Oleh : Hardianti
Akhir-akhir ini, ibu pertiwi kembali menangisi kelakukan tak pantas dari putra-putrinya. Belum selesai penanganan bencana alam di berbagai wilayah Indonesia, juga belum tuntas permasalahan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, sekarang, giliran dunia pendidikan yang dilibas bencana. Jika tahun 1966, kaum muda bersatu padu menumbangkan kekuasaan Orde Lama, begitu juga dengan tahun 1998 ketika meruntuhkan keangkuhan Orde Baru, maka dalam era reformasi, segelintir kaum muda malah mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia.
Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kini, giliran mahasiswa APDN berebut merampas nyawa orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan yang sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia ?
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.
MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.
Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bise ngerjekan anak baru, dapat baju kaos gratis agik". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.
Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.
Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan yang sehat, maka diperlukan strategi pendidikan yang kuat dan cerdas. Kegiatan pengenalan sekolah dan kampus harus di tata sedemikian rupa dengan asas manfaat, yang benar-benar membantu dalam aktivitas akademis. MOS dan OSPEK diharapkan tidak lagi menjadi ketakutan tersendiri bagi siswa dan mahasiswa baru, namun dapat menjadi gerbang untuk mengasah potensi masing-masing. Lembaga pendidikan juga dituntut untuk proaktif dalam membina siswa dan mahasiswanya, serta mengontrol kegiatan-kegiatan yang dianggap memberikan peluang terjadinya kekerasan dan pelecehan.
Untuk siswa dan mahasiswa serta keluarganya, diharapkan tidak segan-segan untuk melaporkan penyimpangan-penyimpangan dalam proses belajar kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan atau pihak yang berwajib. Semua ini penting untuk mencegah kembali terjadinya kekerasan dan pelecehan dalam pendidikan, mengingat pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas demi terwujudnya pembangunan di Indonesia.
Semoga saja pada awal tahun ajaran kali ini dan seterusnya, tidak akan ada lagi siswa dan mahasiswa yang melakukan atau mengalami tindakan kekerasan dalam kegiatan pengenalan sekolah dan kampus. Para pengajar juga diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa, tanpa kekerasan dan pelecehan.
Borneo Tribune, lupa tglnya...
4 comments:
Itulah realitas dunia pendidikan kita. Kini malah muncul lagi fenomena Geng siswi (cewek) yang juga mempraktikkan kekerasan. Butuh kesabaran dan kesungguhan untuk menciptakan suasana humanisme dalam kultur sekolah kita.
Ya itu kekerasan memang realitas, dan itu terjadi sudah sejak lama. Banyak hal yang harus diperbaiki untuk menghilangkan kekerasan. Baca tulisan saya di rahman4free.blogspot.com
Thanks Mbak Yanti, di Kalbar, aku terinspirasi tulisan Mbak, dan mulai punya gambaran buat menyelesikan tulisan saya! Aku dah baca paparan Mbak (jauh di Tasikmalaya, pelosok Jabar) Memang kekerasan itu nggak ada gunanya...(http://moslegraph.blogspot.com)
gmn ya cara menghilangkan budaya kekerasan khususnya dalam ospek? Itu kan sebetulnya perilaku yg memalukan tapi malah dengan bangga dilakukan oleh anak2 di kampus.
Post a Comment