Saturday, January 30, 2010

Saat Menungguimu, Sobat....

Malam semakin larut, 00.56 Selasa 19 Januari 2010 dini hari WIB. Malam ini tak seperti malam-malam lainnya, sebab malam ini aku dan teman-teman sedang menemani Ari yang tertidur sehabis dioperasi tadi siang. Hanya sesekali dia terbangun dan tersenyum menatapku. Malam ini mengingatkanku pada malam-malam yang pernah kuhabiskan di rumah sakit tahun-tahun yang lalu.

Dinginnya dinding-dinding rumah sakit dan lantainya yang beku pernah menemani malam-malam ku, nyaris seperti malam ini. Ada rasa pedih yang rasanya melukis tiap inchi dinding-dinding itu. Trauma masa lalu tentang rumah sakit lagi-lagi terasa tergambar di kelopak mataku. Kini, lagi, sahabat kecil yang kusayang harus terbaring lemah di bangsal tua rumah sakit. Sementara kecemasan yang sombong tetap menyelimutinya dengan angkuh. Lagi-lagi seorang yang kusayang harus terpenjara di lengkung lengan besi si bangsal tua.

Ari demam. Sesekali bibirnya bergetar. Aku dan Icha memandangnya nanar. Kak Vita tersenyum menatap kami. Ari tak banyak membuka matanya. Hanya sesekali. Bibirnya agak memucat. Konon itu disebabkan pendarahan akibat operasi tadi. Ada sekantong kecil darah yang menyertai tabung infus besar yang akan segera menjadi tamu dalam tubuhnya. Ah, adik kecilku. Dia kembali tertidur.

Handphone ku bergetar. Nama seorang sahabat muncul di layar LCD. Tak ada basa-basi, khas gayanya.

“Kasi aku alasan ngape tak maok jadi menteri. Alasan konkret yang bise aku terima dengan logika aku. Aku tak maok alasan karena udah ketuean di kampus atau apelah. Aku maok alasan yang benar-benar konkret” ujarnya tepat di pokok permasalahan.

“Udah tak penting agik sekarang. Kan udah nak pelantikan,” jawabku

“Ini bukan soal pelantikan”

Terus buat ape? Emang dah tak penting agik”

“Terserah, buat aku penting”

“ Malam ini pikirkan, besok sebelum dzuhur aku tunggu jawabannye. Sekarang aku capek, baru balek darijeruju,”

Dia menutup teleponnya. Beberapa SMS kemudian kukirim dan kuterima yang membahas soal masalah di telepon. Aku masih menjawab sama. Tak penting untuk dibahas.

Pukul 01.19 dini hari. Kak Vita ke kamar mandi. Icha tertidur pulas di sisi kananku, sementara Hakim juga bergelut di alam mimpinya tepat di sebelah kiriku. Yos dan Budin sudah sejak tadi berhenti bercanda dan memilih beristirahat. Heri tetap sibuk dengan kerjaannya sambil sesekali mengunyah kacang atom garuda. Aku bergulat dengan laptop kesayangan Ari yang sejak semalam sudah ku sita, tentunya dengan tema kerjaan dua mingguanku, lay out dan sedikit editing. Aku mengerjap sejenak mengusir kantuk yang mulai datang. Aku sedang tak ingin melakukan apapun selain menulis. Lay out menjadi pekerjaan yang membosankan malam ini, tak seperti malam-malam lain yang selalu sukses meraih seluruh perhatianku. Editing juga sangat tak mengasikkan, padahal tulisan di depanku begitu asik untuk dibaca. Tapi aku sedang tak ingin. Itu masalah terbesarnya saat ini.

Aku melirik bangsal rumah sakit yang tepat berada di depanku. Tampaknya Ari terbangun. Aku melihat bibirnya bergetar menggeliat sakit. Ku buang wajahnya dari pandanganku. Miris. Sahabat baik hati yang terlihat sangat kesakitan, bahkan begitu jelas di depanku, rasanya begitu sakit. Aku melanjutkan kalimat demi kalimat yang mungkin dapat kutulis untuk mengusir penat sejenak. Tulisan selalu menjadi penghibur hati, saat segalanya sudah tak lagi menenangkan. Saat semuanya terasa begitu terlalu membosankan dan saat segalanya menjelma dalam sosok-sosok hitam kegelapan yang asing.

Di beberapa bagian persendianku masih terasa pegal, hadiah survei lokasi pengukuhan anggota baru rumah kami, hari Minggu kemarin. Aku sempat mencoba hampir semua tantangan outbond di sana, meskipun peralatan pengamanan belum dipasang. Toh, aku dan teman-teman tak peduli dengan pengaman-pengaman itu. Aku ingin. Itu faktornya.

Aku melirik Hakim sebentar. Dia memunggungiku. Tak terlihat seperti apa wajahnya saat tertidur, tapi wajah inilah serta wajah 8 orang teman seangkatannya yang begitu lekat akhir-akhir ini di mataku. Bukan karena mereka lebih baik atau lebih kusayang. Tapi, mereka sangat membanggakanku. Akhir-akhir ini mereka harus bekerja lebih berat, karena beberapa musibah yang mendera kakak dan abang mereka. Banyak hal yang harus mereka lewati akhir-akhir ini. Aku begitu bangga karena mereka justru semakin kuat dan dewasa. Sosok mereka membuatku sadar bahwa mereka memang pantas menjadi yang terpilih. Mereka membuatku begitu optimis bahwa rumah kami akan tetap bersinar.

Ah, mereka yang dulu kami panggil “bayi-bayi” pers mahasiswa, kini telah tumubuh begitu dewasa dan kuat sebagai garda depan penerbitan dan sinar dalam rumah kami. Tak sia-sia rasanya mereka ditetaskan di atas bukit Rel dan belajar mandi bersama-sama anak kodok di kolam bawah bukit. Juga tak sia-sia rasanya belajar berjalan di antara pekuburan di tengah malam. Mereka dewasa dengan cepat dan menjadi begitu kuat. Sebentar lagi, kami akan kembali menetaskan bayi-bayi pers mahasiswa yang lain. Sepuluh orang lagi. Meski tempat menetas mereka berbeda, aku berharap bayi-bayi baru ini akan sekuat kakak-kakaknya.

Ah, malam semakin larut. Heri sudah merapikan pekerjaannya. Mengambil tempat di sisi Budin dan kemudian merebahkan diri. Pukul 0.2.15 WIB, malam lebih larut lagi. Malam ini akan kuakhiri sampai di sini. Cukup sampai di sini, karena esok masih ada kisah-kisah lain yang sudah menanti untuk diselesaikan.

No comments: