya hanyalah apa yang ingin ditulis. Bagi pemula jangan dulu membayangkan bahwa anda akan menulis catatan pinggir sebaik Gunawan Muhammad, cerpen seluwes Helvy Tiana Rosa, atau syair seimajinatif Chairil Anwar.
Namun, cobalah menulis dari hal-hal yang paling kecil dan dekat dengan kehidupan. Menulislah dengan hati. Tulis apasaja yang sedang anda rasakan, mungkin lebih tepat seperti sebuah buku harian. Jangan pedulikan dulu kaidah-kaidah yang membuat kepala mumet dengan aturan-aturan baku, tapi biarkan ide itu menjalar dengan perlahan dan santai, hingga dengan sendirinya membuat jemari menari indah diatas keyboard.
“ Aku kehilangan ide yang tadinya menumpuk-numpuk di kepalaku. Sebenarnya aku ingin menulis sebuah artikel yang bagus, tapi entah kenapa semuanya hilang begitu saja. Selain itu aku memang sedang kekurangan bahan untuk menulisnya, sudah beberapa hari ini, tak ada sebuah bukupun yang berhasiul kuselesaikan. Sebuah prestasi, ya, prestasi di puncak kemalasan seorang mahasiswi yang hamper benar-benar tersungkur dalam kemalasannya. Ironisnya, mahasiswi itu adalah aku.”
Jangan malu, menulis saja seperti itu. Tulisan yang demikian tidak menuntut penulisnya untuk berpikir keras, hanya sekedar menuliskan apa yang dirasakannya menjadi rangkaian kalimat, tepatnya seperti bicara atau bergumam. Tak perlu merasa rendah diri karena baru mampu menulis seperti buku harian. Malah tulisan-tulisan tersebut sangat penting untuk membiasakan diri menungakn ide dalam bentuk tulisan. Tulis saja apapun yang dilihat, didengar atau cita-cita yang diimpikan. Dengan begitu, anda telah membiasakan diri untuk akrab dengan bahasa tulis, sedikit-demi sedikit kepekaan anda dalam merangkai kalimat akan terbentuk dan terasah.
Jika anda mau berpikir sedikit lebih rumit, maka berpetualanglah. Kaitkan apa yang dirasakan dengan kondisi lingkungan masyarakat, keadaan politik atau ekonomi. Bebaskan saja otak untuk melakukan tugasnya. Jangan bebani dengan obsesi-obsesi lain. Apa yang dilihat atau didengar, tuangkan saja untuk melanjutkan tulisan yang telah dibuat.
“ Malas. Kata itu cukup sederhana, hanya berjumlah lima huruf, namun kata itu sangat mematikan, dan dapat melumpuhkan sebuah bangsa. Bayangkan saja, jika semua pemuda negeri ini mengatakan bahwa mereka malas menuntut ilmu, malas belajar dan berkerja membangun bangsa, apa yang akan terjadi ? Kehancuranlah yang akan menanti diujung perjalan bangsa ini. Padahal, pada hakikatnya pemuda adalah ujung tombak kemajuan masyarakat sekaligus sebagai pemegang panji-panji kepemimpinan Negara. Sejauh ini, racun malas telah membuktikan kebisaannya pada Indonesia. Banyak berita di TV dan Koran yang mengisahkan bagaimana oknum wakil-wakil rakyat merasa malas untuk memikirkan nasib bangsanya, sehingga mereka lebih memilih korupsi dari pada harus ikut-ikutan menderita bersama rakyat negeri ini. Lalu, para seniman yang malas melewati perjuangan panjang untuk sukses, sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan tampil habis-habisan seksi agar mendapat banyak penggemar, meskipun kualitas seninya masih diragukan. Semuanya berawal dari malas.”
Sekarang tulisan itu tak sekedar sebuah ungkapan bahwa si penulis sedang malas, tetapi ada unsure lain yang mengikutinya. Penulis menjelaskan bahwa rasa malas menjadi sebuah awal dari kehancuran. Dia menjabarkannya dan mengakaitkannya dengan kondisi lingkungan masyarakat. Ada kepedulian dan pesan-pesan moral yang ingin disampaikan lewat tulisan itu. Sehingga tulisan yang awalnya sangat sederhana semakin berkembang menjadi bentuk lain yang lebih dari sekedar catatan harian.
Membuat tulisan sama seperti menyusun puzzle. Semakin anda mendapatkan kepingan-kepingannya, akqn semakin dibuatnya penasaran. Begitu pula dengan menulis. Semakin anda masuk ke dalamnya, maka akan banyak hal yang ditemui, tapi justru membuat anda merasa kurang. Anda tidak dapat berhenti sampai di situ saja, anda akan semakin tertentang untuk membuat bentuk-benatuk tulisan yang lain. Semua itu membuat penulis menggunakan seluruh inderanya dengan maksimal, bukan untuk mendapat ide, tapi untuk mengembangkan ide tersebut. Sebab, pada dasarnya setiap orang memiliki gagasan, hanya saja tak semua orang berhasil untuk mengembangkan gagasan tersebut dan menuangkannya dalam bahasa tulis. Bukan berarti mereka tak mampu, hanya saja apa mereka telah memulainya ? bagi orang-orang yang mau memulai, kini saatnya untuk bekerja.
Mengembangkan dan memperkaya gagasan memerlukan wawasan. Oleh sebab itu, seorang penulis harus rajin memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Selain itu, membaca buku adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dengan menulis. Jangan memaksakan diri untuk menelan berbagai jenis buku sekaligus, tapi nikmati saja proses itu secara alami, meski jangan juga terlena dengan perasaan malas. Kebiasaan menulis dengan sendirinya akan membuat anda gemar membaca, karena anda selalu ingin mengetahui perkembangan dunia tulis menulis. Anda memerlukan pembanding, karena itu anda perlu untuk membaca tulisan orang lain, dengan begitu anda bisa mengevalusi tulisan dan mengembangkannya menjadi bentuk yang lebih matang.
Percaya atau tidak, aktivitas menulis juga membuat anda semakin peka dengan orang lain. Menulis membuat aktivisnya gemar memperhatikan dengan mengoptimalkan fungsi inderanya. Hingga tak heran jika banyak penulis yang lebih peka dengan masalah-masalah masyarakat dibandingkan dengan kelompok lain yang justru lebih berwenang. Menulis juga dapat menjadi sebuah ajang untuk memperjuangkan sebuah gagasan. Dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tulisan, dapat negitu mencengangkan dan tidak terbayangkan. Jika sebuah tulisan telah tercipta, apalagi sampai dipublukasikan, maka dia telah menjadi milik semua orang. Tulisan dapat berbicara dengan bahasanya sendiri, mempengaruhi atau mengajak orang lain berpikir. Oleh sebab itu, menulislah, karena tulisan kita akan membuat kejutan-kejutan yang tak pernah kita bayangkan. Maka, teruslah menulis.

Waktu, Sahabatku

Tak...tak...tak... begitu dentang jam berbunyi. Kian lama terasa semakin cepat, berlari dan mulai mengejar dan mengajar langkah. Ah, lama rasanya aku tak lagi bercanda dengan waktu. Tersenyum saat jarum-jarum berputar dan tertawa begitu detik terakhir tiba dan harus mulai dari awal lagi.

Sepertinya aku sudah mulai lupa kapan terakhir aku meledek waktu dan dia balas mengerjaiku. Ketika dia mendekat dan menyapa untuk membangunkanku, aku justru semakin rapat menutup mata dan membiarkan dia berjalan dengan muka yang cemberut. Dia lain waktu, dia membujuk matahari untuk lebih cepat tenggelam dan membuat bumi menjadi gelap sehingga aku harus pergi, sementara aku masih terlalu asyik dengan irama kehidupan sore. Aku hanya menatapnya dengan senyum muka kekalahan, lalu dia tertawa renyah ketika ku acungkan jari tengah sebagai tanda balas dendam.

"Aku membalasmu" teriaknya girang dan berlari riang diantara materi-materi yang maya. Aku menatapnya hingga dia hilang dalam cahaya yang tak terjemahkan.

Dilain waktu, kami duduk bersama di taman yang penuh dengan cahaya matahari. Dia bercerita padaku tentang masalalunya yang kadang tak begitu indah. Dia punya masalalu yang sangat panjang, panjang sekali. Sesekali dia menangis, sesenggukan dan menghapus air matanya dengan syal putih yang selalu menghiasi leher jenjangnya dengan manis. Tapi beberapa saat kemudian dia tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar.

Di saat yang berbeda, aku melihatnya sebagai sosok yang bengis, kejam dan tak punya hati. Seringkali kulihat banyak orang yang mengadu dan meminta dia kembali, tapi dia tak pernah menoleh sedikitpun. Kadang aku benci keangkuhannya, tapi dia tak peduli. Tapi aku tak bisa benar-benar membencinya, dia seringkali membuat kejutan-kejutan manis yang tak terlupakan. Entahlah, sulit sekali untuk mengerti dia.

Waktu, iya, aku tak ingat kpan pertama kali kami bersahabat. Aku hanya ingat, kami sering tertawa dan menertawakan sesuatu yang lain bersama-sama. Kenapa bersahabat denganku ?, katanya tiba-tiba di suatu hari yang berkabut,

"Entahlah" jawabku singkat

"Baiklah" katanyalagi. Dia pun tak pernah lagi menanyakan pertanyaan yang sama. Kami bertemu dan terus bercanda. Sampai akhirnya kami tak pernah lagi bertegur sapa. Aku ingat kata-katanya. "Aku tak bisa pergi darimu sampai kapanpun, karena kau telah memilih untuk menjadi sahabatku, waktu.
---------------------------------------

Kriteria Pasangan???

Kamis, 19 Februari 2009, kemarin di kelas Listening Speaking, kami membahas tenbtang materi seputar pernikahan. Kelas kami dibagi menjadi 3 kelompok yang akan mendiskusikan pertanyaan yang berbeda, namun masih dalam topik yang sama. Aku berada di kelompok 2 yang beranggotakan Aku dari Indonesia, Hoshito Mizutani dari Jepang, Wei dari China dan Zein dari Saudi Arabia. Pertanyaan yang harus kami diskusikan adalah : " What the most important things to choose someone as your marrige partner ?"

"Same level education" sambar Wei cepat.

Menurutnya level pendidikan yang sama sangat penting untuk memilih pasangan hidup. Sebab, kesamaan level pendidikan akan membuat pasangan saling mengerti tentang pemikiran masing-masing. Seorang sarjana tentu berbeda cara pandang dengan seseorang lulusan SMA dalam memandang sebuah masalah.

"We can connect, and I think he can understand if I want to improve my ability, or I want to work in outside or the other things, because we have same orientation about education, ability and chance" ujarnya menambahkan alasan.

Intinya adalah persamaan level pendidikan akan membuat persamaan orientasi pemikiran atau perspektif, sehingga dia lebih mudah untuk mengembangkan potensinya, tanpa harus dihalang-halangi oleh suami. Sebab si suami sendiri memahami makna pendidikan dan pengembangan diri.

Wei gadis China yang cantik. Dia sangat antusias dalam mengikuti setiap pelajaran dikelas. Aku berada dalam 3 kelas yang sama, Listening/Speaking. Reading/Writing dan Grammar. Dalam setiap kelas itu, dia selalu aktif. Dia juga memiliki pendirian yang sulit untuk ditentang. Itu terbukti pada group project beberapa minggu yang lalu. Tema project tersebut adalah Travelling. Dalam salah satu bagian, kita harus membuat perjalanan impian kelompok yang tempat tujuannya ditentuykan bersama. Wei satu kelompok dengan Khaled, Hoshito dan Jasmine. Khaled dan Hoshito memiliki tujuan yang sama, sementara Jasmine berbeda, Wei juga. Sebenarnya dalam teori demokrasi sebenarnya Khaled dan Hoshito yang menang, tapi Wei menang. Wei berhasil membuat teman-temannya setuju. Dalam kesempatan presentasi, kulihat ketiga temannya tak terlalu tahu tentang tempat tujuan perjalanan mereka yang dipilih Wei, Kenya. Ron Metzler, dosen kami sempat membiacarakan hal tersebut.

" Its my choice" katanya renyah
" Wow..and your friends agree with you?"
" Of course, I am teh winner.." katanya lagi

Yah, Wei memang gadis yang luar biasa. Kadang aku belajar beberapa hal darinya.

" Same interesting, like hobby and others" kata Zein.

Alasan zein hampir sama dengan Wei. Pasangan harus memiliki kesamaan dan itu membuat mereka nyambung dan bertahan dalam bahtera rumah tangganya. Memiliki kesenangan yang sama akan membuat mereka bahagia, karena bisa berbagi tentang banyak hal. Bisa pergi kemana saja bersama dan menghabiskan waktu dengan kesenangan yang sama. Dia juga menambahkan level pendidikan yang seimbang. Itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik.

Zein, pemuda dari Saudi Arabia. Penampilannya agak nyeleneh, sering terlambat tapi rajin mengerjakan PR. Dia juga aktif dalam beberapa kelas, dan gayanya seringkali membuat kelas terasa ramai. Kebiasaannya menggigit tutup pensil menjadi salah satu ciri khasnya yang paling menonjol. Setiap hari, jika menulis dan akan menghapus, dia menggigit tutup pensilnya yang berwarna perak dan kecil. Kadang dia mengulumnya sambil terus digigit. Dia duduk dengan santai, tapi dia akan segera mengeluarkan kertas PR nya begitu dosen datang. Dia lucu, tapi kadang membuat beberapa teman kesal, jika berada satu kelompok dengannya.

Aku dan Hoshito saling berpandangan, kemudian tersenyum.

"What...?" katanya.
" You first " kataku lagi. Dia diam sambil tersenyum dan menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan Wei dan Zein.
" The most important things is comfortable" katanya pelan
" Yup, me too" kataku menyambar