Tuesday, March 4, 2008

Pendidikan Alternatif Untuk Anak-Anak Jalanan

Oleh : Hardianti


"Sinar matahari terasa menyengat, maklum waktu telah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Asap kendaraan dari berbagai jenis dan merk, terasa menusuk hidung dan sesak memenuhi rongga dada. Namun, bocah-bocah ‘lampu merah’ tampak tak merasakan kondisi yang sama sekali tak menyenangkan itu. Mereka berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain sambil mengadahkan tangan. Baju mereka lusuh, begitu juga dengan tubuh mereka. Seorang anak menghampiriku. Penampilannya tak kalah lusuh dengan anak-anak lain, rambutnya coklat kepirang-pirangan, akibat terpanggang sinar matahari, begitu pula dengan wajahnya yang hitam dan kotor. Namun, gurat-gurat kebocahan tampak jelas pada wajah dan bening matanya yang menatapku.

Di lain waktu, hujan deras menyelimuti kota. Aku menggigil kedinginan sambil menyumpahi lampu merah yang menyala tepat di jalur yang aku lalui. Namun, sumpahku tak terselesaikan, begitu mataku dipaksa memperhatikan tingkah bocah-bocah ‘lampu merah’. Mereka tersenyum menang, sambil menikmati air yang membasahi tubuh mereka, melompat, berlari dan berpindah-pindah dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Dapat dibayangkan bahwa tengadahan tangan mereka tak akan membuahkan apa-apa, karena para pengendara terlalu tak kuasa untuk membuka jas hujan dan dompet mereka hanya demi seorang anak ‘lampu merah’ yang entah dari mana asalnya".

***
Sepenggal cerita diatas adalah sebagian kecil gambaran tentang kehidupan dan aktivitas anak-anak yang ‘berkarya’ di perempatan jalan raya. Mereka menggunakan nyala lampu merah untuk mengadahkan tangan dan meminta belas kasihan dari para pengendara yang berhenti. Tentu saja belas kasihan itu mesti diwujudkan dengan recehan uang yang tak seberapa jumlahnya. Di Kota Pontianak, ada begitu banyak anak-anak lampu merah yang bertebaran di sejumlah ruas jalan utama, meski belum ada data yang lengkap mengenai kepastian jumlah mereka. Namun, jumlah tersebut akan sangat terasa bila melewati sejumlah perempatan jalan di kota Khatulistiwa ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa komunitas anak-anak ini adalah sebagian dari wajah kota khatulistiwa, bahkan wajah Indonesia dalam lingkup yang lebih luas. Layaknya anak-anak lain, mereka juga punya andil yang besar dalam menentukan masa depan daerah dan bangsa Indonesia. Sebab, mereka adalah bagian dari generasi muda yang akan menggantikan pemimpin-pemimpin sekarang ini. Dengan kondisi yang demikian, rasanya tidak mungkin mengharapkan kemajuan daerah ditulis oleh tangan mereka. Dalam usia yang begitu belia, mereka sudah diharuskan memanggul beban kehidupan yang berat, terutama masalah perekonomian keluarga. Bahkan, banyak diantara mereka yang tidak sanggup membagi waktu dan kekuarangan biaya, lantas merelakan masa-masa pendidikannya.

Hal ini harus disadari oleh seluruh elemen masyarakat, mengingat masa depan generasi muda dan bangsa ini adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu keadaan anak-anak ‘lampu merah’ yang minim akan pendidikan harus dijadikan perhatian khusus dan dicarikan solusinya. Ada banyak program pendidikan yang selama ini dicanangkan, mulai dari bea siswa, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, hingga dana Operasional Sekolah dan lain sebagainya. Namun, tampaknya program-program tersebut belum banyak menyentuh area pendidikan untuk anak-anak ‘lampu merah’. Penyaluran bantuan seringkali tidak dapat mencapai mereka, sebab kebanyakan dari mereka sudah tidak bersekolah lagi.

Memang merupakan suatu hal yang sulit untuk membawa anak-anak yang putus sekolah untuk kembali duduk di bangku pendidikan formal. Mereka mempunyai tanggung jawab dan beban ekonomi yang harus mereka tunaikan. Ketika memasuki area ekonomi, maka hal tersebut sulit untuk dikompromikan, karena tidak hanya menyangkut kehidupan mereka sendiri, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Sebaliknya masyarakat tidak bisa tinggal diam menerima kenyataan bahwa ada banyak generasi muda yang tetap hidup dalam kebodohan di masa depan. Oleh sebab itu, harus ada sebuah metode pembelajaran yang bisa dijadikan pendidikan alternatif bagi anak-anak ini, ditengah aktivitasnya yang tidak mengenal kompromi.

Pembangunan rumah singgah dapat menjadi sebuah pilihan untuk pendidikan mereka. Tempat ini tidak semata-mata untuk melepas lelah bagi anak-anak jalanan. Rumah singgah yang dimaksud adalah sebuah tempat yang dapat dijadikan sebagai sekolah alternatif untuk mereka. Artinya, ada sejumlah kurikulum pembelajaran yang disusun dalam metode yang sesuai dengan kondisi dan aktivitas anak-anak jalanan. Metode tersebut lebih ditekankan pada cara belajar mandiri. Sebab, tidak mungkin menciptakan suasana belajar yang sama seperti di sekolah, mengingat anak-anak ini sulit dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Oleh sebab itu diperlukan sarana dan prasarana belajar yang mampu mendukung metode ini.

Paling tidak, ada sebuah perpustakaan mini dan alat-alat tulis yang dapat digunakan oleh anak-anak ini, ketika mereka berkunjung ke rumah singgah. Buku-buku yang disediakanpun harus menunjang kurikulum dan program-program pembelajaran yang dikembangkan pada mereka, selain buku dan media lain yang dapat memberikan pengetahuan umum. Meskipun metode pembelajaran yang dikembangkan cenderung menekankan pada kemandirian, anak-anak ini tetap saja memerlukan guru untuk mengajari dan mengevaluasi hasil belajar mereka. Hanya saja, guru-guru ini diharapkan dapat lebih bertindak sebagai teman sekaligus mentor. Karena kondisi belajar dan aktivitas mereka tidak dapat disamakan dengan siswa-siswa sekolah umum, maka perlakuan untuk merekapun tidak sama dengan siswa-siswa tersebut.

Selain itu, peran guru-guru tersebut sangat penting untuk memantau perkembangan keilmuan anak-anak ini. Semua itu diperlukan untuk memudahkan mereka dalam proses belajar, sebab akan sulit bagi mereka untuk lebih banyak mengorbankan waktu demi belajar. Kondisi inilah yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam penyediaan fasilitas dan merancang metode belajar untuk komunitas anak-anak jalanan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dalam pikiran mereka. Maka, menjadi tugas para aktivis pendidikan dan masyarakat untuk menumbuhkan rasa cinta dan semangat belajar tersebut pada mereka.

Anak-anak ini seharusnya memiliki kesempatan yang sama seperti anak-anak lainnya. Kemampuan merekapun mungkin sama, bahkan lebih dari anak-anak yang dapat mengecap bangku pendidikan formal. Hanya saja, mereka terlahir sebagai anak-anak yang harus memikul beban kehidupan yang lebih berat. Oleh sebab itu, semua masyarakat berkewajiban untuk memberikan kesempatan belajar pada mereka, karena tidak menutup kemungkinan bahwa diantara anak-anak yang sedang berkeliaran di jalanan itu, ada bibit-bibit pemimpin yang selama diharap-harapkan bangsa Indonesia.


Borneo Tribune, lupa tanggalnya....

1 comment:

Unknown said...

saya sangat sepakat bahwa langkah tepat untuk mengatasi persoalan pendidikan untuk anak-anak jalanan adalah dengan menyediakan wadah belajar bagi mereka, tapi saya tidak sepakat dengan istilah rumah singgah, karena istilah berkesan mendukung keputusan anak-anak jalanan untuk jauh dari rumahnya, jauh dari keluarganya, bahkan justru sebaliknya lembaga yang diciptakan dan proses pendidikan yang berlangsung harus membantu menyelesaikan persolan-persolan anak-anak jalanan dengan keluarganya. Selain karena persoalan ekonomi, hampir seluruh anak-anak jalanan yang saya dampingi di sanggar turun ke jalan karena memiliki persoalan di keluarganya.