Tuesday, March 4, 2008

Kekuatan Tulisan


Oleh : Hardianti

"Kalau kamu mencurahkan tenaga untuk menulis, seluruh dunia akan mendukungmu"
Kata-kata itu lahir pena Pramudya Ananta Toer, seseorang yang telah matang ditempa pahit dan manisnya masa-masa sebagai penulis. Berlebihan mungkin, karena tak selamanya seluruh dunia akan mendukung lahirnya sebuah tulisan. Apalagi tulisan itu berpotensi untuk merobohkan sebuah bangunan birokrasi atau pemerintahan yang pada dasarnya telah bobrok nilai. Terlalu banyak kepentingan-kepentingan yang akan bermain dan menghalagi lahirnya sebuah tulisan. Keadaan ini dimengerti benar, bahkan dialami sendiri oleh Pram, yang menulis ungkapan tersebut.

Namun, bukanlah tanpa alasan seorang Pramudya Ananta Toer menulis frase yang seakan-akan menyanjung seorang penulis hingga ke atas awan tersebut. Dukungan dunia, bukanlah hal pertama yang diperlukan dalam menulis. Ada begitu banyak nama-nama penulis dalam sejarah Indonesia yang tetap memilih untuk menulis meski tanpa dukungan dan berada dalam keadaan terkekang. Ide-ide brillian mereka justru terlahir saat mereka merasakan dinginnya sel penjara, kejamnya tempat-tempat pembuangan atau ditengah pahitnya menjadi orang yang diasingkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ide pendirian, bahkan pendiri negeri ini sendiri berasal dari mereka yang telah begitu terbiasa berkarya dalam keterkekangan, tanpa dukungan.

Lantas apa yang utama dalam menulis ? Pram telah menjawab dalam kalimatnya yang pertama "mencurahkan tenaga untuk menulis". Hal yang paling utama adalah kesadaran untuk mencurahkan tenaga dan pikiran dalam proses kelahiran sebuah tulisan. Layaknya persalinan, selalu ada kesakitan dan dampak yang akan dihadapi sang penulis. Namun, kebahagiaan setelah melihat janin itu berwujud menjadi sesuatu yang lebih besar dan bermakna akan menghapus semua ketakutan pada sebuah proses. Sebab, tulisan bukan hanya deretan kata-kata kosong yang berbaris dalam lembar-lembar kertas, tapi tulisan mempunyai jiwa yang memiliki makna dalam setiap pilihan diksinya. Dengan sendirinya, tulisan itu akan berjuang untuk mencapai tujuan yang telah dititipkan sang penulis, kini tujuan telah menjadi tanggung jawab tulisan itu sendiri.

Penulis dengan tulisannya memiliki cara sendiri dalam berjuang. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam membangun kesadaran kebangsaan, dapat dikatakan bahwa para penulis merupakan pondasi sekaligus pilar yang menegakkannya, bahkan menjadi rahim yang melahirkan ide-ide nasionalisme. Tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika kita kembali membaca kisah hidup seorang R.M.Tirto Adhi Surjo, yang dikenal sebagai Bapak Pers Nasional. Dalam hidupnya, dia pernah menjadi orang yang paling diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan dia adalah lelaki yang harus dibuang dan dijauhkan dari kehidupan bangsanya. Bukan karena dia dengan gagah berani mengangkat senjata dan meledakkan gudang-gudang persenjataan Belanda. Bahkan dia adalah seorang lelaki dengan ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dari teman-teman pribuminya. Alasannya hanya satu, penanya menghasilkan tulisan yang mampu membuat rakyat pribumi terbangun dari tidur lelapnya. Tulisannya dengan mudah menjalar dan mengobrak-abrik mimpi indah masyarakat pribumi tentang kekayaan alam Nusantara. Dia menyadarkan mereka bahwa saat ini alam itu sedang dijarah oleh kekuatan asing, bahkan bukan hanya alam, kemerdekaan dan martabat merekapun sedang dirampas.

Tulisan Tirto dengan sendirinya melakukan fungsinya sebagai alat perjuangan. Layaknya penyebaran virus, kekuatan kolonial sekalipun tidak mampu membendung terjangan tulisan Tirto. Sedikit demi sedikit rakyat pribumi mulai terbangun dan sadar, kemudian bergerak melawan, melampaui batas etnik, budaya dan agama, hingga melahirkan pergerakan.

Contoh serupa juga diberikan dengan sangat manis oleh seorang R.M. Soewardi Surjaningrat lewat tulisannya yang berjudul "Ik eens Nederland Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda). Sebuah tulisan yang dengan tajam mengkritik cara berpikir pemerintah kolonial Belanda. Tulisan itu menentang kebijakan pemungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat pribumi untuk membiayai peringatan kemerdekaan Belanda yang ke 100 tahun. Tulisan Soewardi ini selain disajikan dengan nada yang provokatif, juga dinilai memuat kesadaran politik dan sosial yang tinggi terhadap kebijakan Pemerintah serta keadaan masyarakat pribumi. Bahkan dianggap sebagai esay paling tajam yang pernah ditulis hingga waktu penerbitannya. Sama seperti kasus Tirto, pemerintah kolonial pun tidak sanggup untuk membendung dampak tulisan Seowardi, kendati telah mengumumkan larangan beredar serta penyitaan besar-besaran terhadap pamflet tersebut. Sekali lagi, pemerintah Belanda harus terpukul oleh karya tulis putra-putra terbaik Nusantara.

Perjuangan tulisan masih terus berlanjut, bahkan pena itu sedang berada di dalam genggaman seorang Raden Ajeng. Wanita lembut yang menuangkan kebesaran cita-citanya dalam deretan tulisan yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat Eropanya. Kartini menuangkan cita-citanya dalam bentuk tulisan yang berbeda. Jika Tirto dengan ciri kegarangan tulisannya, Soewardi dengan gaya tulisan sopan khas keraton Pakualaman, namun tepat menohok jantung, maka Kartini lebih memilih untuk menelusup dalam relung-relung hati yang lembut.
Tulisan-tulisannya hanya berupa surat-surat dalam kegiatan korespondensi dengan teman-teman wanitanya yang berasal dari Eropa. Namun, kekuatan makna dan ketulusan serta petualangan idenya dalam raga yang terkungkung, mampu menjadi sumber inspirasi bagi berjuta-juta manusia, bahkan hingga ratusan tahun setelah keberadaannya. Kartini adalah sosok lain dari sejarah perjuangan tulisan mencapai sebuah tujuan yang besar.

Tulisan memang sebuah fenomena. Sesuatu yang tak pernah bisa ditebak dan diprediksikan dampak selanjutnya. Begitu tulisan itu tercipta dan sampai ke masyarakat, maka dia akan menemukan bentuk perjuangannya sendiri. Dia dengan kekuatannya mampu membentuk opini masyarakat, bahkan melampaui kemampuan penulisnya dalam meyakinkan orang lain dengan ucapan kata-kata. Tulisan adalah sebuah alat perjuangan yang dahsyat dan memiliki daya ledak yang tinggi, melebihi senjata manapun yang pernah tercipta. Tak jarang sebuah tulisan dapat terus berbicara dari generasi ke generasi membawa cita-cita penulisnya, meskipun sang penulis sendiri telah menyatu dengan tanah airnya. Maka, tentu bukan sesuatu yang berlebihan jika dalam novel tetralogi buruh, Pramudya Ananta Toer menulis bahwa "orang boleh pintar setinggi langit diangkasa, tapi selama dia tidak menulis dia akan hilang dalam peredaran peradaban dan sejarah". Oleh sebab itu, menulis adalah sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang besar yang tak lekang oleh waktu dan dapat melompati batas-batas primordialisme. Namun, lebih dari itu, tulisan harus mengandung kekuatan kebenaran yang diperjuangkan dengan penuh kesadaran. Sebab, tulisan pada hakikatnya adalah "bekerja untuk kebadian".
Borneo Tribune, lupa tanggalnya...

1 comment:

anas-catkus.com said...

inspiratif.. terimakasih atas penjelasannya yang menarik dan santai tapi bermakna..