Tuesday, September 20, 2011

Darah Kita dan Hidup Mereka


“Yan, kwn sye kecelakaan. Kplanye bocor, nak dioperasi n btuh darah. Di PMI habis”. Begitulah sebuah SMS yang tiba-tiba masuk ke nomor HP saya. Saat itu sekitar pukul 08.00 malam, saya baru saja pulang ke rumah setelah seharian berkutat dengan bangku kuliah dan dilanjutkan dengan berjam-jam di meja operator warnet tempat saya bekerja. Saya kemudian beranjak dari tempat tidur dan meneliti nomor pengirim. Nama Puji tertera di sana.

“Gol. ape?” balas saya.

“O. Bentar agek sy jmput ke rumah. kite skalian nyari dnor. Hub kwn2 yg laen,” katanya lagi.

Saya segera mencuci muka dan mengganti baju yang seharian melekat di tubuh. Tak lama, suara motor Puji menderu di halaman rumah. Saya segera keluar dengan menenteng tas ransel kesayangan dan menggenggam Hp butut biru tercinta sambil memencet nomor kawan-kawan untuk menghubungi mereka soal darah. Malang, saat itu banyak teman-teman yang sedang di luar kota karena program Kuliah Kerja Lapangan (KKL).

Saya dan Puji berunding tentang kami harus kemana. Beberapa kali keluarga si korban kecelakaan menelpon Puji, sekedar untuk berkonfirmasi tentang keberadaan beberapa kantong darah yang mereka perlukan. Menurut Puji, temannya itu bukan berasal dari Kota Pontianak. Dia dan keluarganya tinggal di Kabupaten Sanggau yang berjarak ratusan kilometer dari ibu kota provinsi Kalbar ini. Mereka nyaris tak punya kerabat di sini. Saya dan Puji cukup memaklumi kekhawatiran mereka, apalagi si korban kecelakaan adalah anak lelaki tertua dalam keluarganya.

Kami berdua lantas membelah malam dengan deruan motor Honda Astrea butut bersejarah itu. Hujan gerimis malam membuat baju kami sedikit basah sekaligus menciptakan suasana temaram ketika ditimpa sinar lampu jalan yang sedikit redup. Tak hanya kami, teman-teman karate Puji yang juga teman si korban kecelakaan itu, juga sedang menembus hujan malam yang sama entah di sudut mana di kota Khatulistiwa ini. Tujuan kami sama, membawa kepastian tentang beberapa kantong darah yang sedang ditunggu di ruang operasi. Sementara itu, pesan via SMS terus beredar.

Saya tiba-tiba teringat warnet tempat saya bekerja. Warnet itu tak sekedar tempat berselancar di dunia maya, tapi juga tempat berkumpulnya ide-ide brilian para aktivis muda. Beberapa dari mereka sering mendonorkan darahnya, bahkan ‘kecanduan’ untuk mendonor sehingga punya kartu donor di PMI. Puji segera memutar arah motornya. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai di halaman depan warnet.

Saya segera masuk. Beberapa teman menyambut saya keheranan, karena baru sekitar sejam yang lalu saya pamit pulang dengan wajah lusuh. Saya masuk ke ruang tengah. Beberapa kawan sedang main game dan beberapa lagi sedang mengurusi CPU yang rewel.

“Bang ade yang darah O tak? Kawan kamek kecelakaan nak operasi tak de darah di PMI,” kata saya cepat. Beberapa di antara mereka bergolongan darah yang sama. Sayang, seorang sudah donor beberapa hari yang lalu, hingga tak mungkin memberikan darahnya. Sisanya segera ikut kami ke PMI. Di PMI kami bertemu dengan pendonor lain hasil dari pesan via SMS dan perjalanan kawan-kawan.

Dari beberapa orang teman saya, hanya satu orang yang bisa memberikan darahnya. Yang lain ditolak oleh petugas karena berbagai alasan, yaitu HB darahnya rendah atau tekanan darah yang tidak normal. Belakangan, saya baru tahu bahwa ada yang tak pernah donor darah hingga saat diperiksa dia bahkan hampir pingsan.

Semua mengucap syukur karena jumlah darah yang diperlukan berhasil dikumpulkan. Teman-teman pun pamit pulang untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Saya dan Puji segera meluncur menuju rumah sakit dengan perasaan senang. Paling tidak, kami bisa mengatakan pada ibu si korban bahwa ada darah yang tersedia untuk anaknya. Puji bilang, sang ibu sempat tak bisa bicara karena terlalu syok atas kecelakaan anaknya apalagi ditambah kabar bahwa persediaan darah di PMI habis.

Kami sampai di rumah sakit dan Puji mengabarkan berita gembira itu pada keluarga korban. Mereka tampak bersyukur. Kami duduk bersama dengan keluarga korban. Tapi, saya merasa ada sesuatu yang mengganjal setelah perjalanan panjang ini. Ah iya, saya lupa mandi. Lalu perut saya lapar. Saya lantas menyikut perut Puji dan mengajaknya pulang. Semangkuk bakso hangat di perjalanan pulang ternyata membuat saya kembali berstamina.

“Yan, name kawan saye tuh Imam,” kata Puji ketika kami hendak berpisah di halaman rumah saya.

“Ha?”

“Saye belom ngasi tahu Yanti name kawan saye tadi ‘kan? Nah, namenye Imam,” katanya menjelaskan.

“Oh, iye ye,” kata saya lagi. Saya lupa menanyakannya, karena saya juga tak berpikir menanyakannya. Teman-teman saya yang mendonorkan darahpun tak juga menanyakan kepada siapa mereka memberikan darahnya. Toh, darah itu milik Tuhan.

Beberapa tahun kemudian di rumah sakit yang sama, giliran saya yang berurusan dengan darah. Ibu saya yang mengidap penyakit cirocis hati harus melakukan tranfusi darah, karena tekanan dan HB darahnya yang menurun drastis jauh di bawah normal. Ibu butuh 3 kantong darah. Saya tak ingat berapa cc. Dokter sudah menghubungi PMI, tapi persediaan di sana habis. Saya dan saudara-saudara saya bersedia untuk donor. Ternyata, kakak dan abang saya tak bisa donor, karena mereka mengidap penyakit typus. Saya gugur di pemeriksaan tekanan darah, karena memang berhari-hari nyaris tak tidur. Maka, kami segera menghubungi semua orang yang kami kenal untuk donor.

Beberapa menit di PMI, saya merasa nyaris mati, karena belum ada pendonor yang datang. Tiba-tiba beberapa SMS masuk sekaligus ke HP saya.

“Yan, saye bawa rombongan. Agk di jln. Tunggu ye,” pesan dari seorang teman itu membuat hati saya lega. Saya ingin menangis ketika beberapa menit kemudian, para donor kemudian berdatangan. Saya tak tahu berapa banyak. Bahkan ketika tiga kantong darah itu terkumpul, masih ada yang datang ingin mendonorkan darah. Sungguh membuat saya bahagia. Mereka teman-teman, kakak dan adik-adik tingkat saya di kampus dan luar kampus. Sebelumnya, saya tak terlalu dekat dengan beberapa di antara mereka. Kami sekedar bertegur sapa dan berbagi senyum ketika bertemu, bahkan beberapa orang saya tak tahu namanya. Tapi menjadi kebahagiaan yang luar biasa, karena hari itu saya menyaksikan mereka mau berbagi hidup dengan ibu saya, wanita yang tak pernah mereka temui. Tiga kantong darah berhasil dikumpulkan. Saya kembali ke rumah sakit. Besoknya, kami mengambil 2 kantong untuk keperluan medis ibu. Satu kantong masih di PMI. Kondisi ibu semakin melemah. Dokter belum bisa memberi aba-aba untuk melakukan tranfusi ke tiga karena kondisi yang tak memungkinkan. Sampai akhirnya, ibu saya meninggal.

Saya teringat satu kantong darah yang tersisa di PMI. Ternyata abang saya sudah mengurusnya. Ketika kondisi ibu kami semakin lemah, dia telah menghubungi PMI agar memberikan sekantong darah itu pada siapapun yang membutuhkan. Kami tak tahu pada siapa darah itu diberikan. Kami juga tak perlu tahu. Saya teringat kejadian beberapa tahun lalu ketika teman saya yang mendonorkan darahnya tak bertanya pada siapa dia memberikan darah dan itu seringkali terjadi. Kita memang tak harus selalu tahu pada siapa kita memberikan darah. Toh, darah adalah milik Tuhan. Kita hanya harus tahu bahwa dalam darah kita yang sedang mengalir ini, ada hidup orang lain yang dititipkan di sana. Sampai saatnya tiba, darah itu memang harus dikembalikan untuk menebus hidup, siapapun orangnya.

No comments: