Saturday, March 10, 2007

Rumah Langit

Seorang gadis kecil duduk dibawah pohon rindang tempat dia biasa menyendiri dan berkhayal setelah dimarahi oleh orang tuanya. Kali ini dia benar-benar sedih, dia merasa bahwa tak seorang pun didunia ini yang mengerti akan dirinya, keinginannya atau mimpi-mimpinya. Dia tak pernah benar-benar merasa kalau di dunia ini dia memiliki seseorang tempat berbagi atau tempat dia bercerita tentang segala hal yang dia pikirkan. Semua orang hanya ingin agar dia menjadi yang mereka inginkan.
"Aku tak meminta banyak" katanya.
" Aku cuma ingin sedikit kebebasan" ucapnya lagi. Dia memandangi tiap gerakan alam disekitarnya, terus menatap dan akhirnya tersenyum.
" Betapa indah dan senangnya mereka" pikir anak itu lagi. Dia lebih merasa bahagia dengan belaian angin, berada di tengah rumput-rumput yang bergoyang dan harum bunga-bunga, dari pada berada ditengah-tengah keluarganya. Kemudian dia mendongak ke langit dan dengan takjub dia memandangi sekelompok awan putih yang berarak tenang tepat diatas kepalanya. Ia tersenyum dan bergumam,
“ Ya Tuhan, aku ingin mempunyai rumah di sana, dibalik kumpulan putih itu. Rumah dimana tak seorangpun yang akan menggangguku “ katanya tulus sambil nengadahkan tangannya. Gadis kecil itupun segera mengkhayal tentang rumah langitnya. Ada rumah mungil yang sederhana, taman bunga mawar putih kesukaannya dan air terjun mungil. Dia juga membayangkan berdiri diatas awan dan pelangi yang selalu dikaguminya. Tanpa disadari matahari terus bergerak dan mengundang senja untuk memeluk bumi, dia baru tersadar ketika kumpulan putih yang dikaguminya itu perlahan-lahan berubah memerah. Dia mengalihkan pandangan karena dia tak pernah menyukai warna merah, “ warna itu terlalu angkuh “ pikirnya, mungkin dia teringat akan dongeng bawang merah dan bawang putih. Sejak saat itu si gadis kecil selalu saja mengunjungi tempat “meditasi”nya, tidak hanya ketika dia dimarahi oleh orang tua, tetapi setiap apapun yang dialaminya, dia selalu saja kesana. Suatu hari dia mendengar bahwa rumah saudara tetangganya roboh diterpa angin, dia panik dan berlari menuju pohon rindangnya, sambil menengadahkan tangan ia berdo’a,
“ Ya Tuhan, tancapkan tiang yang amat kuat pada rumah lagitku, agar takkan pernah roboh walau apapun yang terjadi “ setetes air mata jatuh di pipi mungilnya. Dan gadis kecil itupun semakin asyik dengan dirinya sendiri.
Saat ini gadis kecil itu telah tumbuh dewasa, dia memiliki banyak teman dan berada ditengah tengah keluarga yang menyayanginya. Namun dia masih seperti gadis kecil yang dulu, terbiasa bergelut dengan permasalahannya sendiri. Tak biasa berbagi, meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Kalaupun dia ingin bercerita dia tak tahu harus memulainya darimana. Kadang dia menangis sendiri, dan menyesali do’anya. Mungkin ini jawaban atas do’a yang pernah ia panjatkan dulu. Ternyata tiang rumah langitnya benar-benar tertancap kuat, hingga kasih sayang disekitarnya tak mampu merobohkan kesendirian yang ia rasakan. Dia baru mengerti bahwa ternyata perdebatan dan tangis dalam kebersamaan, jauh lebih membahagiakan dari pada tawa dalam kesendirian. Sayangnya kesendirian itu telah begitu tertanam kuat dalam hatinya.


June 03, 2006

No comments: