Wednesday, October 5, 2011

Wisuda

Aku tak mau wisuda. Tidak salah'kan? Aku tidak salah, tentu saja. Aku mungkin berbeda, tapi aku sangat yakin bahwa aku tidak salah. Ini hanya soal pilihan. Aku hanya tak mau repot memakai kebaya dan kain songket atau batik, untuk kemudian menutupnya dengan jubah besar wisuda, hingga kebaya dan kain yang susah payah dipakai itu justru tak kelihatan.

Aku hanya tak mau memakai kasut high heels yang mungkin akan membuat kakiku sakit semalaman. Aku juga tak mau memakai make-up tebal yang dapat membuatku tidak menikmati makan dan minum selama acara berlangsung.

Aku hanya tak ingin menjadi boneka pada hari itu untuk sebuah kebanggaan menjadi sarjana. Pesta yang digelar untuk merayakan lahirnya seorang intelektual baru, lalu sejam kemudian menjadi pengangguran berintelektual.

Aku hanya tidak mau.

Sejak awal, aku tak mau wisuda. Aku ingin meraih gelarku, tanpa harus berjalan menuju altar suci itu. Tanpa harus disebut namaku, lalu menunduk agar pemegang gelar tertinggi di kampus dapat memindahkan seutas tali di atas topi yang ku pakai. Pindahnya hanya 2 cm saja, tak lebih dan tentu saja masih nangkring di topi. Aku sendiri bisa memindahkannya lebih jauh.

Mungkin Tuhan mendengar ocehan2ku, hingga aku tak dibiarkannya untuk wisuda tahun lalu, saat aku benar-benar membutuhkan moment itu. Aku butuh, bukan mau atau ingin.
Lalu saat ini, aku lagi-lagi harus menghadapi moment wisuda. Sekali lagi, aku tak mau wisuda.

Tapi apa aku punya pilihan? Benar kata Nas, di luar sana ada orang yang pegang kendali. Aku tidak berhak memutuskan sendiri, ada yang juga memiliki hak atas moment itu. Bahkan, dia memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan hak yang kumiliki. Dan kemungkinan besar, aku harus wisuda karenanya.

Ingin sekali bisa seperti Prince Moon Seong yang tidak datang dalam pesta pertunangannya, karena dia memang tak menginginkan pertunangan itu. Meskipun, setelah itu dia harus menanggung banyak resiko. Ingin juga seperti Oscar yang meninggalkan pasukan kavaleri istana dan lebih memilih memimpin pasukan rakyat Perancis dalam revolusi th. 1789. Walaupun akhirnya dia harus tewas.

Ingin sekali menolak moment itu, sangat ingin. Tapi, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Aku tidak sedang berhadapan dengan pesta pertunangan yang tidak diinginkan. Aku juga tidak sedang berperang untuk membela rakyat yang didzolimi. Aku hanya sedang berhadapan dengan suatu moment yang ditunggu-tunggu oleh para sarjana yang belum di’baptis’, suatu moment yang seakan-akan lebih legal dibanding ijazah sarjana sendiri. Moment yang sangat ditunggu dan akan menjadi yang paling dikenang. Lalu ada apa denganku? Entahlah, aku hanya tak mau wisuda. Sebab, aku tahu pasti, beberapa jam itu pasti akan sangat menyiksak. Sangat menyiksaku, tapi tetap saja harus kulakukan...

No comments: