Aku tersentak oleh getaran handphone ku. Satu nama yang sangat ku kenal tampil di layarnya. Papah-koe, begitu huruf demi huruf itu tersusun. Kupandangi sebentar. Sejak tadi, beberapa panggilan dan SMS masuk ke HP ku, tapi aku mengacuhkannya. Kali ini tidak. Sebab, Papah adalah temanku, seperti nisa, seperti ambar, icha dan Erika. Mereka punya arti yang berbeda.
Aku lupa redaksi SMS itu, yang kuingat hanya papah ingin aku bertandang ke ruangannya. Ini pasti soal SMS yang kukirim padanya. Aku juga lupa bagaimana redaksi SMS yang ku kirim, tapi intinya memberitahukan bahwa aku tak bisa ujian dan wisuda.
Saat itu, aku sedang duduk di kursi operator radio Prokom, radio kampus ku. Mencoba untuk bercanda dan tertawa dengan adik-adik tingkat yang sedang nongkrong di sana dan seorang teman yang berprofesi sebagai dosen, sekedar untuk mengembalikan kondisi perasaan yang sempat berantakan. Setengah jam sebelumnya, aku menghabiskan hampir setengah jam paling menghancurkan dalam sejarah pen-didik-anku. Hampir setengah jam aku mengunci diri di WC mahasiswa yang pasti tak harum, hanya untuk menangis meratapi kegagalanku. Gagal ujian dan wisuda.
Jangan tanya mengapa harus WC, karena tentu saja tak ada tempat yang baik untuk menangis di kampus ini. Direktur Pendidikan Tinggi Kemenag mungkin tak pernah berpikir untuk menyediakan sebuah ruangan agar mahasiswa yang sedang mengalami kegagalan sepertiku dapat menangis. Karena tak ada ruang khusus, WC menjadi tempat paling aman untuk menangis. Tak seorang pun akan melihat dan mendengarku di sini, dan satu bak air akan membasuh wajahku usai menangis untuk menghilangkan jejak sedih. Tempat yang sempurna, walaupun bukan tempat yang nyaman.
Aku menangis, ya aku menangis saat itu. Bukan karena aku ingin ujian dan wisuda, tapi aku butuh kedua moment itu. Aku sangat butuh saat itu. Tahun itu adalah waktu yang kujanjikan pada ibuku untuk menyelesaikan kuliah, dan dia sangat ingin menghadiri acara wisudaku. Pada saat sakit kerasnya, dia masih berkata bahwa dia ingin sembuh untuk acara itu. Dia sangat menginginkannya. Lantas, saat dia pergi untuk selamanya, aku masih yakin bahwa aku bisa memenuhi janjiku walaupun tanpa kehadirannya.Justru karena dia tak ada, aku harus memenuhi janji itu.
Waktu wisuda telah dipatok. Entah kebetulan apa, perayaan wisuda bertepatan dengan peringatan 100 hari ibuku meninggal. Aku semakin gencar mengejar moment itu. Ya, aku butuh moment itu untuk memenuhi janjiku, aku butuh untuk mengobati rasa bersalahku, dan aku butuh untuk rasa kehilanganku. Aku membutuhkannya. Sangat membutuhkannya. Bahkan untuk mengejar moment itu, sesaat setelah pemakaman ibuku, aku langsung membuka laptop dan melanjutkan skripsiku. Aku harus menyelesaikannya tepat waktu, bersedih dapat kulakukan setelah skripsiku selesai. Itu yang kupikirkan sambil mengetik. Tapi, ternyata aku kehilangan moment itu. Sebuah keteledoran masa lalu membuat nilai mata kuliahku tak keluar.
Skripsi yang terhitung ratusan halaman, IP yang tiga-delapanan, track record pendidikan yang tak bermasalah yang sempat menjadi modal kepercayaan diriku untuk mengurus nilai, seketika tak berarti apa-apa lagi. Ah, semuanya seperti runtuh di depanku.
Dalam kasus ini, aku tahu dengan baik bahwa aku salah. Sebab, aku jelas melanggar aturan. Aturan yang ada, mahasiswa dapat mengurus nilainya selambat-lambatnya 2 minggu setelah nilai keluar dan ditempel di mading jurusan. Itu aturannya, dan aku tahu betul akan aturan itu sejak awal-awal kuliah. Tapi aku melanggarnya. Aku juga tak mengulang ketika mata kuliah itu diadakan lagi untuk adik tingkatku. Aku justru mengurus nilai itu setelah hampir 3 semester berlalu. Itu tentu sangat keterlaluan. Sangat dimengerti jika nilaiku tak keluar. Tapi, jujur saja, aku kecewa saat itu.
Aku sempat tersenyum nyinyir mengingat setengah jam itu dan tak percaya bahwa aku telah melewatinya. Aku melangkah menuju ruang Papah. Seorang teman ikut bersamaku. Dia punya urusan dengan Papah. Ketika sampai, aku membiarkannya untuk lebih dulu bicara. Entah berapa lama sampai dia mohon pamit padaku dan Papah.
“Saye tak pernah wisuda sampai saye jadi Doktor,” kata Papah.
Dia lalu menjelaskan betapa tak berartinya wisuda. Hanya sebuah pesta perayaan menyelesaikan kuliah, padahal sesaat setelah pesta itu berakhir banyak diantara wisudawan yang kebingungan mencari kerja dengan status sarjananya hingga berakhir dengan sebutan pengangguran kelas atas. Ironi, begitu kami menyimpulkan moment itu. Aku dan Papah beberapakali memiliki pandangan yang sama tentang sesuatu, mungkin karena pemikiran kami yang sedikit abnormal dibanding mainstream. Aku berpikiran yang sama tentang wisuda, tapi kondisinya berbeda. Aku butuh, itu saja. Karena itu, aku tetap saja merasa tergeletak di lantai paling bawah di ruang paling gelap dengan aroma yang pengap. Itu memaksaku untuk sakit.
Kami lalu bicara soal nilai itu. Dia bangga karena aku tidak mengambil jalan pintas yang dilakukan oleh anak-anak bermasalah di kampusku. Menghadap Kaprodi atau Kajur, lalu mendapatkan selembar surat untuk mengurus nilai ke dosen dan dapatlah nilai. Dia bilang, dia benci cara itu. Papah sempat kaget karena mengetahui ada mahasiswa yang ujian, padahal ada nilainya yang nyangkut di Papah.
“Nilai die tak saye keluarkan, entah darimane die dapat nilai tuh. Ngadap saye pun tadak,” begitu kata Papah ngomel. Dia tak suka itu. Dosen punya hak preogatif untuk soal nilai mata kuliah yang diampunya. Dia tak suka cara anak itu, dan tak mengerti bagaimana secara prosedur, anak itu dapat ‘diizinkan’ melakukan cara itu. Hak dosen dilanggar.
Entah bagaimana kabar tentang nilaiku tersiar. Seingatku, aku hanya memberitahu orang-orang terdekat, yang aku tahu pasti tidak akan bocor dari mereka. Tapi, ini kampus. Apa yang tak diketahui disini? Sejak itu, beberapa orang yang cukup populer di kancah birokrasi kampus sempat menawariku jasa untuk membantu bicara pada pak dosen, sebab beliau-beliau kenal baik dengan Pak dosen. Aku menolak. Ini masalah mahasiswa dan dosen, tak lebih dari itu. Pikiranku memaksaku untuk tetap pada jalur seorang mahasiswa, sebab aku seorang mahasiswa bukan birokrat. Aku akan menghadap dosenku, mendiskusikan masalah itu untuk kemudian menunggu keputusannya. Tidak fair rasanya melibatkan orang lain. Tak boleh begitu.
Lalu, aku ditawari cara. Aku disuruh ke rumah pak dosen, biar lebih akrab dan santai. Bersilaturahmi, begitu bahasanya, tentu saja sambil mengurus nilai. Ini pun kutolak. Kupikir, aku kuliah di kampus bukan di rumahnya. Maka, soal nilai juga harus diselesaikan di kampus. Jadi, itu tak boleh. Itu bukan cara seorang mahasiswa, itu cara para politikus. Aku bukan politikus, memanfaatkan suasana kekeluargaan bukan keahlianku.
Karena itu, aku sempat shock ketika tahu bahwa seorang dosenku berinisiatif untuk menghadap Pak Dosen agar dapat membantu mengeluarkan nilaiku. Aku berterimakasih atas kepeduliannya, tapi aku tak mau itu. Jika saja aku tahu, pasti aku akan menolaknya. Aku ingin nilaiku keluar, tapi aku tetap punya batasan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan. Itu penting, begitu Papah sering berkata padaku.
“Jadi, harus ngulang?” Papah bertanya.
“Ho oh, satu semester lagi,”jawabku.
“Tak apelah, sambil sempurnakan agik jak skripsinye.”
Aku tersenyum kecut. Mungkin wajahku lebih terlihat seperti menyeringai daripada tersenyum. Papah pasti melihat kondisi itu.
“Ti, saye yakin suatu saat Yanti akan jdi orang yang sukses. Karena itu, siapkan dari sekarang, jangan buat celah yang orang bise meragukan kualitas Yanti. Yanti bise lewat jalan pintas macam budak-budak tu, tapi suatu saat orang-orang akan ngomong, ’Budak tu dulu mintak-mintak nilai.’ Kalo macam itu, ape artinye?” kata Papah sambil menatapku tajam.
“Hidup dengan kebanggaan itu penting, Ti. Itu jaminan atas kualitas kite. Orang tak bise meragukannye,” begitu Papah memberiku semangat. Dia katakan dia bangga padaku. Hari itu, Papah menjadi satu-satunya orang yang mengatakan bahwa dia bangga padaku walaupun aku gagal. Aku merasa benar dengan apa yang tidak aku lakukan dan aku merasa benar dengan apa yang aku pilih. Saat itu aku berharap sekali bahwa ibuku akan mengatakan hal yang sama dan aku yakin itu. Setelah hari itu, sahabatku-sahabatku yang lain juga datang untuk menepuk punggungku seraya tersenyum.
Setahun berlalu. Kini moment wisuda kembali. Mahasiswa berbondong-bondong mendaftar ujian agar dapat wisuda tahun ini. Aku tidak menjadi bagian dari mereka. Aku telah ujian beberapa bulan lalu. Nilaiku dulu telah keluar seiring berlalunya semester. Ujianku terbilang cukup baik dengan nilai yang konon katanya cukup maksimal. Badai telah berlalu, begitu aku menyebut diriku.
Beberapa hari lalu aku kaget dengan cerita temanku tentang nilainya. Gadis cantik yang imut-imut itu satu angkatan denganku. Nilainya bermasalah sama sepertiku dulu dengan dosen yang sama pula. Wow, kau lebih berani dariku, kawan. Aku saja ditolaknya setahun yang lalu, apalagi kamu yang lebih lama setahun dariku,begitu pikirku.
Temanku itu lalu menanyakan pengalamanku sebagai mantan mahasiswa bermasalah. Aku mendukung keinginannya untuk mengurus nilai itu, tapi berkaca dari pengalaman, aku memintanya agar tak berharap banyak. Begitulah pertemuan kami.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar bahwa nilainya keluar, walapun tak maksimal. Dia menghadap ke Ketua Jurusan untuk mendapatkan surat rekomendasi agar dosen dapat mengeluarkan nilai. Aku senang, tapi jujur saja, aku juga terkejut. Satu sudut gelap hati manusiaku merasa harus mempertanyakannya. Apalagi, untuk mengurus semua itu, dia hanya butuh waktu beberapa hari, tak sampai seminggu. Lalu, temanku melenggang ke ruang ujian. Sifat sombongku muncul, aku merasa skripsiku lebih baik, IP ku lebih tinggi, sejarah kuliah dan aktivitas kampusku lebih baik, pilihanku lebih benar. Tapi, apa begini? Ah, ternyata ada lampu yang mati di satu sudut hatiku.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar bisik-bisik tentang temanku dan nilai itu. Tak sedap juga didengar. Ujiannya tak begitu baik, beberapa penonton menghubungkannya dengan nilai yang tak genap prosesnya. Aku terdiam. Sesuatu yang sesaat tadi terhimpun di sudut hati yang mati lampu. “Hidup dengan kebanggaan” begitu istilah Papah. Pasti akan terasa berat, tapi jangan memberi celah agar orang dapat meragukan kualitas kita. Itu yang tadi aku lupa.
Ah, jariku terasa gatal untuk mulai memencet keypad HPku. Ingin mengirim pesan singkat pada Papah. Tak banyak yang ingin ku tulis, hanya ingin bilang “Pah, terimakasih telah membantuku untuk memilih sesuatu yang benar dan terimakasih untuk bangga padaku”. Terimakasih, Pah, dan terimakasih untuk ssahabat-sahabatku yang selalu percaya pada jalan yang kupilih. . .
Thursday, October 20, 2011
Wednesday, October 5, 2011
Wisuda
Aku tak mau wisuda. Tidak salah'kan? Aku tidak salah, tentu saja. Aku mungkin berbeda, tapi aku sangat yakin bahwa aku tidak salah. Ini hanya soal pilihan. Aku hanya tak mau repot memakai kebaya dan kain songket atau batik, untuk kemudian menutupnya dengan jubah besar wisuda, hingga kebaya dan kain yang susah payah dipakai itu justru tak kelihatan.
Aku hanya tak mau memakai kasut high heels yang mungkin akan membuat kakiku sakit semalaman. Aku juga tak mau memakai make-up tebal yang dapat membuatku tidak menikmati makan dan minum selama acara berlangsung.
Aku hanya tak ingin menjadi boneka pada hari itu untuk sebuah kebanggaan menjadi sarjana. Pesta yang digelar untuk merayakan lahirnya seorang intelektual baru, lalu sejam kemudian menjadi pengangguran berintelektual.
Aku hanya tidak mau.
Sejak awal, aku tak mau wisuda. Aku ingin meraih gelarku, tanpa harus berjalan menuju altar suci itu. Tanpa harus disebut namaku, lalu menunduk agar pemegang gelar tertinggi di kampus dapat memindahkan seutas tali di atas topi yang ku pakai. Pindahnya hanya 2 cm saja, tak lebih dan tentu saja masih nangkring di topi. Aku sendiri bisa memindahkannya lebih jauh.
Mungkin Tuhan mendengar ocehan2ku, hingga aku tak dibiarkannya untuk wisuda tahun lalu, saat aku benar-benar membutuhkan moment itu. Aku butuh, bukan mau atau ingin.
Lalu saat ini, aku lagi-lagi harus menghadapi moment wisuda. Sekali lagi, aku tak mau wisuda.
Tapi apa aku punya pilihan? Benar kata Nas, di luar sana ada orang yang pegang kendali. Aku tidak berhak memutuskan sendiri, ada yang juga memiliki hak atas moment itu. Bahkan, dia memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan hak yang kumiliki. Dan kemungkinan besar, aku harus wisuda karenanya.
Ingin sekali bisa seperti Prince Moon Seong yang tidak datang dalam pesta pertunangannya, karena dia memang tak menginginkan pertunangan itu. Meskipun, setelah itu dia harus menanggung banyak resiko. Ingin juga seperti Oscar yang meninggalkan pasukan kavaleri istana dan lebih memilih memimpin pasukan rakyat Perancis dalam revolusi th. 1789. Walaupun akhirnya dia harus tewas.
Ingin sekali menolak moment itu, sangat ingin. Tapi, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Aku tidak sedang berhadapan dengan pesta pertunangan yang tidak diinginkan. Aku juga tidak sedang berperang untuk membela rakyat yang didzolimi. Aku hanya sedang berhadapan dengan suatu moment yang ditunggu-tunggu oleh para sarjana yang belum di’baptis’, suatu moment yang seakan-akan lebih legal dibanding ijazah sarjana sendiri. Moment yang sangat ditunggu dan akan menjadi yang paling dikenang. Lalu ada apa denganku? Entahlah, aku hanya tak mau wisuda. Sebab, aku tahu pasti, beberapa jam itu pasti akan sangat menyiksak. Sangat menyiksaku, tapi tetap saja harus kulakukan...
Aku hanya tak mau memakai kasut high heels yang mungkin akan membuat kakiku sakit semalaman. Aku juga tak mau memakai make-up tebal yang dapat membuatku tidak menikmati makan dan minum selama acara berlangsung.
Aku hanya tak ingin menjadi boneka pada hari itu untuk sebuah kebanggaan menjadi sarjana. Pesta yang digelar untuk merayakan lahirnya seorang intelektual baru, lalu sejam kemudian menjadi pengangguran berintelektual.
Aku hanya tidak mau.
Sejak awal, aku tak mau wisuda. Aku ingin meraih gelarku, tanpa harus berjalan menuju altar suci itu. Tanpa harus disebut namaku, lalu menunduk agar pemegang gelar tertinggi di kampus dapat memindahkan seutas tali di atas topi yang ku pakai. Pindahnya hanya 2 cm saja, tak lebih dan tentu saja masih nangkring di topi. Aku sendiri bisa memindahkannya lebih jauh.
Mungkin Tuhan mendengar ocehan2ku, hingga aku tak dibiarkannya untuk wisuda tahun lalu, saat aku benar-benar membutuhkan moment itu. Aku butuh, bukan mau atau ingin.
Lalu saat ini, aku lagi-lagi harus menghadapi moment wisuda. Sekali lagi, aku tak mau wisuda.
Tapi apa aku punya pilihan? Benar kata Nas, di luar sana ada orang yang pegang kendali. Aku tidak berhak memutuskan sendiri, ada yang juga memiliki hak atas moment itu. Bahkan, dia memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan hak yang kumiliki. Dan kemungkinan besar, aku harus wisuda karenanya.
Ingin sekali bisa seperti Prince Moon Seong yang tidak datang dalam pesta pertunangannya, karena dia memang tak menginginkan pertunangan itu. Meskipun, setelah itu dia harus menanggung banyak resiko. Ingin juga seperti Oscar yang meninggalkan pasukan kavaleri istana dan lebih memilih memimpin pasukan rakyat Perancis dalam revolusi th. 1789. Walaupun akhirnya dia harus tewas.
Ingin sekali menolak moment itu, sangat ingin. Tapi, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Aku tidak sedang berhadapan dengan pesta pertunangan yang tidak diinginkan. Aku juga tidak sedang berperang untuk membela rakyat yang didzolimi. Aku hanya sedang berhadapan dengan suatu moment yang ditunggu-tunggu oleh para sarjana yang belum di’baptis’, suatu moment yang seakan-akan lebih legal dibanding ijazah sarjana sendiri. Moment yang sangat ditunggu dan akan menjadi yang paling dikenang. Lalu ada apa denganku? Entahlah, aku hanya tak mau wisuda. Sebab, aku tahu pasti, beberapa jam itu pasti akan sangat menyiksak. Sangat menyiksaku, tapi tetap saja harus kulakukan...
Subscribe to:
Posts (Atom)