Tuesday, January 15, 2008

Beberapa Jam di Tahun Baru Hijriah....(2)



Setelah pembicaraan usai, Ambar mengajak pulang, bersamaan dengan suara adzan yang berkumandang. Papah menawarkan kami untuk sholat dulu, kami menerima tawarannya, mengingat jarak yang akan kami tempuh tidak dekat. Aku dan Ambar berwudhu di samping rumah, dan menaiki tong-tong semen untuk menyipan air, kami menyebutnya tempayan.

“Ati-ati jatok, Kak” kata Ambar.

“Ini keren” jawabku.

Berjalan diatas tempayan punya memori tersendiri dalam hidupku. Sejak kecil aku menyukai air. Karena rumahku tidak di dekat laut, maupun sungai, maka tempayan menjadi alternatif terakhir untukku bermain air. Aku seringkali merendam kepalaku di dalam tempayan sambil berlatih pernafasan. Dan setiap kali Ibuku tahu, dia akan mengomeliku berjam-jam karena ulah gilaku tadi.
Setelah berwudhu, aku dan Ambar sholat Maghrib di lantai atas, di depan kamar anak keluarga ini. Wow...aku mengagumi kamarnya yang luas, ada beberapa tempat tidur yang tertata didalamnya. Dua TV dan playstation didepan TV, serta setrika dan alasnya berada diantara kedua TV tersebut. Beberapa sepatu tertata rapi diatas rak yang ditempatkan di depan kamar itu.

Aku dan Ambar sholat bergantian, Ambar duluan. Aku turun ke bawah, karena Hpku berbunyi, ada yang menelpon. Aku membawa tasku dan ambar ke atas. 18.35 WIB, Kusairi, temanku di Jogja miskol.

“ Knp, Ri” SMS ku

Indak ado. Cuma mau menyatukan dua hati yang terpisahkan oleh samudra indonesia. Makmane kabr Pntianak?Ucpnmu t’nyta bnr, Yan. Ak kmbli mrindkn bauya bumi Borneo” (18.38.13)

“Ptk baek2 jak, Ri. Cm ade riak2 kecik jak. Rindu same bumi borneo or orgnye.Siape tau sempt jatok ati same ank ptk,nanti Ti sampaikan. Hehehehe” balasku.

Dia tak menjawab lagi.

Setelah selesai sholat, aku dan Ambar turun ke bawah. Kami bersiap akan pulang, ketika Mbok dan Bik Te, adik Mbok mengajak kami makan bersama. Kami sempat menolak, tapi tak berhasil. Aku dan Ambar segera bergabung dengan Bik Te dan Mbok di dapur. Kerjaan pertamaku adalah memotong kol. Sementara Ambar memotong bawang.

Aku lebih banyak mengajak Bik Te ngobrol dari pada membantunya. Tak berapa saat aku mendengar komentar Papah dari ruang tengah yang berhadapan dengan dapur.

“Ah...Yanti jadi masak di dapok. Pandai masakkah Ti ?
” tanya Papah meledekku

“Tak pandai Pak, ganggu jak” jawabku pasrah, menghadapi ledekannya.

“Yanti tak pandai masak ?? Waduh susahlah nih.....” Mbok menambahi gurauan Papah.

“Pandai, masak Indomie, itu pun angus”
ujarku sekenanya.

Dan dalam sekejap jadilah aku pusat ejekan. Gara-gara papah neh....hehehehehehe.

Ti, waktu di Gombang sekelompok same siape ?” tanya Papah mengingatkanku pada peristiwa setahun yang lalu ketika STAIN mengadakan Kuliah Kerja Sosial (KKS) di Gombang, kabupaten Landak.

“ Same Pak Wajidi”
jawabku merujuk pada nama dosen tafsir di STAIN.

Lalu kudengar Papah menjelaskan tentang kegiatan KKS kami pada Bapak dan Mbok.

Setelah semua masakan selesai, kami mengelilingi meja makan di ruang tengah. Ada Papah, Bapak, lalu Ambar dan aku. Mbok lewat di depan meja makan sambil membawa piring berisi nasi dan lauk. Ambar mengajaknya makan, tapi dia menolak. Dia sedang membawakan Ai (sebutan kakek, ayahnya yang sedang sakit) makanan. Kami makan dengan tangan, tanpa sendok.

“Kite makan, Ai makan gak...” katanya tersenyum seraya masuk ke kamar Ai.

Tak lama Ambar memilih untuk makan di depan TV, aku mengikutinya. Kami nonton acara Super Mama di Indosiar. Ambar selesai duluan, dia lalu mencuci piring dan gelasnya. Aku juga melakukan hal yang sama. Ketika sedang mencuci piring, lagi-lagi aku harus menghadapi ledekan Papah. Waduh, Pah yang benar saja masa’ gak bisa cuci piring.

Selesai mencuci piring, aku kembali ke ruang tengah dan duduk di samping Ambar seraya mencomot buah jeruknya yang tinggal setengah. Papah menawariku jeruk, aku menjawabnya dengan menunjukkan jeruk di tanganku. Tak lama kemudian, aku dan Ambar pamit pulang. Kami juga pamit pada Ai. Aku melihat Ai terbaring lemah. Ambar menyalaminya, aku mengikutinya. Ai menanyakan siapa aku pada Mbok yang berdiri di pintu kamar.

“Ini cucu Ai gak“ katanya

Siapa” (dalam bahasa Hulu) Ai bertanya.

“ Yanti “ jawab Mbok

“ Yanti siapa ?"  (dalam bahasa Hulu)

“ Adek Ambar “ jawab Mbok

Oh adek Ambar “ katanya.

Aku tersenyum padanya. Ai melakukan percakapan itu, tanpa melepaskan tanganku. Dia terus menjabat tangan, dan menatapku. Ya, Ai menatapku, bahkan ketika dia bicara pada Mbok. Aku merasa tangan dan tatapannya begitu lembut dan hangat. Aku tak punya kakek sejak kecil, hanya ada seorang nenek yang tidak tinggal bersamaku. Mungkin karena itu, sosok Ai begitu membekas dalam ingatanku. Bahkan, hingga aku menyelesaikan tulisan ini beberapa hari setelahnya. Wajahnya masih dapat kuhapal dengan baik.

Dia mengantarkan aku dan Ambar dengan tatapannya hingga hilang di depan pintu kamarnya. Aku dan Ambar menuju teras, kami diantar oleh Mbok, Papah, dan Bapak. Ternyata Papah juga berniat pulang, dia diantar oleh keponakannya, anak Mbok dengan mengendarai motor. Pantas saja aku dan Ambar tak menemukan motornya, ternyata dia pakai Oplet. Kami berpisah di depan Jl. Karet, aku dan Ambar melanjutkan perjalanan menuju Kota Baru, rumahku.

Hari ini aku mempelajari banyak hal, banyak sekali. Terima kasih Tuhan, telah membawa takdirku ke rumah itu, bertemu dengan keluarga yang hangat. Terima kasih untuk beberapa menit yang sangat luar biasa, dapat berjabat tangan dan berkenalan dengan seorang kakek yang telah membesarkan sekaligus mendidik dosen dan teman yang begitu baik, seperti Papah. Seseorang yang peduli dan mengerti cita-citaku.

Dan aku bersyukur, memiliki teman-teman yang luar biasa, Ambar salah satunya. Dia membuatku tidak merasa sendirian ketika menggantungkan cita-cita yang amat tinggi. Harvard dan Sorbonne adalah jembatan impian kami. Sesuatu yang sangat tinggi, untuk mahasiswa-mahasiswa seperti kami. Tapi kami tak pernah peduli, kami terus bermimpi.

Kami tak boleh mendahului takdir dengan menyatakan bahwa semua itu tak mungkin. Apa yang tak mungkin bagi Tuhan ? Untuk kami, mimpi adalah bagian dari nyawa yang menopang kehidupan kami. Saat ini, kami sama-sama berjuang mewujudkan mimpi kami, membentuk atmosfer persaingan dalam prestasi, tapi saling berbagi dalam keseharian untuk saling menguatkan. Jika Aceh terkenal dengan perempuan-perempuannya yang kuat, maka kami adalah perempuan Kalbar yang liat dalam menghadapi tantangan untuk mencapi impian kami. Tuhan, inilah kami.....


Tamat



1 comment:

Kusairi said...

Oke shobat, terus lah menulis.
salam