Saturday, March 10, 2007

Aku Menamainya Cinta

Aku mengenal seorang ibu muda, dia tinggal bersama anak semata wayangnya, setelah suami meninggal dunia. Teguh dan selalu berusaha tersenyum dalam menapaki hidup, itu yang selalu ia lakukan, meski gurat-gurat kepedihan tetap tegambar dalam bening matanya. Dengan membuka warung kecil, ia berusaha menutupi kebutuhan hidup mereka berdua. Yah.... dimanapun janda muda yang cantik selalu mendapat cobaan, bahkan ia pernah dilecehkan oleh seorang mahasiswa, yang seharusnya merupakan bagian dari kaum intelektual yang mampu menghormati masyarakat. Namun ketegaran terlalu kuat untuk dihancurkan oleh kenyataan yang genit. Sampai saat ini ketegaran itu pula yang selalu menemaninya untuk menjalani takdir, sedikit demi sedikit ia dapat diterima dilingkungan tempat tinggalnya yang sekarang. Namun hidup tak sampai disitu, ia harus memikirkan biaya sekolah anaknya yang semakin melangit, kebutuhan hidup yang semakin tak bisa diajak kompromi, dan semua hal yang harus ditanggung sendiri. Aku terpana saat dia berkata,
" Sepedih ape nasebku yan, tak bise aku nangis didepan anakku " ujarnya dengan logat sambas yang kental. Bukannya dia manusia yang tak punya hati hingga tak dapat menangis, namun menangis adalah acara ritualnya ditengah malam dalam bentangan sajadah. Atau seringkali menangis dilakukannya tanpa suara ditemani bantal yang bisu. Aku kagum dengan cara yang ia lakukan untuk mendidik anaknya, yang baru berusia 9 tahun. Dalam usia sebelia itu, dia selalu mengajaknya berdiskusi tentang langkah yang akan mereka tempuh selanjutnya. Dia membiarkan anaknya dewasa, tanpa harus membuang masa kecilnya. Dia ajarkan kepada anaknya bahwa hidup bukan untuk ditangisi, namun untuk dijalani. Dia mencintai buah hatinya, namun dia tidak memanjakannya, karena dia yakin hidup tidak akan pernah memanjakan seorang manusia. Belaian dan timangannya dia simpan menjadi do'a yang akan dia panjatkan untuk lelaki kecil itu. Terusss seperti itu, kadang ia lelah untuk tegar, namun ketegaran bukan sebuah pilihan, baginya ketegaran adalah satu-satunya jalan. Air matanya tak jua tumpah saat sang buah hati mesti jauh darinya. Si kecil ia kirim untuk bersekolah ke Bogor, karena disana menyediakan pondok pesantren khusus untuk anak yatim. Mereka dapat bersekolah dengan fasilitas yang memadai tanpa harus memikirkan biaya. Ia tabah, bahkan benar-benar tabah saat harus menjalani hidup dalam kesendirian tanpa bintang yang selama ini menjadi sumber ketabahannya.
“ Kakak nih kejam, anak masih kecil bah dikirim jauh-jauh “ kata temanku
“ Boy, aku malah kejam kalau membiarkan anakku disini “ ucapnya
“ Aku harus cari nafkah, tak ade waktu nak ngajarnye, ngaji, sekolah, kalo kubiarkan die dekatku terus, ape jadinye budak tuh. Aku yang malah maok menang sendiri namenye “ lanjutnya masih dengan logat daerah jeruk itu.
“ Jangan kau Tanya soal sedih, sedih aku Boy, tapi die anakku, aku tak maok kalo die tak senonoh hidupnye “ ujarnya
Boy diam saat itu, seraya melanjutkan menikmati bakwan yang tinggal setengah ditangannya.
“ Aku cuma maok die berhasil hidupnye Yan, tadak kayak aku ngan abahnye almarhum “ katanya lagi seakan meminta persetujuanku akan tindakannya. Aku tersenyum padanya. Aku tak perlu mengatakan kalau aku tahu semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikan si kecil. Dia telah mengorbankan apapun yang dia miliki untuk anaknya. Dia mengorbankan kebahagiaan pribadinya, ia memutuskan untuk tidak menikah lagi demi menjaga perasaan dan kasih sayangnya untuk sikecil. Segala yang ia miliki semata-mata hanya untuk si kecil. Saat ini dia berusaha mati-matian untuk mencari uang dan mengumpulkannya agar dapat datang menengok si kecil di daerah yang bahkan belum terjamah oleh mimpinya.
“ Kak Si Adek adalah anak yang paling beruntung, karena meski abahnya meninggal, tapi dia tidak pernah kehilangan figur ayah. Ayah dan ibunya menjadi satu dalam sosok wanita yang amat tegar. Yakinlah Allah tidak akan pernah membuatnya kesepian dan merasa sebagai anak yatim “ ucapku.
Wajahnya tertunduk namun aku yakin hatinya saat itu mendongak menatap bintang di angkasa seakan mengatakan ‘ Wahai Bintang, katakan pada Penciptamu bahwa aku menyerahkan perlindungan atas anakku seutuhnya hanya padaNya ‘. Aku meninggalkan warung kecilnya untuk pulang kerumah. Terimakasih Ya Allah, hari ini telah Engkau berikan pelajaran berharga untuk hambaMu yang bodoh ini. Andai ibu tegar ini tak punya nama, maka aku akan menamainya ‘CINTA’.

August 12, 2006

No comments: