Kamis, 10 Januari 2008 M bertepatan dengan 1 Muharram 1429 H. Pukul 08.30 WIB, aku mendapatkan telepon undangan untuk menghadairi rapat mengenai bulletin dewan dakwah. Undangan itu sebenarnya telah sampai beberapa hari yang lalu lewat SMS teman-teman yang juga bergabung disana. Acaranya di Jl. Silat Baru pukul 12-an atau ba’da sholat Dzuhur.
“I
ya Pak, saya usahakan, nanti saya juga akan hubungi teman-teman yang lain” ujarku menutup pembicaraan.
Aku segera menghubungi ketiga temanku via SMS. Dapat jawaban, satu orang diantara kami, Erni, tak bisa menghadiri undangan tersebut karena harus menjadi panitia dalam kegiatan menyambut tahun baru Islam. Akhirnya, hanya aku, Hanisa Agustin dan Fikri Akbar yang akan pergi menghadirinya.
Pukul 11.45 WIB, Hanisa datang menjemputku. Aku belum siap dan dia menungguku. Kami berangkat sekitar pukul 12.20 WIB. Dalam perjalanan, beberapa kali SMS masuk ke Hpku dari teman-teman. Hanisa sempat bilang bahwa kami harus singgah dulu di kampus untuk menjemput Fikri, dia janjian di kampus. Kami berhenti di jalan Letjend. Suprapto, belum sampai di kampus. Hanisa memutuskan untuk menelpon Fikri, menanyakan posisinya saat ini. Dia masih di rumah menunggu motornya yang sedang digunakan kakaknya. Akhirnya aku dan Hanisa memutuskan untuk pergi lebih dulu, dan nanti akan disusul oleh Fikri.
Memasuki jalan Silat, aku dan Hanisa sempat salah memilih jalur. Kami menyusuri jalur kiri, sementara tempat yang kami tuju ada di jalur kanan. Kami segera menyadarinya ketika melihat urutan nomor rumah yang tersusun lebih kecil dan sempat bingung karena urutannya yang agak kacau. Sesuatu yang biasa terjadi dalam perumahan masyarakat, urutan nomor rumah yang kacau.
Ketika sampai kami disambut oleh Pak Fakhrudin, dan di ruang tamu sudah ada Bang Deman, Bang Sujadi, Bang Jumadi, Pak Bastaman, dan seorang lagi yang belakangan ku tahu bernama Heri. Kami duduk di kursi sebelah kiri ruangan (jika posisi menghadap jalan). Sementara yang lain duduk di sofa. Tak lama kemudian, kami dipersilahkan untuk makan siang sambil menunggu yang lain. Satu per satu tamu-tamu lain berdatangan. Pak Nas, dia datang usai memberi kuliah untuk mahasiswanya. Dia menolak dengan halus tawaran Pak Fakh untuk makan siang.
“Saya sudah terlanjur makan, gak baik kalau terlalu kenyang” katanya.
Lalu Rizky yang kemudian datang, disusul dengan Rudy. embicaraan mengenai masalah buletin pun dimulai. Pak Fakh yang membuka pembicaraan disusul dengan Pak Bastaman sebagai pimpinan perusahaan, dan Bang Sujadi sebagai pimpinan Redaksi. Lalu Pak Nas sebagai penanggung jawab keseluruhan. Semuanya bergantian mengeluarkan pendapatnya. Bang Deman memilih banyak diam, dan menuliskan sesuatu di buku catatan kecilnya. Heri benar-benar diam. Bang Jumadi sesekali menimpali dengan komentar atau menambahkan pembicaraan. Nisa dan Fikri lebih suka mendengar. Rizky dan Rudy nimbrung dalam pembicaraan. Aku lebih suka memperhatikan mimik wajah setiap orang yang bicara. Mungkin aku terpengaruh dengan artikel psikologi yang biasa ku baca sambil memperhatikan bahasa yang mereka gunakan (kalau yang ini ketularan kebiasaan Papah).
Pukul 14.45 HP ku berbunyi dari seseorang dari Jakarta. Beberapa hari yang lalu aku dan temanku, Ambar sempat menjawab tantangannya untuk membuat laporan panjang. Dia lantas menanyakan tema laporan yang ingin kami tulis. Mungkin tentang anak-anak putus sekolah, jawabku.
“Tidak menarik, sudah banyak yang bikin” katanya singkat.
Dia lalu menyarankan untuk membuat sebuah laporan kejadian yang baru-baru ini terjadi di Kalbar. Agak berbau etnisitas memang. Menarik, dan aku bilang kami akan berusaha. Usai menerima telponnya, aku kembali masuk ke ruang tamu rumah Pak Fakh untuk melanjutkan rapat DD yang sempat kutingglkan. Aku kembali pada perbincangan yang terjadi di depanku sambil menikmati pisang goreng dan kue nangka dengan adonan tepung beras yang enak sekali, asli buatan Bu Fakh dari hasil kebun sendiri di belakang rumahnya.
Dalam rapat itu, aku sempat menghubungi Ambar, pukul 15.05 WIB, aku SMS Ambar tentang kabar terbaru rencana laporan kami. Akhirnya kami janjian di P3M Cyber, pukul 16.45 WIB.
Rapat masih berlangsung, berbagai pendapat telah dilontarkan, semua sepakat untuk mempertahankan tabloid DD dengan cara kerja yang lebih profesional. Ada catatan lain, kami harus kembali bertemu untuk mempersatukan visi dan misi tabloid ini ke depannya. Minggu, 27 Januari ditetapkan sebagai hari pertemuan berikutnya. Aku agak kecewa dengan rapat kali ini. Beberapa produk tabloid gagal, dan karena itu, ada seseorang yang sangat disudutkan dan dianggap sebagai sumber masalah. Dan orang itu tak hadir hari ini. Kupingku agak panas mendengarnya, tapi aku sama sekali tak bicara soal itu. Biar saja dulu, dengan ini aku bisa menilai bagaimana dan seperti apa orang-orang yang akan menjadi teman kerjaku. Perkenalan itu penting.....Pertemuan ini diakhiri sekitar pukul 16.15 WIB. Ada 30 menit waktu yang tersisa untuk meluncur ke P3M guna menepati janji pada Ambar.
***
Sampai di P3M, aku melihat Apri di meja billing yang tersenyum usil, khas gaya anak bungsu P3M ini. Aku sholat Ashar di lantai 2. Ketika selesai Ambar telah menungguku di ruang depan. Aku membawanya masuk ke ruang tengah dan membicarakan tentang laporan kami. Lalu kami berdua memutuskan untuk berkonsultasi dengan Papah kami, (Ambar menulis Ayah~Y di Hp untuk nomor Hp papah dan aku menulis dengan nama pendeknya). Ambar menelponnya. Awalnya, kami berencana menemuinya di kantor, tapi ternyata dia ada di rumah Mbok (panggilan untuk kakak perempuan).
Kami kesana, TPI (bukan Televisi Pendidikan Indonesia, ini nama sebuah tempat di Pontianak) lumayan jauh dari P3M. Kami tiba sekitar pukul 17 lewat, aku lupa melihat jam saat itu, mungkin sekitar 17.30 WIB. Ambar sempat lupa rumahnya, motor kami berjalan lambat, untuk melihat motor Papah yang kemungkinan parkir di halaman rumah Mbok. Tapi tak kami temukan. Untung saat itu, seorang lelaki yang dikenali Ambar sebagai suami Mbok, yang kemudian kusapa dengan Bapak, berdiri di teras rumahnya. Kami berhenti dan mengucapkan salam. Dia mempersilahkan kami masuk.
Ambar segera masuk, dan langsung ke ruang dalam. Dia memang dekat dengan keluarga ini. Dia dan Papah masih memiliki hubungan keluarga dan sempat tinggal di rumah Papah, sehingga dia mengenal dengan baik keluarga Papah, maupun kakak dan adik-adik serta orang tuanya. Tinggallah aku yang terbengong sendirian, tidak tahu harus kemana. Tak sopan rasanya jika harus masuk ke dalam, sedangkan aku orang asing di sini. Untung Papah segera keluar, dia yang menemaniku di ruang tamu sambil bercakap-cakap tentang laporan itu. Sore itu, dia mengenakan kaos putih dengan berbagai tulisan berwarna merah, dan salah satu tulisan yang kuingat berbunyi “EQUATOR”. Sebuah kenangan lama.
Kaos itu dipadankannya dengan celana panjang berwarna abu-abu. Tak lama, Mbok keluar dengan membawa dua gelas syrup rasa Lychee. Kami berkenalan, dia wanita yang sangat ramah. Papah memperkenalkannya sebagai aktivis WARTA zaman dia kuliah dulu. Wow, senang bertemu dengan pendahuluku. Dia dan Papah kuliah di kampus yang sama denganku sekarang. Sikap dan sinar matanya yang bersahabat membuatku nyaman. Dia sempat berbicara denganku sebentar, lalu masuk kedalam, karena ayahnya sedang sakit. Papah mendengarkan ceritaku, lalu memberikan komentar.
“Laporan itu beresiko” katanya.
Tak lama Ambar bergabung denganku dan Papah di ruang tamu. Papah mengingatkanku dan Ambar tentang apa yang kemungkinan akan kami hadapi sebagai ganti laporan ini. Resiko yang memang tak kecil untuk ukuran kami yang masih kuliah dan dalam tahap belajar. Dia mengenal orang-orang yang akan menjadi nara sumber kami, juga orang yang menyarankan tema itu pada kami. Dia tidak melarangku dan Ambar untuk menulis laporan itu, khas sikapnya, dia bilang silahkan kalau ingin mencoba. Tapi kami bisa merasakan bahwa dia lebih senang jika kami mencari tema lain. Banyak hal yang dibicarakannya, dan kami menangkap bahwa dia mengajari kami untuk lebih selektif dalam memilih tema laporan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga termasuk faktor keselamatan yang dari tadi membuatnya kelihatan agak keberatan dengan tema laporan kami. Kami mengerti.
Bersambung.....