Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Berbagai orang dari agama, dan etnis serta kebudayaan yang berbeda menetap di daerah ini. Namun demikian, Kalbar juga dikenal sebagai salah satu daerah yang rawan terhadap konflik antar etnis. Hal ini terbukti dengan seringnya terjadi konflik yang melibatkan etnik di Kalimantan Barat, diantaranya pada tahun 1967 yang melibatkan etnis Dayak dengan Tionghoa, tahun 1979, 1996/1997 antara etnis Dayak dengan Madura, kemudian tahun 1999 yang melibatkan etnis Melayu dan Dayak dengan etnis Madura. Kejadian-kejadian tersebut memakan korban yang tidak sedikit, baik nyawa manusia maupun harta benda. Hal itulah yang kemudian membuat Kalbar, terutama bagi masyarakat luar identik dengan konflik antar etnis.
Namun jika dilihat lebih jauh dari akar budaya masyarakat di Kalbar, perdamaian dan harmoni memegang peranan penting. Pluralitas atau keberagaman yang sering dianggap sebagai pemicu konflik justru tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Semua konflik yang terjadi, pada dasarnya bukanlah merupakan penolakan terhadap pluralitas etnik, namun lebih dipacu oleh ketidakpahaman masyarakat terhadap budaya-budaya lain yang ada di sekitarnya.
Prasangka-prasangka negatif yang berkembang di kalangan masyarakat membuat kesempatan terjadinya konflik berkepanjangan semakin terbukan lebar. Hal ini terjadi karena tidak efektifnya komunikasi antar budaya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, penting kiranya pluralitas dan hubungan antar etnik mendapat perhatian khusus dan ditinjau lebih dalam dari segi akademik guna mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pluralitas di Kalbar, diantaranya ; keadaan geografis dan kebijakan pemerintah.
Keadaan Geografis
Kalbar merupakan salah satu provinsi di Indonesia, dimana Indonesia sendiri terdiri atas beribu-ribu pulau yang terpisah oleh lautan. Keadaan yang demikian, apalagi dengan kedudukan Indonesia yang menjadi daerah transit dari berbagai benua, membuat masyarakat Indonesia memiliki berbagai cara hidup yang berbeda. Dengan latar belakang yang demikian lahirlah berbagai kebudayaan dan tradisi yang berbeda pula. Hal ini lebih diperkuat dengan penyerapan budaya-budaya dari luar Indonesia.
Kalbar juga mengalami hal yang sama. Sebagai daerah yang berada dalam jalur perdagangan Internasional pada masa lalu, Kalbar menjadi tempat bertemunya berbagai budaya, baik yang datang maupun budaya masyarakat asli. Tak jarang para pendatang ikut menetap untuk selamanya di Kalbar. Hal inilah yang kemudian mendorong tingginya tingkat pluralitas di provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah juga menjadi salah satu penyebab pluralitas budaya di Kalbar. Kebijakan yang dimaksud salah satunya adalah transmigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari tempat yang padat penduduknya ke daerah yang jumlah penduduknya sedikit.
Kalbar telah menjadi daerah tujuan transmigrasi sejak dulu. Menurut hasil statistik, jumlah penduduk daerah ini memang relatif rendah, sehingga Pemerintah menjadikannya sebagai tujuan bagi transmigran yang berasal dari daerah padat, seperti pulau Jawa dan Madura. Perpindahan tersebut menambah keberagaman budaya di Kalimantan Barat, setelah kedatangan penduduk dari daerah lainnya, termasuk masyarakat etnis Tiong Hoa.
Pluralitas yang tinggi memiliki peluang besar terjadinya konflik apabila tidak disikapi dengan bijaksana. Arogansi kebudayaan pada setiap kelompok masyarakat akan berakibat fatal apabila tidak dapat dibendung dan dikomunikasikan dengan berbagai budaya yang ada. Hal ini merupakan realitas kehidupan yang perlu disikapi secara tepat. Tidak selamanya pluralitas menimbulkan dampak yang negatif bagi kehidupan masyarakat. Bagi setiap manusia yang lahir ke dunia, keberadaannya dalam suatu etrnis tertentu bukanlah sebuah pilihan. Pada dasarnya setiap etnik mengajarkan nilai-nilai kearifan pada masyarakatnya. Selain rawan terhadap konflik, keberagaman ini juga memiliki nilai positif. Keberagaman ini merupakan salah satu aset negara yang sangat berharga.
Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak orang dari berbagai suku yang bekerjasama dan bahkan bersahabat. Hal ini dapat dilihat di pusat-pusat keramaian, seperti di pasar. Setiap orang bekerjasama dengan tujuan yang sama pula, yakni memenuhi kebutuhan hidup. Namun di beberapa tempat juga terjadi konflik akibat masyarakat yang sama-sama tidak memahami kebudayaan di sekitarnya. Sebagai contoh, di daerah-daerah tertentu umumnya masyarakat tidak begitu menyukai kebiasaan orang Madura yang selalu membawa clurit ke mana-mana. Mereka menganggap hal itu sebagai wujud pamer kekuatan dan tidak wajar.
Namun jika dilihat dari sudut pandang orang Madura, membawa celurit merupakan suatu kebiasaan yang telah menjadi tradisi, layaknya keris bagi para bangsawan Jawa. Seperti keris, celurit juga merupakan pelengkap dalam berpakaian, selain untuk menjaga diri dari perbuatan jahat orang lain. Jadi penggunaan celurit dari sisi ini tidak menunjukkan sikap kesombongan, namun lebih cenderung pada kebiasaan dan tradisi yang berkembang.
Hal ini juga terjadi pada etnis-etnis lainnya. Anggapan yang salah dan terus berkembang di masyarakat membuat hubung an antar etnis yang seharusnya dapat rukun menjadi tersulut konflik. Pandangan yang menyatakan bahwa orang-orang Tiong Hoa selalu korupsi dan bermuka dua, membuat masyarakat etnis lainnya tidak mempercayai mereka. Padahal jika dikaji lebih jauh, masyarakat Tiong Hoa memegang peranan penting dan turut berjasa dalam pertumbuhan ekonomi di Kalbar.
Anggapan lainnya, seperti orang-orang Melayu yang memiliki sifat malas, dan Dayak yang terbelakang turut memperparah keadaan yang rawan akan konflik. Semua anggapan dan pandangan ini sebenarnya tidak dapat dibuktikan secara empirik. Sayangnya, pandangan-pandangan negatif ini terus bekembang hingga sekarang.
Anggapan-anggapan dan kecurigaan antar etnis di Kalbar harus segera ditangani lebih serius. Hal ini jika didiamkan hanya akan membawa akibat buruk bagi kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Semua itu dapat ditanggulangi dengan membuka forum komunikasi antar etnis dan mengaktifkan kegiatan-kegitan yang berorientasi pada keberagaman etnik. Selain itu masyarakat juga harus membuka wahana berpikirnya lebih luas, untuk memahami kearifan yang tersimpan dalam budaya masing-masing.
Dalam hal ini, pemerintah juga dituntut untuk ikut serta secara aktif. Pemerintah lewat aparat penegak hukumnya harus mewujudkan supremasi hukum secara tegas. Hal ini penting untuk menindak setiap kejahatan, agar tidak terjadi kecurigaan yang kemudian berakhir dengan kemarahan masyarakat. Sikap keterbukaan, perlakuan yang adil dan pengetahuan luas akan dapat menjembatani semua keberagaman yang hidup, bahkan semakin membuat Kalimantan Barat menjadi kaya akan budaya, tanpa adanya kerusuhan dan korban jiwa. Semoga.
dipublikasikan : Pontianak Post, 7 Juli 2007