Entah apa yang ingin kutulis. Aku sedang tak ingin berpikir rumit, aku tak ingin merusak rencana ku untuk istirahat berpikir rumit malam ini. Malam akhir tahun 2007. Malam ini mengingatkanku pada setahun yang lalu. Waktu itu, aku merasa tuts keyboardku terasa begitu keras untuk ditekan, ketika aku menuliskan kata perpisahan untuk tahun 2006. Saat itu, aku menulisnya di tgl 30 desember. Ada banyak sekali hal yang tak ingin ku tinggalkan. Ada kisah-kisah yang belum selesai dalam bahasaku. Yah...sangat benci rasanya ketika harus menyadari bahwa aku berada di penghujung tahun. Memang ada banyak cerita yang kuawali dan hingga tahun berakhir belum juga ku tuliskan akhirnya. Itu membuatku jengah, dan aku begitu ingin berontak. Waktu memang tak berperasaan, dia tak mau dan memang tak bisa mengerti, apapun yang terjadi, toh dia tetap harus berjalan.
Tapi tidak malam ini. Semua cerita dan kisah itu telah selesai, selesai dengan sangat indah dalam tahun ini. Maka, tak ada hal yang harus memberatkanku menyambut suatu hari yang disebut tahun baru 2008. Bahkan aku baru saja memulai, bukan sebuah kisah atau cerita, tapi sebuah perjalanan yang akan menentukan arah kompas hidupku, dan hari akan semakin menantang.
Maafkan aku tahun 2007, kelegaan ini bukan berati bahwa kau sama sekali tak berarti. Justru sebaliknya, kau membuatku benar-benar merasa dewasa. Kau tidak hanya menorehkan kenangan yang amat berarti, tapi kau juga mengajariku untuk memberi dan menerima. Lebih dari itu, kau mengajariku untuk merelakan dan mempertahankan. Kau mengajari bagaimana menjadi dewasa karena masalah, dan semuanya begitu berarti. Semua pelajaran itu yang dapat membuatku begitu lega meninggalkanmu.
Terimakasih telah menjadi tahun yang indah, meski aku tahu masih ada banyak kepedihan yang aku torehkan, untuk semua itu pastinya belum terbayar tuntas. Tapi aku ingin menyongsong hari tanpa beban. Biarkan saja semuanya mengalir apa adanya, dan aku harus tetap melangkah maju, itu pesan yang kau berikan untukku
Monday, December 31, 2007
Friday, December 28, 2007
Suaraku Gak Mau Keluar...
Aduh, gawat banget neh permasalahan yang sedang kuhadapi. Suaraku gak mau keluar, gak tau juga gara-gara apa, mungkin panas dalam. Sebenarnya masalah bukan ada pada suara, karena keadaannya mungkin akan berbeda kalau besok aku tidak ikut seminar. Besok aku jadi pemakalah untuk seminar Penelitian Islam di Kalimantan Barat yang diadakan di kampusku. Gimana bisa ngomong kalo suaranya gak keluar. Udah berbagai macam cara kulakukan sejak kemarin (Kamis-red). Dari minum obat panas dalam, sampai nelan air jahe dua mangkuk dijabanin, tapi masih tetap ajah suaranya gak genah. Agak lumayanan sih, keluar dikit, tapi gak optimal.
Hari ini udah minum Adem Sari, nenggak tablet vit C dosis tinggi, sampe akhirnya ngeborong jeruk nipis, dan permen fisherman. Waduh gila-gilaan dah, agak khawatir sama maagku, tapi apa boleh buat ding, besok seminar. Masa' gagal gar-gara suara gak keluar, mana udah bikin makalah, temanya asyik pula. Ya Allah tolong hambaMu.
Tapi apapun yang terjadi gak boleh menyerah sampai detik terakhir !!!! Semangat..............
Cayo Yanti......Cayo............
Tuesday, December 18, 2007
Sampai Saat Itu Tiba...
Aku ingin pergi, mengembara untuk menemukan segala hal yang tak pernah kulihat, kurasakan dan kusentuh. Mencari semua jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam kepalaku. Banyak hal yang belum aku tahu, dan aku ingin tahu tentang banyak hal, karena itu aku mencari. Aku tak mau terkungkung dalam lingkaran yang hanya membuatku berlari berputar-putar. Aku benar-benar ingin melihat negeriku, dengan segala permasalahan dan penderitaan, bahkan aku ingin melihat dunia.
Menyedihkan, ketika menyadari bahwa aku tak mengetahui apa-apa tentang tanah dimana aku dilahirkan. Lebih menyedihkan, saat aku tahu aku belum berbuat apa-apa untuk saudara-saudaraku yang membutuhkan. Lihatlah di perempatan jalan raya itu !!! Dan tanyalah apa yang telah aku lakukan untuk mereka ! Maka, dapatilah aku terdiam seribu bahasa, tertunduk malu dan beku dalam kesunyian. Aku belum berbuat apa-apa, dan itu adalah jawaban yang paling menyedihkan.
Juga tanyalah padaku, tentang bahasa daerahku. Satu demi satu bahasa itu punah. Dari ratusan sub etnik Dayak, entah tinggal berapa lagi bahasa yang masih lestari. Bahasa yang masih adapun hanya menyisakan sedikit sekali penuturnya. Tanya padaku, dimana aku saat itu ? Tanya lagi padaku, tentang hutan-hutan Kalbar yang hagus terbakar, menyisakan asap yang perih dimata dan kenangan yang pedih di hati. Kemana aku saat itu?
Belum ada yang kuperbuat, hingga saat ini.
Karena itu aku ingin pergi. Melintasi hutan, sungai dan lembah daerahku. Aku ingin mencari kayu bakar, memanen jagung, juga menanam sayur di ladang-ladang yang tak subur. Aku ingin hidup di tengah-tengah mereka yang paling susah, mereka yang selalu berjuang untuk makan sore nanti, lebih dari keluargaku yang juga pas-pasan. Agar ketika aku pulang nanti, aku tahu apa yang harus kuperjuangkan. Tapi jangan berharap aku akan menenteng pengeras suara dan berteriak di depan gedung DPRD atau Gubernur. Tenggorokanku tak kuat.
Dan jangan pula berharap aku akan mengadakan dialog kebijakan politik, atau beraudiensi dengan para pejabat untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Aku alergi dengan ruangan berAC, aku juga tak kuat lama-lama duduk dalam ruangan. Kakiku tak pernah bisa diam, makanya aku selalu terlambat masuk kuliah.
Tapi aku dianugerahi Tuhan 10 jari tangan yang sehat, dan cukup kuat untuk menekan tuts-tuts keyboard dari komputer tua ini. Maka, aku akan mulai mengukir satu demi satu huruf untuk kupajang menjadi sebuah kalimat, paragraf, dan terus berkembang. Lalu aku akan mengirimkannya pada media massa, biar dimuat dan dibaca.
Maaf kalau aku tak bisa berjuang dengan cara lain. Karena aku tak akan mengkhianati isi kepala dan hatiku. Aku berpikir bahwa ini adalah jalanku, caraku dan hidupku. Maka aku akan berjalan seperti ini.
Karenanya biarkan aku pergi. Mengembara dan mencari semua yang ingin aku temukan. Jangan halangi, apalagi hanya dengan alasan bahwa aku perempuan. Aku sudah dewasa, aku akan menjaga diriku sebaik aku menjaga keyakinanku. Aku kuat dengan doa. Aku tak akan lemah dengan ridhoNya, dan aku akan melangkah dengan mimpi-mimpiku.
Suatu saat akan tiba waktunya, aku akan benar-benar pergi mencari semua jawaban atas pertanyaanku.
Menyedihkan, ketika menyadari bahwa aku tak mengetahui apa-apa tentang tanah dimana aku dilahirkan. Lebih menyedihkan, saat aku tahu aku belum berbuat apa-apa untuk saudara-saudaraku yang membutuhkan. Lihatlah di perempatan jalan raya itu !!! Dan tanyalah apa yang telah aku lakukan untuk mereka ! Maka, dapatilah aku terdiam seribu bahasa, tertunduk malu dan beku dalam kesunyian. Aku belum berbuat apa-apa, dan itu adalah jawaban yang paling menyedihkan.
Juga tanyalah padaku, tentang bahasa daerahku. Satu demi satu bahasa itu punah. Dari ratusan sub etnik Dayak, entah tinggal berapa lagi bahasa yang masih lestari. Bahasa yang masih adapun hanya menyisakan sedikit sekali penuturnya. Tanya padaku, dimana aku saat itu ? Tanya lagi padaku, tentang hutan-hutan Kalbar yang hagus terbakar, menyisakan asap yang perih dimata dan kenangan yang pedih di hati. Kemana aku saat itu?
Belum ada yang kuperbuat, hingga saat ini.
Karena itu aku ingin pergi. Melintasi hutan, sungai dan lembah daerahku. Aku ingin mencari kayu bakar, memanen jagung, juga menanam sayur di ladang-ladang yang tak subur. Aku ingin hidup di tengah-tengah mereka yang paling susah, mereka yang selalu berjuang untuk makan sore nanti, lebih dari keluargaku yang juga pas-pasan. Agar ketika aku pulang nanti, aku tahu apa yang harus kuperjuangkan. Tapi jangan berharap aku akan menenteng pengeras suara dan berteriak di depan gedung DPRD atau Gubernur. Tenggorokanku tak kuat.
Dan jangan pula berharap aku akan mengadakan dialog kebijakan politik, atau beraudiensi dengan para pejabat untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Aku alergi dengan ruangan berAC, aku juga tak kuat lama-lama duduk dalam ruangan. Kakiku tak pernah bisa diam, makanya aku selalu terlambat masuk kuliah.
Tapi aku dianugerahi Tuhan 10 jari tangan yang sehat, dan cukup kuat untuk menekan tuts-tuts keyboard dari komputer tua ini. Maka, aku akan mulai mengukir satu demi satu huruf untuk kupajang menjadi sebuah kalimat, paragraf, dan terus berkembang. Lalu aku akan mengirimkannya pada media massa, biar dimuat dan dibaca.
Maaf kalau aku tak bisa berjuang dengan cara lain. Karena aku tak akan mengkhianati isi kepala dan hatiku. Aku berpikir bahwa ini adalah jalanku, caraku dan hidupku. Maka aku akan berjalan seperti ini.
Karenanya biarkan aku pergi. Mengembara dan mencari semua yang ingin aku temukan. Jangan halangi, apalagi hanya dengan alasan bahwa aku perempuan. Aku sudah dewasa, aku akan menjaga diriku sebaik aku menjaga keyakinanku. Aku kuat dengan doa. Aku tak akan lemah dengan ridhoNya, dan aku akan melangkah dengan mimpi-mimpiku.
Suatu saat akan tiba waktunya, aku akan benar-benar pergi mencari semua jawaban atas pertanyaanku.
Monday, December 17, 2007
Seminar Bahasa Dalam Media dan Aku...
Hari ini aku jadi pembicara dalam seminar umum dengan tema Bahasa Dalam Media yang diselenggarakan atas kerjasama banyak pihak. Sempat asik juga sih waktu liat jadwal seminar. Semua nama pake embel-embel di depan dan di belakang. Ah... asik nih, merasa muda bo'.....
Cuma ada dua pembicara yang masih berstatus mahasiswa, aku dan adik tingkatku Ambar. Selain itu, peneliti, dosen dan entah siapa lagi. Banyak wartawan, dari berbagai media, dari yang cetak hingga elektronik. Aku tampil pada sesi pertama, sebagai pembicara terakhir. Bahasan makalahku, tentang bahasa sastra dalam pemberitaan media cetak. Aku sedang tergila-gila dengan laporan bergaya sastra.
Ketika telah duduk di tempat para pembicara, aku sempat kirim sms pada si Boss
Cuma ada dua pembicara yang masih berstatus mahasiswa, aku dan adik tingkatku Ambar. Selain itu, peneliti, dosen dan entah siapa lagi. Banyak wartawan, dari berbagai media, dari yang cetak hingga elektronik. Aku tampil pada sesi pertama, sebagai pembicara terakhir. Bahasan makalahku, tentang bahasa sastra dalam pemberitaan media cetak. Aku sedang tergila-gila dengan laporan bergaya sastra.
Ketika telah duduk di tempat para pembicara, aku sempat kirim sms pada si Boss
"Wow... Ti deg-degan neh, boss. Ade 2 dosen jurnalistik Ti agk" (08.43.56)
Aku lihat dia tersenyum dari dari tempat duduknya, di depan sebelah kananku di kursi barisan ke 5. Lalu dia mengetik tuts-tuts keypad pada HP nya.
"Jangan khawatir. Di sebelahmu org jg br jd pemakalah" (08.45.19)
Aku jadi gantian senyum melihatnya. Berdebar ??? Iya, tapi takut ??? Tentu tidak. Aku sangat menikmati tiap detik waktu yang berjalan. Jantung yang berdebar, waktu yang semakin dekat, aku selalu menikmatinya. Aneh ? mungkin, aku mungkin memang termasuk dalam komunitas orang aneh. Dan tak menjadi masalah yang besar bagiku, karena bahkan aku tak pernah memikirkan semua keanehan yang aku miliki.
Beberapa menit kemudian aku melihat si Boss mengeluarkan botol minumnya. Dia menawariku minum dari tempat ia duduk, karena dia tahu benar bahwa kami memiliki kebiasaan yang sama, yakni membawa sebotol air minum dari rumah. Aku membalasnya dengan tersenyum.
Saat itu, peserta semakin banyak yang hadir, wartawan juga makin berdatangan. Kali ini seorang TVRI dan kamerawannya masuk ke ruangan. Si Reporter tampak rapi dengan jas yang dipadankan dengan blus dan celana panjang yang berwarna senada, biru. Rambutnya lurus mencapai bahu, dibiarkannya tergerai.
Dia menghampiri dua wanita cantik di meja registrasi untuk mendapatkan panduan seminar. Yang mencolok di mataku adalah tahi lalat yang agak besar di pipinya. Dia tampak manis dengan asesoris alam itu. Sedangkan sang kamerawan tampil seadanya, jeans, bersepatu dan kaus oblong, serta meneteng kamera yang kukira cukup berat kalau aku yang membawanya.
Reporter itu kemudian menghampiri Dedy Ari Asfar, dan Budi Miank, dedengkot seminar ini untuk wawancara. Dedy adalah peneliti dari Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), sedangkan Budi menjabat ketua dalam Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Dedy dan Budi tunjuk-tunjukkan. Aksi tersebut diakhiri dengan kesepakatan bahwa dua-duanya ikut si repoter cantik. Aku sempat melihat mereka di luar ruangan, lewat sebuah jendela dengan kaca yang transparan. Mereka masih saja tunjuk-tunjukkan. Aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Asyik sekali gaya mereka, sangat alami dan manusiawi. Seperti anak-anak cowok SMA yang malu-malu berkenalan dengan seorang gadis, tapi tentu saja mereka tak kuasa menolak.
Tak lama kemudian, Dedy masuk ke ruangan. Dia menghampiri meja registrasi dan membawa dua kotak kue, lantas keluar ruangan lagi. Aku menduga kotak kue tersebut untuk reporter dan kamerawannya. Setelah selesai dengan urusannya, Dedy dan Budi kembali ke ruangan dan duduk manis di kursinya masing-masing.
Namaku dipanggil. Wow...saatnya...
Aku memaparkan apa yang aku tahu tentang bahasanku. Dengan sedikit mengadopsi berbagai teori jurnalistik dan ilmu komunikasi, serta tentu saja hasil tebakan mahasiswa yang selalu terlambat setiap harinya ini.
15 menit berlalu, presentasi selesai. Tiba waktunya untuk sesi tanya jawab.
2 pertanyaan untuk pemakalah pertama, 1 untuk pemakalah kedua, tentang bahasa inggris, 1 untuk pemakalah keempat yang membahas tentang kolom sastra di koran, dan 1 untukku. Pemakalah ketiga bebas pertanyaan.
Si Boss kelihatan kaget, mendengar ada satu pertanyaan untukku, apalagi dia tahu benar bahwa yang bertanya adalah seorang doktor dari Universitas Tanjungpura. Dia lalu keluar meninggalkan ruangan. Tak lama, dia kembali lagi duduk di kursinya, lalu memberi isyarat agar aku membaca pesannya di Hpku.
30 detik, HP ku berbunyi.
“Beri contoh berita yg pk js dan strigh news.yg lain2 tak usah jawab langsung, blg aja akan dilengkapi.” (10.23.52)
Aku tersenyum melihat pesan itu, juga melihat ekspresi wajahnya yang cemas. Aku jadi ingat tulisan Andreas Harsono yang menyatakan wajah si Boss pucat saat tragedi Equator terjadi tahun lalu. Tidak, dia tidak pucat, tapi kulitnya memang putih, hanya ekspresi wajahnya yang seakan-akan menggambarkan kalau mahasiswanya ini akan dilemparkan ke persemayaman buaya untuk menjadi korban ritual aliran sesat. Tak separah itu Boss....
“Makasih Boss. Tp nebak2 sikit boleh kan? Hehehe” (10.29.49)
Aku membalas SMSnya
“Tak usah. Merendah pd doktor untan tu tak apa.” (10.30.49)
Katanya lagi
Tiba giliranku menjawab. Aduh Boss, maaf, aku gak bisa sepenuhnya mengikuti saranmu dengan hanya memberi contoh dan selanjutnya mengatakan “nanti akan saya lengkapi”. Aku tampil disini membawa nama kampus, juga namamu. Aku tak akan menyerah kalah begitu saja. Dia memang hebat Boss, karir dan gelar akademiknya jauh melampauiku, tapi aku mahasiswamu. Aku ingin wajahmu tetap tegak di forum ini, sebagai dosenku. Aku tak akan menyerah begitu saja, dan lihatlah Boss, aku akan menjawab setiap pertanyaannya, untuk kebanggaanmu dan untuk kampus kita.
Tapi jangan khawatir Boss, kamu tak pernah mendidikku untuk sombong, dan aku juga takkan membangkang perintahmu. Nanti Boss, setelah kujawab semua pertanyaannya aku akan menambahkan diakhir kalimatku “nanti untuk lebih jelasnya akan saya lengkapi makalah saya, Pak”, bahkan aku akan menambahkan kalau aku adalah “seorang anak yang sedang belajar”, dan akan ku”cari teori-teori lain dari buku perpustakaan”, meskipun sudah 3 semester aku tak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan kampus.
Boss, aku senang saat jawabanku diterima oleh mereka semua. Tapi aku lebih bahagia melihatmu tersenyum dari kursimu. Tahu kenapa ??? Karena kamulah orang yang paling mengerti betapa aku mencintai dunia penulisan, dan kamu selalu percaya padaku, kamu percaya pada mimpi-mimpiku, Boss. Kamu juga selalu membuat aku percaya pada kemampuan dan cita-citaku.
Saat kamu menjabat tanganku, dan mengucapkan selamat atas jawabanku, aku tahu bahwa aku selalu ingin melihat senyum itu, senyum kebanggaanmu. You are my best Papah, Boss. Always.....
15 Desember 2007
Aku lihat dia tersenyum dari dari tempat duduknya, di depan sebelah kananku di kursi barisan ke 5. Lalu dia mengetik tuts-tuts keypad pada HP nya.
"Jangan khawatir. Di sebelahmu org jg br jd pemakalah" (08.45.19)
Aku jadi gantian senyum melihatnya. Berdebar ??? Iya, tapi takut ??? Tentu tidak. Aku sangat menikmati tiap detik waktu yang berjalan. Jantung yang berdebar, waktu yang semakin dekat, aku selalu menikmatinya. Aneh ? mungkin, aku mungkin memang termasuk dalam komunitas orang aneh. Dan tak menjadi masalah yang besar bagiku, karena bahkan aku tak pernah memikirkan semua keanehan yang aku miliki.
Beberapa menit kemudian aku melihat si Boss mengeluarkan botol minumnya. Dia menawariku minum dari tempat ia duduk, karena dia tahu benar bahwa kami memiliki kebiasaan yang sama, yakni membawa sebotol air minum dari rumah. Aku membalasnya dengan tersenyum.
Saat itu, peserta semakin banyak yang hadir, wartawan juga makin berdatangan. Kali ini seorang TVRI dan kamerawannya masuk ke ruangan. Si Reporter tampak rapi dengan jas yang dipadankan dengan blus dan celana panjang yang berwarna senada, biru. Rambutnya lurus mencapai bahu, dibiarkannya tergerai.
Dia menghampiri dua wanita cantik di meja registrasi untuk mendapatkan panduan seminar. Yang mencolok di mataku adalah tahi lalat yang agak besar di pipinya. Dia tampak manis dengan asesoris alam itu. Sedangkan sang kamerawan tampil seadanya, jeans, bersepatu dan kaus oblong, serta meneteng kamera yang kukira cukup berat kalau aku yang membawanya.
Reporter itu kemudian menghampiri Dedy Ari Asfar, dan Budi Miank, dedengkot seminar ini untuk wawancara. Dedy adalah peneliti dari Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), sedangkan Budi menjabat ketua dalam Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Dedy dan Budi tunjuk-tunjukkan. Aksi tersebut diakhiri dengan kesepakatan bahwa dua-duanya ikut si repoter cantik. Aku sempat melihat mereka di luar ruangan, lewat sebuah jendela dengan kaca yang transparan. Mereka masih saja tunjuk-tunjukkan. Aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Asyik sekali gaya mereka, sangat alami dan manusiawi. Seperti anak-anak cowok SMA yang malu-malu berkenalan dengan seorang gadis, tapi tentu saja mereka tak kuasa menolak.
Tak lama kemudian, Dedy masuk ke ruangan. Dia menghampiri meja registrasi dan membawa dua kotak kue, lantas keluar ruangan lagi. Aku menduga kotak kue tersebut untuk reporter dan kamerawannya. Setelah selesai dengan urusannya, Dedy dan Budi kembali ke ruangan dan duduk manis di kursinya masing-masing.
Namaku dipanggil. Wow...saatnya...
Aku memaparkan apa yang aku tahu tentang bahasanku. Dengan sedikit mengadopsi berbagai teori jurnalistik dan ilmu komunikasi, serta tentu saja hasil tebakan mahasiswa yang selalu terlambat setiap harinya ini.
15 menit berlalu, presentasi selesai. Tiba waktunya untuk sesi tanya jawab.
2 pertanyaan untuk pemakalah pertama, 1 untuk pemakalah kedua, tentang bahasa inggris, 1 untuk pemakalah keempat yang membahas tentang kolom sastra di koran, dan 1 untukku. Pemakalah ketiga bebas pertanyaan.
Si Boss kelihatan kaget, mendengar ada satu pertanyaan untukku, apalagi dia tahu benar bahwa yang bertanya adalah seorang doktor dari Universitas Tanjungpura. Dia lalu keluar meninggalkan ruangan. Tak lama, dia kembali lagi duduk di kursinya, lalu memberi isyarat agar aku membaca pesannya di Hpku.
30 detik, HP ku berbunyi.
“Beri contoh berita yg pk js dan strigh news.yg lain2 tak usah jawab langsung, blg aja akan dilengkapi.” (10.23.52)
Aku tersenyum melihat pesan itu, juga melihat ekspresi wajahnya yang cemas. Aku jadi ingat tulisan Andreas Harsono yang menyatakan wajah si Boss pucat saat tragedi Equator terjadi tahun lalu. Tidak, dia tidak pucat, tapi kulitnya memang putih, hanya ekspresi wajahnya yang seakan-akan menggambarkan kalau mahasiswanya ini akan dilemparkan ke persemayaman buaya untuk menjadi korban ritual aliran sesat. Tak separah itu Boss....
“Makasih Boss. Tp nebak2 sikit boleh kan? Hehehe” (10.29.49)
Aku membalas SMSnya
“Tak usah. Merendah pd doktor untan tu tak apa.” (10.30.49)
Katanya lagi
Tiba giliranku menjawab. Aduh Boss, maaf, aku gak bisa sepenuhnya mengikuti saranmu dengan hanya memberi contoh dan selanjutnya mengatakan “nanti akan saya lengkapi”. Aku tampil disini membawa nama kampus, juga namamu. Aku tak akan menyerah kalah begitu saja. Dia memang hebat Boss, karir dan gelar akademiknya jauh melampauiku, tapi aku mahasiswamu. Aku ingin wajahmu tetap tegak di forum ini, sebagai dosenku. Aku tak akan menyerah begitu saja, dan lihatlah Boss, aku akan menjawab setiap pertanyaannya, untuk kebanggaanmu dan untuk kampus kita.
Tapi jangan khawatir Boss, kamu tak pernah mendidikku untuk sombong, dan aku juga takkan membangkang perintahmu. Nanti Boss, setelah kujawab semua pertanyaannya aku akan menambahkan diakhir kalimatku “nanti untuk lebih jelasnya akan saya lengkapi makalah saya, Pak”, bahkan aku akan menambahkan kalau aku adalah “seorang anak yang sedang belajar”, dan akan ku”cari teori-teori lain dari buku perpustakaan”, meskipun sudah 3 semester aku tak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan kampus.
Boss, aku senang saat jawabanku diterima oleh mereka semua. Tapi aku lebih bahagia melihatmu tersenyum dari kursimu. Tahu kenapa ??? Karena kamulah orang yang paling mengerti betapa aku mencintai dunia penulisan, dan kamu selalu percaya padaku, kamu percaya pada mimpi-mimpiku, Boss. Kamu juga selalu membuat aku percaya pada kemampuan dan cita-citaku.
Saat kamu menjabat tanganku, dan mengucapkan selamat atas jawabanku, aku tahu bahwa aku selalu ingin melihat senyum itu, senyum kebanggaanmu. You are my best Papah, Boss. Always.....
15 Desember 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)