Tuesday, September 20, 2011

Kami Cemburu

Cemburu, itulah kata yang pernah diucapkan dua orang temanku. Sedangkan aku tak mengucapkannya, tapi merasa. Bagaimana tidak, Abi-merka sekarang lebih dekat dengan mahasiswanya yang baru. Di kantor Abi, selalu ada beberapa mahasiswa ‘terdekat’nya. Aku juga sewot. Di kantor Papah-ku mereka juga selalu nangkring. Abi-nya kedua temanku dan Papah-ku adalah orang yang sama. Kami memanggilnya dengan sebutan berbeda. Kedua temanku yang pertama memanggilnya dengan sebutan Abi. Aku memilih memanggilnya Papah, sedangkan seorang teman lain memanggilnya Ayah.

Sampai saat ini, kami tengah sewot, karena Abi-mereka, Papah-ku dan Ayah-dia sedang banyak penggemar. Mahasiswa-mahasiswa baru lengket pada Abi-Papah-Ayah (APA) kami. Tak terlalu berlebihan memang, sebab APA memang pandai memotivasi orang lain dengan membakar semangatnya. Tak lama mereka semua akan berkarya seperti APA. Kami juga pernah merasakan saat-saat itu.

Nah, yang buat sewot, sekarang mahasiswa-mahasiswa baru itu lah yang dimotivasi APA. Mereka hampir selalu di dekat APA. Mereka bicara di depan kami juga sebagai mahasiswa ‘terdekat’ APA. Beberapa di antaranya bercerita soal betapa baiknya APA, betapa mereka termasuk mahasiswa yang diperlakukan istimewa oleh APA, dll. Aih. Gubrak... Ah, kami lebih tahu APA, begitu seolah-olah mereka berkata. Aih.....

Lucu, memang.... Karena tentu saja kami berempat terdengar seperti anak kecil. APA sangat istimewa untuk kami. Selain dosen, kami sudah menganggapnya sebagai sahabat kami. Seringkali kami bicara tidak sebagai dosen dan mahasiswa, tapi lebih sebagai sahabat yang berbagi cerita. Itulah hal yang paling kami ingat dari APA.

Saat ini, kami berempat sudah tentu tak bisa seperti dulu lagi, selalu ada di dekat APA dan bercanda, juga mengerjakan semua tugas dari APA. Sebab, aku dan teman-teman sekarang sedang menyiapkan jalan untuk kami lewati menuju masa depan. APA tahu itu dengan baik, karena itu juga APA tak pernah menanyakan pada kami mengapa hampir tak pernah menemuinya. Yah, APA menyikapinya dengan dewasa. Tidak demikian dengan kami yang tetap saja tak rela tempat kami sebagai ‘anak-anak’ APA digantikan, meskipun dengan adik-adik kami sendiri.

Yah, sekali lagi, pasti terdengar seperti anak kecil. Tapi, seperti itulah. Sampai detik ini, kami masih merasa bahwa anak-anak APA cuma kami saja. Tidak yang lain.
Dengan (sedikit?) narsis, kami merasa bahwa kami tetap ‘anak-anak’ APA yang tak tergantikan. Sama seperti APA yang tak tergantikan di hati kami. Sebab, hati kita seperti sebuah rumah. Setiap orang dapat saja berkunjung dan duduk di dalamnya. Namun, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kamar di rumah itu. Sekali tinggal di dalamnya, tidak akan ada yang pernah menggantikannya. Di hati APA akan selalu ada kamar kami yang tidak (akan) ditinggali oleh siapapun selain kami. Dia tetap Abi-mereka, Papah-ku dan Ayah-dia. Milik kami berempat...

1 comment:

Ambaryani said...

aku merindukan saat-saat kita bersama dulu.